Lebillon mengawali penjelasannya bahwa pasca runtuhnya Uni Sovyet,
maka perang dingin antara blok barat (AS dan sekutunya) dan blok timur (Uni
Sovyet dan sekutunya) ikut runtuh dan pasca perang dingin ditandai dengan
liberalisasi perekonomian dan perdagangan yang semakin cepat dan hasil dari
liberalisasi ini ditandai dengan 2 hal; pertama adalah makin meningkatnya peran
aktor hubungan internasional selain Negara didalam proses ekonomi dan
perdagangan internasional, kedua adalah semakin pentingnya peran dari sumber
daya alam.
Ketika aktor semakin banyak dan sumber daya alam yang disediakan oleh bumi ini
terbatas, maka bisa dipastikan akan terjadinya kekerasan baik itu cultural,
structural dan langsung karena perebutan atas penguasaan sumber daya alam,
sumber daya alam ini bisa apa saja, baik itu intan di sierra leone yang
kemudian melahirkan istilah blood diamond karena proses produksi dan
penggalian dari intan tersebut menggunakan kekerasan oleh kelompok tertentu
yang berkepentingan untuk menjaga SDA itu tetap menjadi miliknya, dan yang
teracanggih adalah perebutan SDA berupa minyak yang marak di timur tengah, yang
tidak saja melibatkan aktor-aktor kecil non-negara tapi juga meliputi kekuatan
Negara-negara besar yang memicu terjadinya perang besar, seperti perang teluk
pertama (Irak menyerang Iran), perang teluk kedua (Irak menyerang Kuwait),
bahkan diduga besar invasi AS ke Irak dan Afghanistan adalah bagian dari usaha
Negara AS untuk mengaman kepemilikan atas minyak di timur tengah dan sekaligus
menambahnya untuk menambah kekuatan negaranya.
Lebillon kemudian membagi analisa utamanya menjadi 3 yaitu:
- Pertama adalah isu strategis terkait hubungan ekonomi-politik dan Negara atau pemerintah yang bergantung pada SDA semata memiliki kecenderungan untuk mengalami masalah yang sama yaitu runtuhnya pertumbuhan ekonomi, korupsi dan otoritas yang tidak legitimasi lagi.
- Kedua adalah analisa terhadap skala dan jumlah dari konflik ekonomi, lingkungan dan sosial-kultural yang terkait dengan eksploitasi SDA yang malah tidak memberikan sumbangsih kesejahteraan pada penduduk local, kepentingan bisnis, Negara, dan lingkungan global serta HAM.
- Dan ketiga terkait operasional dan motivasi yang membelakangi para kelompok bersenjata didalam eksploitasi SDA
Dan Lebillon dalam solusinya menekankan pentingnya kerja sama yang erat
dan melibatkan banyak pihak yang terkait seperti intitusi internasional seperti
PBB/WTO, Negara yang diwakili oleh pemerintah, pelaku/asosiasi bisnis dan MNC
untuk kemudian mengatur, menginvestigasi, pemberian sanksi dan implementasinya
dalam mewujudkan komoditas SDA yang diperdagangkan bukan berasal dari bentuk
kekerasan seperti perang, eksploitasi manusia tanpa memperhatikan
kesejahteraannya, dsb.
Sedangkan tulisan dari Duffield tidaklah jauh berbeda dengan Lebillon
yang menjelaskan bahwa pasca perang dingin, aktor-aktor hubungan
internasional semakin bertambah terutama dari aktor non-state dan
menyebabkan relasi antara pihak pemerintah yang mewakili Negara ataupun IGO dan
pihak selain Negara seperti MNC, pelaku bisnis, dan INGO menjadi semakin
intensif dan setara dalam relasi dan pengaruhnya. Bentuk lain menurut Duffield
adalah semakin kaburnya batas antar Negara yang ditandai semakin pesatnya
perkembangan akses komunikasi dan perdagangan antar Negara.
Kondisi ini menurut Duffield telah merubah tatanan geopolitik dan peta
konflik dunia, yang sebelumnya hanya berputar pada konflik antar Negara,
sekarang sudah meliputi juga aktor-aktor non-state, dan yang paling
terkenal adalah aksi terrorisme pada 11 September yang dilakukan oleh kelompok
kekerasan non-state yaitu Al-Qaeda yang ternyata dalam operasinya
dibiayai oleh para konglomerat minyak dari Arab Saudi salah satunya yang
terkenal adalah Osama Bin Laden, begitu juga kelompok bersenjata lain yang
motivasi dan operasional nya tak bisa jauh dari kekuasaan atas SDA.
Melihat hal ini banyak pihak yang mulai menyadari pentingnya sebuah institusi
internasional yang kuat dan mampu mengintegrasikan semua aktor yang terlibat
dalam kancah hubungan internasional seperti PBB maupun WTO dalam mengatur dan
mengawasi jalannya proses eksploitasi dan eksplorasi kekayaan SDA yang lebih
positif dengan cara-cara damai selain juga berusaha untuk mengurangi dan
membasmi organisasi kejahatan trans-nasional dari penguasaannya atas kekayaan
SDA dan ekonomi yang akan mampu menyokong aksi kejahatan mereka.
Pugh, Cooper dan Turner menunjukkan Salah satu bukti keberhasilan kerja
sama yang baik antar Negara, pelaku bisnis dan MNC dibawah payung kerja sama
dan komitmen yang diprakarsai oleh institusi seperti PBB telah mampu
menciptakan perbaikan perekonomian dan mengakhiri konflik yang sebelumnya
terjadi di Sierra Leone terkait Blood Diamond,
keberhasilan PBB dalam menciptakan piagam Kimberley mengatur agar
eksplorasi intan dilakukan dengan cara yang damai dan kemudian diperkuat oleh
PAC (Partnership Africa Canada) yang menekankan bahwa:
The Kimberley Process is strictly
about controlling the trade in rough
Diamonds, in order to ensure [they]
. . . are not used to finance conflict.
There is nothing in the KPCS
requiring governments to improve the lot of
Diamond miners, to distribute the
wealth from diamond mining to local
Communities, or to use the revenues
from diamond mining for anything at all.
Dan
keberhasilan ini ditandai dengan pembangunan dasar ekonomi dan politik yang
kuat di Sierra Leone dengan meningkatnya pendapatan para penggali intan,
meningkatnya pemasukan Negara dari ekspor dari sektor pertambangan, sedangkan permasalahan
utama sekarang di Sierra Leone bukanlah lagi adanya penjarahan intan secara
illegal oleh kekuatan-kekuatan bersenjata melainkan murni permasalahan ekonomi
yaitu masih adanya capital flight dari pendapatan yang didapat dari
intan ke luar negeri.
Sedangkan Duffield menjelaskan
bahwa tantangan kedepannya masih adanya kurang adanya rasa percaya antara aktor
Negara yang diwakili oleh Pemerintah terhadap institusi internasional seperti
PBB yang dianggap terlalu mengintervensi kedaulatan Negara.
Melihat hal ini saya berpendapat bahwa permasalahan perebutan SDA untuk
mambangun kekuatan oleh sekelompok aktor hubungan internasional baik itu aktor
Negara maupun non-negara masih marak terjadi sampai sekarang, bahkan banyak
dugaan bahwa AS ketika menginvasi Irak sebenarnya bertujuan kepentingan ekonomi
yaitu untuk eksplorasi minyak, dan sampai sekarang tak sebuah kekuatanpun yang
mampu menghentikan praktik seperti ini, karenanya sekiranya perlu menciptakan
tatanan dunia baru yang lebih mengedepankan aspek dan nilai universal, dimana
hubungan antar aktor hubungan internasional tidak saling menguasai dan dikuasai
tapi saling berkerja satu sama lain dengan prinsip kesetaraan yang diharapkan
akhirnya mampu menciptakan aturan dunia yang lebih adil dan membawa manfaat
yang baik bagi semua pihak baik itu IGO,INGO, Negara (Pemerintah), pelaku
bisnis, individu dan tentu saja alam.
No comments: