ISI KEPALA HEGEL
Hegel dalam menganalisa sejarah dunia dan perkembangannya merupakan sebuah proses rasional, bahwa perkembangan sejarah merupakan jalan keniscayaan rasional ruh dunia, ruh yang hakikatnya senantiasa satu dan sama. Alam merupakan perwujudan rasio dan senantiasa mensubordinasikan hukum-hukum universal. Rasio mengatur dunia dalam hubungannya dengan penerapannya lebih lanjut, yang kita kenal dalam bentuk kebenaran agama, bahwa dunia ini tidak bebas dari sifat kebetulan dan sebab-sebab yang mungkin bersifat lahiriah, selain bahwasanya Tuhan (Pemeliharaan Baik) yang mengendalikannya.
Inti filsafat Hegel yang terakhir adalah, Sittlichkeit atau tatanan sosial-moral yang merupakan kebenaran rasional dan yang rasional itu digariskan melalui struktur realitas sosial. Bidang Sittlichkeit pada dasarnya ditentukan oleh tiga lingkup hidup manusia, yakni keluarga, masyarakat luas dan negara. Tiga lembaga tersebut disebut Sittlichkeit atau tatanan sosial-moral, karena mereka menentukan melalui adat-istiadat, kebiasaan dan hukum, serta bagaimana individu harus bertindak sebagai makhluk moral. Secara umum Hegel berasumsi bahwa manusia akan bertindak secara moral apabila ia mengambil orientasi dari norma-norma dalam kehidupan keluarga, masyarakat luas dan negara.
Sittlichkeit berdasarkan pengandaian, bahwa bidang-bidang objektif hidup masyarakat yang dirangkum sebagai keluarga, masyarakat luas dan negara telah memiliki struktur yang merealisasikan kebebasan, oleh karena itu apabila individu bertindak sesuai dengan struktur-struktur tersebut maka ia telah merealisasikan kebebasannya sendiri. Dalam inti pandangan ini Hegel ingin mencapai pengertian kekuatan moral yang lebih realistis, karena Hegel tidak menyangkal adanya sikap herois, yang memberontak dan melawan struktur-struktur sosial yang ada, karena menurut Hegel sikap herois hanya perlu ketika dalam keadaan-keadaan luar biasa dan apabila antara keadaan-keadaan itu sendiri terjadi konflik.
Dalam inti filsafat Hegel, bersandar pada realitas ide sebagai pisau untuk menganalisa konsepsi negara. Secara historis dalam merumuskan asal mula, konsepsi, fungsi dan tujuan negara, Hegel lebih melihat pada faktor keniscayaan ide dalam sejarah terbentuknya negara. Bagi Hegel negara merupakan manifestasi ide absolut dalam fase perkembangan masyarakat, negara merupakan keniscayaan Tuhan. Keniscayaan dalam tata aturan kehidupan bermasyarakat dimana hanya ide absolut yang dalam prakteknya adalah negara yang mampu melihat permasalahan masyarakat yang subjektif secara objektif dari sudut pandang ke-Tuhanan.
Untuk menjabarkan konsep, fungsi dan tujuan negara berdasarkan filsafat idealisme Hegel, maka faktor utama yang harus kita analisa adalah sejarah, bersandar pada penjabaran sejarah perkembangan masyarakat dunia, dimana semakin kental dalam penelitian geografisnya tentang perjalanan sejarah dunia yang telah terhapus sifat keumumannya. Hegel mengasumsikan bahwa sejarah dunia ini pada hakikatnya berjalan dari Timur ke Barat, maka Eropa secara mutlak adalah ujung sejarah dan Asia adalah pangkalnya.
Bagaikan matahari ( cahaya ) yang terbit di Timur, Hegel berasumsi bahwa cahaya adalah eksistensi yang benar-benar meliputi dirinya sendiri, namun meskipun didalam dirinya memiliki universalitas, ia ada sekaligus individualitas didalam matahari. Sejarah dunia merupakan disiplin kehendak alamiah yang tidak terkendali, yang membawanya kedalam kepatuhan terhadap sebuah prinsip universal dan memberikan kebebasan subjektif.
Timur dalam hal ini mengetahui bahwa satu adalah bebas, Yunani dan Romawi mengetahui bahwa beberapa adalah bebas, dunia Jerman mengetahui bahwa semuanya adalah bebas. Dengan demikian dalam praksis politik kenegaraan yang pertama kita lihat dalam sejarah adalah Despotisme yang kedua Aristokrasi dan Demokrasi serta yang ketiga adalah Monarkhi, untuk memahami pembagian ini, Hegel menyatakan bahwa negara merupakan kehidupan spiritual yang universal.
Dari penjabaran singkat sejarah perkembangan masyarakat dunia yang dikemukakan oleh Hegel, dapat kita tarik satu benang merah bahwa kemajuan dan kemunduran sejarah dalam perkembangannya merupakan kondisi dimana berada dibawah kendali Ruh Absolut. Eksistensi ruh menjelma menjadi negara dalam tatanan masyarakat yang memiliki legitimasi yang sah. Historiografi yang dilakukan Hegel, merupakan manifestasi dari aliran filsafat idealismenya.
Hegel menempatkan ruh sebagai sesuatu yang mutlak dalam sejarah perkembangan masyarakat dunia, dimana posisi Asia (timur) sebagai awal dari perkembangan sejarah menuju ke barat, layaknya matahari yang terbit dari timur dan terbenam dibarat, dimana telah diatur oleh Ruh Absolut berdasarkan asumsi Hegel. Maka pergerakan sejarah manusia tersebut berada dibawah kontrol ruh, yang dalam posisi ini menjadikan negara dalam tiap zamanya sebagai sebuah refleksi dari kehadiran Ruh Absolut di dunia.
Hegel mendefinisikan negara sebagai ide tentang ruh didalam perwujudan lahir kehendak manusia dari kebebasannya. Negara adalah paham kesusilaan (moral) atau gambaran dan kenyataan akal, atau “Kerajaan Tuhan di dunia, dimana hakikat dan keadilan yang abadi dilaksanakan”.
Bagi Hegel negara merupakan ungkapan ruh obyektif atas kehendak-kehendak masyarakat yang subyektif, rakyat secara eksplisit tidak mengetahui apa yang sebenarnya dikehendaki mereka dan negara lah yang mengetahui secara kongkrit. Konsistensi Hegel akan argumentasinya tentang negara, secara langsung memberikan kekuasan yang besar kepada negara, negara memiliki hak untuk memaksakan keinginannya kepada warganya, karena negara mewakili keinginan umum, negara merupakan manifestasi dari sesuatu yang ideal dan universal. Karena itu, negara berada diatas masyarakat, lebih tinggi dan lebih utama dari masyarakat yang ada dibawahnya. Kondisi ini memberikan kewenangan absolut terhadap negara.
Hegel mengungkapkan bahwa negara merupakan suatu keniscayaan dalam tatanan kehidupan masyarakat, negara merupakan keniscayaaan sejarah dalam perjalanan kehidupan umat manusia. Kalangan pemikir idealis menjabarkan konsep negara sebagai sebuah kondisi dimana kebutuhan setiap manusia dalam masyarakat akan sebuah lembaga yang bernama negara, yang mampu menyelesaikan permasalahan – permasalahan subjektif ditengah-tengah masyarakat, hal ini merupakan manifestasi dari pemikiran idealisme yang menganggap bahwa negara lah yang merupakan cerminan objektif yang mampu menyelesaikan permasalahan subjektif ditengah-tengah masyarakat.
Sebelum membangun kembali asumsi Hegel tentang fungsi negara, hal yang terlebih dahulu kita lakukan adalah melihat pada fungsi negara yang telah dirumuskan oleh C.L.S. Baron de Montesquieu, hal ini dikarenakan fungsi negara pada khususnya dan gagasannya tentang ilmu politik pada umumnya, telah memberi sumbangsih pemikiran terbesar dalam ilmu kenegaraan yang hingga saat ini pada prakteknya masih diadopsi oleh negara-negara modern seperti AS, negara-negara di Eropa bahkan Indonesia.
Montesquieu merupakan pemikir dan filosof politik, yang merumuskan sebuah gagasan dalam ilmu politik yang kita kenal dengan sebutan Trias Politica, dimana pada intinya agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan dan terbentuknya kekuasaan mutlak yang sewenang-wenang maka kekusaan negara harus dipisahkan. Montesquieu membagi kekuasaan menjadi tiga bentuk ; kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Pada lapangan kenegaraan gagasan Montesquieu tersebut dapat kita jabarkan sebagai fungsi negara, yakni fungsi legislatif sebagai perumus undang-undang, fungsi eksekutif sebagai pelaksana undang-undang dan fungsi yudikatif yaitu mengawasi agar peraturan ditaati.
Gagasan Montesquieu diatas menjadi sandaran kemudian untuk kita melihat pandangan Hegel tentang fungsi negara. Asumsi dasar Hegel tentang fungsi negara, mengacu pada konsepsi yang telah ia jabarkan, yakni negara sebagai perwujudan Ruh Absolut dimuka bumi, Hegel memberikan kewangan besar pada negara, negara sebagai pengejawantahan Ruh Absolut, maka dalam menjalankan fungsinya, negara akan berada pada posisi benar dan objektif, apakah kemudian menjalankan fungsi perumus undang-undang, pelaksana undang-undang ataukah pengawas undang-undang. Dalam tinjauan literatur penulis tidak melihat pada rumusan fungsi negara yang dijabarkan oleh Hegel secara eksplisit dan terperinci pada lembaga-lembaga kenegaraan, seperti yang dijabarkan Montesquieu, namun pandangan Hegel memberi peran besar pada negara (baca:kerajaan) untuk menjalankan fungsinya, ini tentu bersandar pada konsepsi negara yang dirumuskan Hegel sebagai keberadaan Ruh Absolut dimuka bumi.
Bila merujuk pada salah satu fungsi negara yakni sebagai fungsi kontrol, penetap konstitusi yang terintegrasi dalam parlemen yang merupakan reprsentasi dari demokrasi karena perwakilan dari masyarakat luas, Hegel tidak sependapat terhadap perwakilan parlemen ( perwakilan rakyat ), dimana ia berasumsi bahwa fungsi kontrol sebaiknya dua chamber, yakni pada satu kamar diisi oleh wakil-wakil organisasi karya ( Korporationen ) dan kamar satunya diisi oleh wakil dari kelas-kelas sosial ( Stande ). Pemikiran Hegel tentang konsepsi keterwakilan warga, untuk menjalankan fungsi negara dan dalam bentuknya lebih sependapat terhadap dua chamber, ini merupakan turunan dari penolakan Hegel terhadap bentuk negara republik dan lebih sepakat untuk mempertahankan monarki konstitusional. Sedangkan terhadap fungsi eksekutif dan yudikatif, Hegel merefleksikannya kedalam segala aktifitas raja sebagai pemimpin kerajaan yang memiliki wewenang penuh terhadap fungsi pelaksana dan fungsi penjaga peraturan. Kondisi ini sangat jelas bahwa fungsi negara diserahkan sebesar-besarnya kepada pemimpin negara yang bersangkutan, karena bagi Hegel kekuasaan negara adalah mutlak.
Bersandar pada inti filsafat idealisme Hegel, yang pada perkembangannya menurunkan konsepsi tentang negara dan semua pemahaman yang terkandung didalamnya, termasuk tujuan dari negara. Hegel sebagai seorang pemikir idealis memberikan kontribusi pemikiran terhadap hakikat negara dari sudut pandang aliran filsafat idealisme. Bagi Hegel negara merupakan manifestasi dari ide tentang ruh didalam perwujudan lahir kehendak manusia dari kebebasannya, sehingga dalam merumuskan tujuan negara Hegel berasumsi bahwa tujuan dari negara adalah negara itu sendiri.
Hegel berpandangan bahwa bukan negara yang harus mengabdi kepada masyarakat atau individu maupun golongan dalam tatanan masyarakat, melainkan sebaliknya masyarakatlah yang harus mengabdi kepada negara. Masyarakat harus menjadi abdi bagi negara untuk tercapainya tujuan dari masyarakat untuk mendapatkan kebaikan dan kesejahteraan dengan hadirnya negara. Negara bagi Hegel memiliki kekuasaan yang penuh atas rakyatnya, hal ini didasari pada peran negara yang menegasi kebebasan atau kemerdekaan individu, dengan asumsi bahwa individu tidak memiliki peranan signifikan dalam totalitas negara.
Negara sebagai penjelmaan Ruh Absolut merupakan pencapaian akhir dalam setiap tahapan perkembangan masyarakat, untuk mendapatkan tujuan yang diinginkannya. Hegel memposisikan negara sebagai penjelmaan ruh objektif dari tujuan masyarakat yang subjektif, dimana secara eksplisit tidak mampu menciptakan tujuan yang diinginkannya. Hegel berasumsi untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera hanya negara lah yang memiliki posisi tersebut, karena Hegel menganggap negara sebagai pengejawantahan posisi objektif yang memahami secara mendalam tentang apa yang dikehendaki oleh masyarakat yang dibawahnya.
Negara bagi Hegel bersifat absolut, yang dimensi kekuasaannya mencakup seluruh sendi dalam kehidupan masyarakat. Dominasi negara atas rakyatnya merupakan tujuan negara, yang menurut Hegel sebagai sebuah penerapan gagasan tentang Ruh Absolut. Posisi negara yang dianalogikan Hegel sebagai sebuah hasil dari pemikiranya tentang agama Protestan, dimana dalam doktrin Protestanisme ruh sebagai sesuatu yang suci ( sakral ) dan Hegel melihat pada posisi negara merupakan perwujudan dari ruh, sehingga negara adalah sesuatu yang suci, sehingga tujuan dari masyarakat dalam negara adalah tunduk pada negara karena kesucian negara yang diasumsikan Hegel sebagai The State is duvine idea as it exists on earth.
“... Satu-satunya pemikiran yang digunakan filsafat sebagai perenungan sejarah adalah konsepsi sederhana yaitu rasio, rasio merupakan penguasa dunia, dengan demikian sejarah dunia memberikan proses rasional kepada kita. Disatu pihak rasio adalah substansi alam semesta, yang melalui dan didalamnya realitas memiliki ada dan subsistensinya, dipihak lain rasio merupakan energi yang tidak terbatas dari alam semesta, karena rasio bukannya tanpa kekuatan yang tidak mampu menghasilkan sesuatu, yang semata-mata merupakan ide, semata-mata merupakan makna yang berada diluar realitas. Tak seorang pun mengetahui dimana, sesuatu yang terpisah dan abstrak didalam kepala orang tertentu. Ia adalah kompleks yang tidak terbatas dari segala sesuatu, hakikat dan kebenarannya utuh…”
Hegel dalam menganalisa sejarah dunia dan perkembangannya merupakan sebuah proses rasional, bahwa perkembangan sejarah merupakan jalan keniscayaan rasional ruh dunia, ruh yang hakikatnya senantiasa satu dan sama. Alam merupakan perwujudan rasio dan senantiasa mensubordinasikan hukum-hukum universal. Rasio mengatur dunia dalam hubungannya dengan penerapannya lebih lanjut, yang kita kenal dalam bentuk kebenaran agama, bahwa dunia ini tidak bebas dari sifat kebetulan dan sebab-sebab yang mungkin bersifat lahiriah, selain bahwasanya Tuhan (Pemeliharaan Baik) yang mengendalikannya.
Inti filsafat Hegel yang terakhir adalah, Sittlichkeit atau tatanan sosial-moral yang merupakan kebenaran rasional dan yang rasional itu digariskan melalui struktur realitas sosial. Bidang Sittlichkeit pada dasarnya ditentukan oleh tiga lingkup hidup manusia, yakni keluarga, masyarakat luas dan negara. Tiga lembaga tersebut disebut Sittlichkeit atau tatanan sosial-moral, karena mereka menentukan melalui adat-istiadat, kebiasaan dan hukum, serta bagaimana individu harus bertindak sebagai makhluk moral. Secara umum Hegel berasumsi bahwa manusia akan bertindak secara moral apabila ia mengambil orientasi dari norma-norma dalam kehidupan keluarga, masyarakat luas dan negara.
Sittlichkeit berdasarkan pengandaian, bahwa bidang-bidang objektif hidup masyarakat yang dirangkum sebagai keluarga, masyarakat luas dan negara telah memiliki struktur yang merealisasikan kebebasan, oleh karena itu apabila individu bertindak sesuai dengan struktur-struktur tersebut maka ia telah merealisasikan kebebasannya sendiri. Dalam inti pandangan ini Hegel ingin mencapai pengertian kekuatan moral yang lebih realistis, karena Hegel tidak menyangkal adanya sikap herois, yang memberontak dan melawan struktur-struktur sosial yang ada, karena menurut Hegel sikap herois hanya perlu ketika dalam keadaan-keadaan luar biasa dan apabila antara keadaan-keadaan itu sendiri terjadi konflik.
Dalam inti filsafat Hegel, bersandar pada realitas ide sebagai pisau untuk menganalisa konsepsi negara. Secara historis dalam merumuskan asal mula, konsepsi, fungsi dan tujuan negara, Hegel lebih melihat pada faktor keniscayaan ide dalam sejarah terbentuknya negara. Bagi Hegel negara merupakan manifestasi ide absolut dalam fase perkembangan masyarakat, negara merupakan keniscayaan Tuhan. Keniscayaan dalam tata aturan kehidupan bermasyarakat dimana hanya ide absolut yang dalam prakteknya adalah negara yang mampu melihat permasalahan masyarakat yang subjektif secara objektif dari sudut pandang ke-Tuhanan.
Untuk menjabarkan konsep, fungsi dan tujuan negara berdasarkan filsafat idealisme Hegel, maka faktor utama yang harus kita analisa adalah sejarah, bersandar pada penjabaran sejarah perkembangan masyarakat dunia, dimana semakin kental dalam penelitian geografisnya tentang perjalanan sejarah dunia yang telah terhapus sifat keumumannya. Hegel mengasumsikan bahwa sejarah dunia ini pada hakikatnya berjalan dari Timur ke Barat, maka Eropa secara mutlak adalah ujung sejarah dan Asia adalah pangkalnya.
Bagaikan matahari ( cahaya ) yang terbit di Timur, Hegel berasumsi bahwa cahaya adalah eksistensi yang benar-benar meliputi dirinya sendiri, namun meskipun didalam dirinya memiliki universalitas, ia ada sekaligus individualitas didalam matahari. Sejarah dunia merupakan disiplin kehendak alamiah yang tidak terkendali, yang membawanya kedalam kepatuhan terhadap sebuah prinsip universal dan memberikan kebebasan subjektif.
Timur dalam hal ini mengetahui bahwa satu adalah bebas, Yunani dan Romawi mengetahui bahwa beberapa adalah bebas, dunia Jerman mengetahui bahwa semuanya adalah bebas. Dengan demikian dalam praksis politik kenegaraan yang pertama kita lihat dalam sejarah adalah Despotisme yang kedua Aristokrasi dan Demokrasi serta yang ketiga adalah Monarkhi, untuk memahami pembagian ini, Hegel menyatakan bahwa negara merupakan kehidupan spiritual yang universal.
Dari penjabaran singkat sejarah perkembangan masyarakat dunia yang dikemukakan oleh Hegel, dapat kita tarik satu benang merah bahwa kemajuan dan kemunduran sejarah dalam perkembangannya merupakan kondisi dimana berada dibawah kendali Ruh Absolut. Eksistensi ruh menjelma menjadi negara dalam tatanan masyarakat yang memiliki legitimasi yang sah. Historiografi yang dilakukan Hegel, merupakan manifestasi dari aliran filsafat idealismenya.
Hegel menempatkan ruh sebagai sesuatu yang mutlak dalam sejarah perkembangan masyarakat dunia, dimana posisi Asia (timur) sebagai awal dari perkembangan sejarah menuju ke barat, layaknya matahari yang terbit dari timur dan terbenam dibarat, dimana telah diatur oleh Ruh Absolut berdasarkan asumsi Hegel. Maka pergerakan sejarah manusia tersebut berada dibawah kontrol ruh, yang dalam posisi ini menjadikan negara dalam tiap zamanya sebagai sebuah refleksi dari kehadiran Ruh Absolut di dunia.
Hegel mendefinisikan negara sebagai ide tentang ruh didalam perwujudan lahir kehendak manusia dari kebebasannya. Negara adalah paham kesusilaan (moral) atau gambaran dan kenyataan akal, atau “Kerajaan Tuhan di dunia, dimana hakikat dan keadilan yang abadi dilaksanakan”.
Bagi Hegel negara merupakan ungkapan ruh obyektif atas kehendak-kehendak masyarakat yang subyektif, rakyat secara eksplisit tidak mengetahui apa yang sebenarnya dikehendaki mereka dan negara lah yang mengetahui secara kongkrit. Konsistensi Hegel akan argumentasinya tentang negara, secara langsung memberikan kekuasan yang besar kepada negara, negara memiliki hak untuk memaksakan keinginannya kepada warganya, karena negara mewakili keinginan umum, negara merupakan manifestasi dari sesuatu yang ideal dan universal. Karena itu, negara berada diatas masyarakat, lebih tinggi dan lebih utama dari masyarakat yang ada dibawahnya. Kondisi ini memberikan kewenangan absolut terhadap negara.
Hegel mengungkapkan bahwa negara merupakan suatu keniscayaan dalam tatanan kehidupan masyarakat, negara merupakan keniscayaaan sejarah dalam perjalanan kehidupan umat manusia. Kalangan pemikir idealis menjabarkan konsep negara sebagai sebuah kondisi dimana kebutuhan setiap manusia dalam masyarakat akan sebuah lembaga yang bernama negara, yang mampu menyelesaikan permasalahan – permasalahan subjektif ditengah-tengah masyarakat, hal ini merupakan manifestasi dari pemikiran idealisme yang menganggap bahwa negara lah yang merupakan cerminan objektif yang mampu menyelesaikan permasalahan subjektif ditengah-tengah masyarakat.
Sebelum membangun kembali asumsi Hegel tentang fungsi negara, hal yang terlebih dahulu kita lakukan adalah melihat pada fungsi negara yang telah dirumuskan oleh C.L.S. Baron de Montesquieu, hal ini dikarenakan fungsi negara pada khususnya dan gagasannya tentang ilmu politik pada umumnya, telah memberi sumbangsih pemikiran terbesar dalam ilmu kenegaraan yang hingga saat ini pada prakteknya masih diadopsi oleh negara-negara modern seperti AS, negara-negara di Eropa bahkan Indonesia.
Montesquieu merupakan pemikir dan filosof politik, yang merumuskan sebuah gagasan dalam ilmu politik yang kita kenal dengan sebutan Trias Politica, dimana pada intinya agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan dan terbentuknya kekuasaan mutlak yang sewenang-wenang maka kekusaan negara harus dipisahkan. Montesquieu membagi kekuasaan menjadi tiga bentuk ; kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Pada lapangan kenegaraan gagasan Montesquieu tersebut dapat kita jabarkan sebagai fungsi negara, yakni fungsi legislatif sebagai perumus undang-undang, fungsi eksekutif sebagai pelaksana undang-undang dan fungsi yudikatif yaitu mengawasi agar peraturan ditaati.
Gagasan Montesquieu diatas menjadi sandaran kemudian untuk kita melihat pandangan Hegel tentang fungsi negara. Asumsi dasar Hegel tentang fungsi negara, mengacu pada konsepsi yang telah ia jabarkan, yakni negara sebagai perwujudan Ruh Absolut dimuka bumi, Hegel memberikan kewangan besar pada negara, negara sebagai pengejawantahan Ruh Absolut, maka dalam menjalankan fungsinya, negara akan berada pada posisi benar dan objektif, apakah kemudian menjalankan fungsi perumus undang-undang, pelaksana undang-undang ataukah pengawas undang-undang. Dalam tinjauan literatur penulis tidak melihat pada rumusan fungsi negara yang dijabarkan oleh Hegel secara eksplisit dan terperinci pada lembaga-lembaga kenegaraan, seperti yang dijabarkan Montesquieu, namun pandangan Hegel memberi peran besar pada negara (baca:kerajaan) untuk menjalankan fungsinya, ini tentu bersandar pada konsepsi negara yang dirumuskan Hegel sebagai keberadaan Ruh Absolut dimuka bumi.
Bila merujuk pada salah satu fungsi negara yakni sebagai fungsi kontrol, penetap konstitusi yang terintegrasi dalam parlemen yang merupakan reprsentasi dari demokrasi karena perwakilan dari masyarakat luas, Hegel tidak sependapat terhadap perwakilan parlemen ( perwakilan rakyat ), dimana ia berasumsi bahwa fungsi kontrol sebaiknya dua chamber, yakni pada satu kamar diisi oleh wakil-wakil organisasi karya ( Korporationen ) dan kamar satunya diisi oleh wakil dari kelas-kelas sosial ( Stande ). Pemikiran Hegel tentang konsepsi keterwakilan warga, untuk menjalankan fungsi negara dan dalam bentuknya lebih sependapat terhadap dua chamber, ini merupakan turunan dari penolakan Hegel terhadap bentuk negara republik dan lebih sepakat untuk mempertahankan monarki konstitusional. Sedangkan terhadap fungsi eksekutif dan yudikatif, Hegel merefleksikannya kedalam segala aktifitas raja sebagai pemimpin kerajaan yang memiliki wewenang penuh terhadap fungsi pelaksana dan fungsi penjaga peraturan. Kondisi ini sangat jelas bahwa fungsi negara diserahkan sebesar-besarnya kepada pemimpin negara yang bersangkutan, karena bagi Hegel kekuasaan negara adalah mutlak.
Bersandar pada inti filsafat idealisme Hegel, yang pada perkembangannya menurunkan konsepsi tentang negara dan semua pemahaman yang terkandung didalamnya, termasuk tujuan dari negara. Hegel sebagai seorang pemikir idealis memberikan kontribusi pemikiran terhadap hakikat negara dari sudut pandang aliran filsafat idealisme. Bagi Hegel negara merupakan manifestasi dari ide tentang ruh didalam perwujudan lahir kehendak manusia dari kebebasannya, sehingga dalam merumuskan tujuan negara Hegel berasumsi bahwa tujuan dari negara adalah negara itu sendiri.
Hegel berpandangan bahwa bukan negara yang harus mengabdi kepada masyarakat atau individu maupun golongan dalam tatanan masyarakat, melainkan sebaliknya masyarakatlah yang harus mengabdi kepada negara. Masyarakat harus menjadi abdi bagi negara untuk tercapainya tujuan dari masyarakat untuk mendapatkan kebaikan dan kesejahteraan dengan hadirnya negara. Negara bagi Hegel memiliki kekuasaan yang penuh atas rakyatnya, hal ini didasari pada peran negara yang menegasi kebebasan atau kemerdekaan individu, dengan asumsi bahwa individu tidak memiliki peranan signifikan dalam totalitas negara.
Negara sebagai penjelmaan Ruh Absolut merupakan pencapaian akhir dalam setiap tahapan perkembangan masyarakat, untuk mendapatkan tujuan yang diinginkannya. Hegel memposisikan negara sebagai penjelmaan ruh objektif dari tujuan masyarakat yang subjektif, dimana secara eksplisit tidak mampu menciptakan tujuan yang diinginkannya. Hegel berasumsi untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera hanya negara lah yang memiliki posisi tersebut, karena Hegel menganggap negara sebagai pengejawantahan posisi objektif yang memahami secara mendalam tentang apa yang dikehendaki oleh masyarakat yang dibawahnya.
Negara bagi Hegel bersifat absolut, yang dimensi kekuasaannya mencakup seluruh sendi dalam kehidupan masyarakat. Dominasi negara atas rakyatnya merupakan tujuan negara, yang menurut Hegel sebagai sebuah penerapan gagasan tentang Ruh Absolut. Posisi negara yang dianalogikan Hegel sebagai sebuah hasil dari pemikiranya tentang agama Protestan, dimana dalam doktrin Protestanisme ruh sebagai sesuatu yang suci ( sakral ) dan Hegel melihat pada posisi negara merupakan perwujudan dari ruh, sehingga negara adalah sesuatu yang suci, sehingga tujuan dari masyarakat dalam negara adalah tunduk pada negara karena kesucian negara yang diasumsikan Hegel sebagai The State is duvine idea as it exists on earth.
No comments: