Rasa rasanya, berbahagialah para peserta tahun ini. Tak seperti
lima tahun sebelumnya. Peserta tahun ini tidak lebih banyak. Berjatuhan satu
demi satu, seperti hukum rimba saja? Selanjutnya, bagi calon peserta yang
kurang beruntung, kalimat pamungkas “ silahkan coba lagi” seolah menjadi kawan
dekat yang menjengkelkan.
Sementara, aku juga memikirkan hal lain, football club asal spanyol yang kudukung
–tidak sepenuh hati—dalam dua kali pertandingan terakhir berhasil dikalahkan. Itu
juga rasanya menjengkelkan. Juga ada rasa senang, kiraanku melebihi rasa
jengkel. Aku senang, aku tak pernah sesal telah memilih mendukungnya. Rasa kecewa
pernah ada dulu, itu ditujukan keseorang pelatih bernama mourinho. Dia pergi, meninggalkan
club (lain kali kuceritakan panjang lebar).
Seperti lima tahun lewat. Kurasai jalan-jalan, gang-gang,
kampung-kampung, terlihat berwarna-warni. Bendera dengan berbagai warna bertebaran,
poster-poster berwajah Tuan dan Nyonya calon juga ada. Ada juga poster berisi
ajakan, permohonan, dari yang gelap-gelapan sampai terang-terangan.
Ayo dukung aku..! aku minta doa restu yo..! kira-kira begini
yang tertulis.
Seperti tak pernah berubah sejak aku melanjutkan pendidikan
ke SMA –sekarang lebih dikenal SLTA. Mungkin ingin mempertahankan tradisi? Kiraku
dulu.
Melihat itu semua, khayalku, seperti sedang berjalan
melewati taman bunga yang panjang. Mungkin sepanjang kota. Langkah kuhentikan,
memperhatikan indahnya taman, juga ada tuan dan nyonya lalu lalang, kadang
sejenak tinggal, lalu berjalan lagi. Lama-lama, yang nampak hanya punggung yang
semakin jauh, lalu hilang. Organ penciumankupun sepertinya tak hendak kalah
curiganya seperti organ penglihatan. Semakin dirasa, wewangian dari bunga-
bunga, berwarna-warni, tak kunjung menyentuh hidung.
Seperti lima tahun lewat. Ketika itu aku termasuk dalam Siswa
Terdidik disalah satu Lembaga Berilmu di samarinda, kotaku sendiri.
Sama seperti musim-musim kini, kotaku dipenuhi warna, hijau,
merah, kuning, ada juga biru. Bahkan kawasannya semakin tidak terkendali. Pagi-
pagi aku berangkat dari rumah sewaan yang tak begitu jauh. sepanjang jalan melalui
rute yang biasa kulalui menuju Lembaga Berilmu. Kulihat kekanan, lalu banting
kiri. Rasa tidak percaya melihatnya, nadaku marah dalam hati. Apa para peserta
pemilu tahun ini tidak pernah diajar estetika. Apa mereka adalah calon-calon
yang akan kita percayai sebagai pembawa amanat? Atau, sudah hilangkah rasa hormat
mereka terhadap Lembaga Berilmu ini? Dalam aturan pemilu yang kutahu, tidak
diperkenankan memasang bendera atau juga poster 300 meter disekitaran lembaga
Berilmu. Sekejap mata, dunia seolah berubah menjadi rimba. Para peserta itu,
telah mengingkari peraturan yang mereka setujui. Rasa malu mereka kiranya
terkubur diatas semangat berkompetisi.
Seperti lima tahun lewat. Tepatnya tanggal 30 Maret. Beberapa
Siswa Terdidik di Lembaga Berilmu dengan rasa marah, jengkel, memberanikan
keluar dari kelasnya. Mengambil toa
dari ruang himpunan dan membawa tumpukan kertas copian untuk dibagi-bagi. Lalu berombongan berkeliling dari satu
kelas ke kelas lain. Bergantian berceloteh lantang, sisanya membagi-bagi kertas
copian. Dengan toa salah seorangnya mulai berbicara:
“Selamat pagi kawan-kawanku, para siswa terdidik, beradab,
dan berakal. Sesuai undang-undang yang berlaku, setidaknya lima tahun sekali. Seluruh
bangsa akan mendapat kesempatan memilih calon dan jagoannya untuk duduk dikursi
kebijakan. Para pemenanglah yang berhak duduk dikursi ini. Seolah Dewi yang
kecantikannya tiada banding, diperebut para kesatria jaman nenek moyang dulu. Sang
pemenanglah yang berhak memperistri Sang Dewi.
Pemilu ada dihadapan kita. Dan tak lama lagi, bila
dibiarkan. Para pesertanya akan terus merayap selangkah demi selangkah
menerobos masuk pintu peradaban maju –yang masih tipis-- dengan beradaban barbar yang dibawanya. Apa kalian
tadi melihat disekitar jalan-jalan menuju Lembaga Berilmu?kiri dan kanannya
seketika berwarna-warni. Tak seperti biasa.
Kali ini, tidakkah kita sekarang harus juga belajar
memahami. Apakah para peserta pemilu sudah mulai luntur peradabannya? Sehingga ingkar
terhadap peraturan pemilu yang mereka sepakati. Peraturan yang tidak
diperkenankan memasang, menempel, bendera-bendera, poster-poster sekira 300 meter
dari lingkungan Lembaga Berilmu.
Kita tidaklah Sang Dewi. Merekapun –peserta pemilu—bukanlah Kesatria.
Sebagian banyak dari kita berkulit kusam, tak seperti Sang Dewi berkulit halus.
Sebagain banyak lagi bekerja banting tulang dan tak kunjung sejahtera, tak
seperti Sang Dewi berhidup nyaman. Dan mereka, mereka bukanlah kesatria yang
tulus hatinya, rela nyawa jadi taruhan demi kehormatan. Sedangkan mereka,
merasa tak malu terhadap ingkar yang diperbuat sendiri.
Sebagai Siswa Terdidik dan berilmu, tidaklah susah
mengkalkulasikan prestasi –baik atau buruk—para peserta pemilu, yang tidak
banyak orang memahami."
Sekira telah lama di satu kelas, rombongan Siswa Terdidik melangkah
ke kelas berikutnya. Membagi lembar copian.
Begitu seterusnya sampai kelas terakhir.
Walaupun tak banyak, ada beberapa Siswa Terdidik lain yang
bergabung. Mereka ikut membagi kertas copian,
juga ikut ambil bicara menggunakan toa disetiap perhentian. Hingga akhirnya
rombongan ini melangkah keluar dari Lembaga Berilmu, berkeliling lingkungan
sambil menyopoti bendera-bendera, poster-poster, juga membagi lembar Copian ke
Tuan dan Nyonya yang kami jumpai.
Setelah puas berkeliling, rombongan Siswa Berilmu berkumpul
didepan gerbang Lembaga Berilmu. Mereka tumpuk-tumpuk bendera-bendera,
poster-poster. Sehingga terbentuk mirip gunung tak kurang tinggi pinggang manusia. Rombongan SiswaTerdidikoun
membuat lingkaran manusia, mengitari gunung. Sejenak tenang lalu si pemegang toa mengarahkan agar manyanyikan lagu
darah juang bersama-sama.
Sejenak, jalan depan pindu gerbang Lembaga Berilmu
terblokir. Kendaraan dan pejalan kaki yang tadi lalu lalang pun terhenti. Menyaksikan
Siswa Berilmu bernyanyi dengan khusuk, lalu dengan sengaja atas arahan Si
pemegang toa, salah seorang
mengeluarkan korek api dan membakar gunungan yang ada ditengah mereka. Sementara
itu, Si Pemegang toa berbicara
lantang:
"Tidak ada satu peserta pemilupun saat ini yang kami percaya.
Tak peduli dari golongan mana, tak ada bagus-bagusnya memilih peserta yang
ingkar, yang tidak akan pernah menganggap kita sebagai manusia. Kita hanya
investasi bagi mereka. Kita memilih mereka, bukan karena poster-posternya, juga
bendera-benderanya. Kita memilih karena kita berkepribadian, bermartabat".
Namun tidak pada pemilu kali ini. Tidak kali ini, gumamnya
lebih keras.
Catatan:
- Cerita ini sengaja tidak menyebutkan nama asli demi keamanan, juga hasil imagenasi Penulis.
- Siswa terdidik adalah kelompok yang menamakan diri EMSIS kependekan dari Embrio Sosialis.
- Setelah melakukan aksi, sebagian peserta aksi menjadi buronan, dicari-cari preman suruhan, di kampus, kost, ditempat-tempat biasa ngumpul.
- Sebagian peserta pada aksi itu sampai sekarang masih berpolitik.
- Aksi itu terjadi pada tanggal 30 Maret 2009. Beberapa hari sebelum Pemilu.
- Sekarang, aksi itu dikenang dengan sebutan “30 Berasap”.
No comments: