Berbicara
tentang Indonesia maju dan baru adalah berbicara bagaimana
demokrasi sebagai satu fase peradaban modern dalam sejarah umat manusia dapat
ditegakkan dengan konsisten. Hal ini diyakini karena transisi masyarakat
Indonesia, seperti umumnya negara-negara lain, dalam menghadapi tantangan-tantangan
baru membutuhkan demokrasi sebagai
jalan/muara bagi keberagaman yang dimiliki masyarakat. Sangat banyak pendapat yang disajikan para ahli ataupun negarawan mengenai demokrasi itu sendiri, namun secara garis besar : kebebasan, supremasi sipil dan kedaulatan rakyat adalah
unsur-unsur yang merupakan tulang punggung dari mekanisme demokrasi itu
sendiri. Sehingga, apabila unsur-unsur tersebut tidak ada atau dihilangkan maka demokrasi
akan mengalami ancaman.
Dalam
perjalanan berikutnya, masyarakat Indonesia mengalami dinamikanya sendiri dalam
membangun demokrasi. Pergolakan kekuasaan, pergolakan di daerah dan
perubahan-perubahan menjadi bukti bahwa dinamika demokrasi telah menjadi
matrial dalam masyarakat Indonesia. Dan yang perlu ditekankan adalah bahwa hal
tersebut merupakan
hal yang wajar dalam pembangunan demokrasi.
Yang terpenting adalah pertanggungjawaban secara hukum dan politik
dari para pelaku demokrasi itu sendiri.
Sehingga, menjadi satu kesalahan atau penumpulan terhadap
kekuatan-kekuatan demokrasi rakyat apabila hal itu coba dibungkam oleh regulasi
pembenaran apapun.
Inilah
yang menjadi dasar
analisa dari penolakan terhadap RUU KAMNAS dan Ormas. Tidak
terpaku pada lubang kebencian dan dendam atas pelanggaran HAM yang dilakukan negara dan militer selama ini di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Akan
tetapi, lebih lebih
kepada pemahaman bahwa yang akan kita
bangun adalah sebuah kekuatan sipil yang akan membangun sebuah masyarakat yang demokratis, dimana baik peran sosial, politik, ekonomi dan budaya sepenuhnya dikendalikan oleh sipil. Artinya, Supremasi Sipil tidak bisa tidak adalah
keniscayaan sejarah yang harus direalisasikan dalam perjuangan, demi penciptaan prasyarat minimum bagi tegaknya demorkasi.
Perlawanan rakyat terhadap regulasi yang anti
demokratis (RUU PKB, UU PKS, Dwi Fungsi TNI/Polri) tahun 98 merupakan bukti
penolakan terhdap pemerintahan yang militeristik dan anti demokrasi. Kita harus
mengakui, bahwa perlawanan itu muncul dari benak rakyat itu sendiri akibat
berpuluh-puluh tahun ditindas, dianiaya, bahkan dibunuh dengan pembenaran
logika stabilitas dan keamanan nasional.
Sepanjang
sejarah, pemerintahn SBY-Bodiono pun telah teruji dan mewarisi watak dari
pemerintahan sebelumnya yang tidak memiliki kehendak dan komitment dalam menegakkan
demokrasi dan kesejahteraan rakyat
indonesia. Logika stabilitas dan keamanan sangat mudah dipahami apalagi
jika kita berkaca
pada pemerintahan Orde Baru Soeharto,
yaitu sistem politik yang sangat membatasi hak – hak rakyat baik secara
politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Kebebasan
berorganisasi dan kebebasan mengeluarkan pendapat adalah musuh utama dalam
logika stabilitas
dan keamanan, karena ini dipandang akan
menganggu jalannya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Yang sebanarnya hai itu diarahkan
pada gerakan rakyat yang menghambat akumulasi modal yang dibutuhkan untuk ekspansi
modal berikutnya.
Tidak susah mengejewantahkan RUU kamnas yang
mengandung nilai-nilai pengancam HAM dan demokrasi. Misalnya:
Pasal 1 tentang Ketentuan
Umum. Dinyatakan dalam RUU tersebut: “Keamanan Nasional merupakan kondisi dinamis bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang menjamin keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan warga negara,
masyarakat, dan bangsa, terlindunginya kedaulatan dan keutuhan wilayah negara,
serta keberlangsungan pembangunan nasional dari segala Ancaman . Dalam pasal ini seolah-olah pembangunan nasional yang dilakukan memberikan
efek kesejahteraan namun berbanding terblik dengan realitas yang terjadi
(kenaikan harga BBM, pendidikan dan kesehatan mahal, upah buruh masih rendah,
penggusuran dimana-mana,dsb).
Pasal 1 ayat 2: Ancaman adalah setiap upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan, baik dari dalam
negeri maupun luar negeri, yang dinilai dan/atau dibuktikan dapat membahayakan keselamatan
bangsa, keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan kepentingan nasional di berbagai aspek, baik ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan dan keamanan. Pasal ini nampak jelas
bahwa negara anti terhadap keberagaman dalam masyarakat, padahal keberagaman
merupakan salah satu dasar tegaknya demokrasi.
Pasal 14 ayat 1: yang menyatakan status
darurat militer akan diberlakukan bila ada kerusuhan sosial. Padahal fungsi
profesional militer hanya menjaga kedaulatan negara, bukan terlibat konflik
sosial. Bila pun ini terjadi, peran militer menembaki mahasiswa pada peristiwa
98 akan terulang kembali.
Dari beberapa contoh
pasal ini, nampak jelas bahwa logika kestabilan dan keamanan
adalah kebohongan agar rakyat menerima dan mendukung mengesahan RUU ini.
Padahal dalam RUU ini negara berniat memperkecil ruang-ruang demokrasi,
mengancam organisasi-organisasi oposisi yang dianggap berbahaya, mengancam
rakyat sipil yang ingin menuntut hak-hak kesejahteraannya sebagai warga negara.
No comments: