Ketika mendengar kata “UN”, pikiran kita akan melayang membayangkan
pengalaman melewati masa-masa kritis penghujung sekolah, setumpuk buku,
les tambahan yang cukup merogoh kantong orang tua. Ujian Nasional
menjadi momok menakutkan akhir-akhir ini. Seakan-akan Ujian Nasional lah
penentu masa depan para siswa. Setiap tahun kata “tidak lulus” yang
tertera di amplop saat pengumuman kelulusan dapat membuat siswa depresi
hingga menelan korban bunuh diri.
Tidak hanya siswa yang menanggung beban psikologis, tetapi
orang tua para siswa ikut menanggung perasaan malu di masyarakat. Di
tambah lagi reputasi sekolah akan di nilai buruk ketika memiliki tingkat
ketidaklulusan yang tinggi. Hal ini memancing para guru untuk
melakukan kecurangan saat ujian nasional. Ujian Nasional tak ubahnya
seperti monster tangguh yang dilawan dengan konspirasi siswa-guru.
Alangkah gawatnya negeri ini, generasi muda di pupuk nilai-nilai korup
dan menghancurkan budaya jujur dan sportivitas. Pada akhirnya Ujian
Nasional menjadi ajang kecurangan “yang mahal” dari tingkat elit hingga
tingkat bawah.
Indonesia Research Center (IRC) mencatat Ujian
Nasional (UN) 2013 kali ini sebagai yang termahal sepanjang sejarah.UN
di atur dalam Pasal 58 UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional/UU Sisdiknas dimana mengatur soal standarisasi. Pelaksanaan
ujian nasional yang kacau balau ini sebagai cermin sekaratnya sistem
pendidikan di Indonesia. Masalah kronisnya terletak pada arah sistem
pendidikan.
Apakah arah pendidikan untuk menjahit krisis kapitalisme
global yang semakin akut? Atau kah untuk menjawab kenyataan hidup rakyat
dibawah cengkraman kapitalisme ?
Keributan yang sedang marak dibicarakan di picu oleh
keterlambatan soal UN dan LJK dari 33 propinsi, 11 provinsi harus
menunda pelaksanaan UN karena alasan teknis pencetakan soal dan
distribusi. Telah menjadi rahasia umum bahwa kegaduhan ujian nasional
setiap tahun telah mencabik-cabik wajah sistem pendidikan di Indonesia.
Bocornya soal, siswa mencontek, soal tertukar, joki UN, dan persoalan
lainnya menambah parah wajah Ujian Nasional. Anggaran pelaksanaan UN
sebesar Rp. 644,25 milyar tahun ini merupakan anggaran terbesar
sepanjang sejarah Ujian Nasional. Dengan anggaran sebesar itu akan lebih
berguna dengan membangun dan memperbaiki infrastruktur sekolah. Saat
ini KPK mulai mengusut indikasi korupsi anggaran UN yaitu: pembengkakan
anggaran UN sekitar Rp. 100,8 milyar, biaya per siswa yang awalnya Rp.
39 ribu membengkak menjadi Rp. 53 ribu per siswa, dan kualitas LJK yang
tipis.
Peribahasa “Jauh panggang dari api” cukup tepat menggambarkan
logika pemerintah atas ujian nasional sebagai penentu kelulusan
siswa. Ujian nasional mampu menjadi tukang vonis tentang pintar atau
bodoh tergantung pada lulus-tidaknya siswa. Apalagi ketidaklulusan siswa
hanya karena lembar jawaban yang tidak terbaca oleh komputer. Bagaimana
mungkin menseragamkan kualitas soal ujian secara nasioanal, antara
sekolah-sekolah di perkotaan dan pedesaan/pedalaman. Secara
infrastruktur sekolah sangat jauh berbeda, metode pendidikan, fasilitas
penunjang kurikulum, kualitas guru. Sehingga tidak dapat di pungkiri ada
yang salah dan harus diperbaiki dari sistem pendidikan di Indonesia.
Sekilas Situasi Sistem Pendidikan
Pondasi awal pembangunan pendidikan di Indonesia dapat di
rekam dari jejak politik etis oleh Belanda. Pendidikan saat itu
dibangun dengan tujuan memaksimalkan produktivitas penjajahan
(kapitalisme Dagang), hanya golongan priyayi yang dapat menikmati
pendidikan saat itu. Ratusan tahun berlalu, secara esensial pendidikan
sekarang tak banyak berubah. Hanya orang berduit yang dapat menikmati
sekolah. 20% dana pendidikan (termaksud komponen gaji guru) tidak
menyurut angka putus sekolah siswa, berdasarkan data Depdikbud bahwa
setiap 1 menit terdapat 4 anak putus sekolah. Pendidikan jadi barang
dagangan yang memperbesar perut para pengusaha. Nafas privatisasi dan
komersialisasi pendidikan dapat tercium jelas pada UU Sisdiknas nomor 20
tahun 2003 terutama dalam pasal pembiayaan pendidikan dan Badan Hukum
Pendidikan. Dalam pasal-pasal ini secara jelas dikatakan bahwa
masyarakat wajib turut serta dalam membiayai pendidikan, dan Badan Hukum
pendidikan diperbolehkan sampai tingkat SD. Tentu saja pada gilirannya
privatisasi pendidikan akan memperkecil akses rakyat atas pendidikan
yang akhirnya berujung pada semakin akutnya pemiskinan dan penggangguran
di Indonesia. Menurut Kemenpora jumlah pada tahun 2012 terdapat 47, 81
% pengangguran terdidik terbanyak adalah lulusan perguruan tinggi,
yaitu 12,78%. Posisi berikutnya disusul lulusan SMA (11,9%), SMK
(11,87%), SMP (7,45%) dan SD (3,81%). Kebijakan kontroversi di sistem
pendidikan terus bergulir, dari NKK-BKK, UU Sisdiknas, PT BHMN hingga
UU Perguruan Tinggi. Kebijakan-kebijakan tersebut yang melambungkan
harga pendidikan menjadi komoditas—yang di hargai dengan seberapa banyak
uang yang kita miliki.
Era privatisasi dan komersialisasi pendidikan di tandai
dengan perubahan status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan
Hukum Milik Negara. Kampus-kampus menjadi lahan basah bagi bisnis
korporasi nasional maupun multinasional semakin tinggi harga yang harus
di bayar oleh rakyat. Pada Perpres Nomor 76 dan 77 yang merupakan
turunan dari UU Penanaman Modal Asing dinyatakan jelas bahwa pemodal
dapat melakukan penanaman modal asing ke sektor pendidikan hingga 40%.
Pasca di cabutnya UU BHP, Pemerintah tidak kehilangan cara untuk
melakukan privatisasi dan komersialisasi dunia pendidikan secara
terang-benderang dengan mengesahkan UU Perguruan Tinggi.
UN di masa ORBA
Sistem ujian nasional bermula saat orde baru di bawah
kroni Soeharto dan telah mengalami beberapa kali perubahan dari tahun ke
tahun, perkembangan ujian nasional tersebut yaitu: Periode tahun 1965 – 1971,
pada periode ini, sistem ujian akhir yang diterapkan disebut
dengan Ujian Negara, berlaku untuk semua mata pelajaran. Bahkan ujian
dan pelaksanaannya ditetapkan oleh pemerintah pusat dan seragam untuk
seluruh wilayah di Indonesia.
Periode 1972 – 1982, sistem Ujian Sekolah
pelaksanaan diselenggarakan oleh masing-masing. Pemerintah pusat hanya
menyusun dan mengeluarkan pedoman yang bersifat umum. Untuk meningkatkan
dan mengendalikan mutu pendidikan serta diperolehnya nilai yang
memiliki makna yang “sama” dan dapat dibandingkan antar sekolah.
Periode 1982 – 2002, pada tahun 1982
dilaksanakan ujian akhir nasional yang dikenal dengan sebutan Evaluasi
Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Dalam EBTANAS dikembangkan dan
diseragamkan seluruh sekolah di Indonesia.
Periode 2002-2004, sistem
EBTANAS diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan
kemudian berubah nama menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN). Perbedaan yang
menonjol antara UAN dengan EBTANAS adalah dalam cara menentukan
kelulusan siswa, terutama sejak tahun 2003. Untuk kelulusan siswa pada
UAN ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual. Penentuan
lulus di tentukan oleh hasil siswa pada UAN.
Periode 2005 – sekarang, mulai tahun 2005
untuk mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan yang
bermutu, pemerintah menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) untuk
SMP/MTs/SMPLB dan SMA/SMK/MA/SMALB/SMKLB. Sedangkan untuk mendorong
tercapainya target wajib belajar pendidikan yang bermutu, mulai tahun
ajaran 2008/2009 pemerintah menyelenggarakan Ujian Akhir Sekolah
Berstandar Nasional (UASBN) untuk SD/MI/SDLB.
Segala metamorfosis Ujian Nasional yang dilakukan oleh
pemerintah hanyalah remeh -temeh kurikulum, seolah-olah pemerintah
peduli terhadap kualitas pendidikan . Nampak jelas bahwa Ujian Nasional
peninggalan rezim Orde Baru adalah upaya untuk menyeragamkan kualitas
pendidikan di Indonesia yang nyata-nyatanya berbeda. Bagaimana mungkin
melakukan penilaian terhadap kemajuan kualitas pendidikan dengan
persentase kelulusan pertahun siswa? Padahal fakta-fakta di atas telah
menunjukan bahwa UN hanya ajang kongkalingkong yang tidak ada
hubungannya dengan kemajuan kualitas pendidikan. Gonta-ganti “Ujian
Nasional” hingga kurikulum hanya berganti baju saja dan membuang sia-
sia anggaran pendidikan.
Tanpa menyelesaikan masalah yang paling fundamental dari
sistem pendidikan Indonesia. Dunia pendidikan di Indonesia akan terus
terpuruk dan jatuh dalam jurang kehancuran. Arena sekolah seharusnya
menjadi ajang kegembiraan siswa mengasah pengetahuan, meningkatkan
kreatifitas demi meningkat mutu pendidikan yang berkualitas serta
memiliki solidaritas tinggi untuk menyelesaikan realitas.
Selama sistem pendidikan Indonesia bernafaskan kepentingan
neoliberalisme, selama itulah generasi muda hanya akan dipersiapkan
sebagai budak-budak kapitalisme dan melanggengkan hegemoni
kapitalisme. Karena sekolah bagi kapitalisme hanyalah alat untuk
mencetak generasi yang individualistik, rendah solidaritas dan semakin
jauh dari realitas objektif demi mengamankan kepentingan modalnya yang
terus beranak-pinak.
Tak cukup Hapus UN
Ujian nasional jelas tidak memiliki mamfaat terhadap
kemajuan dunia pendidikan di Indonesia. Hambatan sistem pendidikan kita
terletak pada akar ekonomi -politik kapitalistik yang di jalankan oleh
pemerintah agen kapitalisme. Selama akar persoalan masih kuat
mencengkram Indonesia maka akan sangat sulit mewujudkan pendidikan
berkualitas, demokratik, adil/setara hingga bervisi kerakyatan. Karena
pemerintah yang kapitalistik tidak berkeinginan membangun sistem
pendidikan yang pro terhadap kepentingan rakyat.
Saat ini, sistem pendidikan kapitalistik, kurikulum
pendidikan yang kaku dan pesanan kapitalis, arah akademik yang mengejar
rating, budaya paternalistik warisan orde baru, guru sebagai pegawai
ketimbang pendidik, siswa yang patuh dan siap jual di bursa pasar
tenaga kerja hingga buku-buku yang jauh dari sentuhan kritis.
Paul Trowler dalam bukunya education policy (1983)
menjelaskan bahwa proses pembuatan kebijakan di dalam sistem pendidikan
merupakan pengejewantahan dari ideologi yang di anut oleh kelas
berkuasa. Bahwa seluruh ide-ide dan nilai-nilai di dalam masyarakat
diatur serta diarahkan pada tujuan kelas berkuasa.
Menurut Paulo Freire, mewujudkan pendidikan yang humanistik
(memanusiakan -manusia) terdiri dari tiga kompenen dalam hubungan
dialektis yang selaras, yaitu: pengajar, pelajar dan realitas. Pengajar
dan pelajar adalah subjek sesuai dengan porsinya masing-masing,
sementara realitas merupakan objek yang disadari oleh subjek. Dialektika
antara subjek dan objek inilah yang belum digunakan oleh sistem
pendidikan di Indonesia yang gaya “bank”. Bahwa anak didik adalah objek
investasi. Depositornya adalah pemerintah agen kapitalisme, memapankan
hegemoni kelas berkuasa guna memelihara ideologi kapitalisme.
Bagi Freire, sistem pendidikan justru harus menjadi kekuatan
penyadar dan pembebas umat manusia. Sistem pendidikan mapan selama ini
telah menjadikan siswa sebagai manusia-manusia yang terasing dan
tersisihkan dari realitas dirinya sendiri dan realitas disekitarnya,
karena sistem pendidikan saat ini hanyalah mendidik siswa menjadi
menjadi seperti orang lain, atau bukan menjadi dirinya sendiri.
Alternatif
Kuba, negara berkembang yang terkenal sebagai negara
pembangkang kapitalis global (Amerika) ternyata memiliki kepedulian
tinggi terhadap pendidikan. Keberhasilan pemerintah Kuba dalam mendorong
kualitas pendidikannya antara lain: 97 % tingkat melek huruf penduduk
kuba di atas usia 17 tahun. Setiap 20 siswa sekolah dasar di layani 1
pengajar dan 15 siswa sekolah menengah di layani 1 pengajar. Pemerintah
Kuba berhasil membebaskan seluruh biaya pendidikan dari sekolah dasar
hingga perguruan tinggi. Sehingga siswa di fokuskan untuk belajar tanpa
memusingkan biaya pendidikan. Pemerintah Kuba juga memiliki inovasi
kebijakan “university for all” salah satu program mengajar dengan
memanfaatkan media siaran televisi. 394 jam dalam seminggu jatah
rakyat menikmati pendidikan langsung lewat siaran televisi. Program
tersebut di asuh oleh berbagai profesor di Kuba. Sangat menarik bahwa
sistem pendidikan di Kuba di kelola bersama oleh pengajar, siswa dan
orang tua siswa. Selama 40-an tahun pasca revolusi, Kuba, semakin
memperlihatkan keberhasilan membangun tenaga produktif rakyat dengan
perhatian yang sungguh-sungguh dilakukan oleh pemerintah Kuba terhadap
pendidikan.
Tak kalah penting juga di Venezuela. Komitmen pemerintah
Venezuela terhadap pendidikan di wujudkan dengan kebijakan menaikkan
gaji guru. Hingga saat ini gaji guru sudah melampaui angka 8 juta hingga
14 juta perbulan. Sehingga tidak seperti mayoritas guru di Indonesia
yang mengesampingkan kepentingan mengajar karena harus mencari peluang
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Venezuela, memberikan tunjangan
yang dibutuhkan guru hingga mengadakan pelatihan khusus guna
memaksimalkan tenaga pengajar.
Tugas: Wujudkan Impian!
Pendidikan harus gratis! Tetapi hal ini bertentangan
dengan kepentingan kapitalisme. Pemerintah agen kapitalisme akan melepas
tanggung jawab pendidikan jika di nilai bahwa subsidi negara atas
pendidikan memberatkan pemerintah. Pendidikan di serahkan pada mekanisme
pasar. Alhasil pendidikan menjadi mesin-mesin pencetak generasi yang
patuh terhadap dikte-dikte modal.
Jalan keluar dari krisis pendidikan di Indonesia tidak bisa
lagi disandarkan pada pemerintah agen imperialis. Kegaduhan ujian
nasional hanyalah riak-riak kecil dalam tubuh sistem pendidikan yang
sekarat ini. Pendidikan hakikatnya adalah alat bagi rakyat untuk
menumbuhkembangkan potensi diri (kognitif,afektif dan psikomotorik)
guna menjawab potensi alam demi kesejahteraan bersama. Ujian nasional
harus di hapuskan, solusinya bukan dengan memformulasikan kembali ujian
nasional, tetapi dengan menyelesaikan akar persoalan sistem pendidikan
yang kapitalistik. Ketika pendidikan mahal maka semakin rendah rakyat
dalam mengelola potensi diri dan potensi alam. Dan, selanjutnya semakin
hancur tenaga produktif rakyat. Hingga akhirnya rakyat akan jatuh pada
jurang kemiskinan dan kebodohan.
Kekuatan gerakan mahasiswa masih kecil dalam memenangkan
tuntutan-tuntutan pendidikan misalnya pendidikan gratis dari tingkat SD
hingga Universitas. Pembukaan demokrasi di kampus-kampus, kurikulum
yang bervisi kerakyatan, dll. Padahal dengan kekayaaan alam yang ada
pendidikan gratis sangat dimungkinkan. Tetapi apakah mungkin rezim agen
kapitalis rela memberikan pendidikan gratis kepada rakyatnya? Tentu saja
tidak. Maka, negara harus disterilkan dari kepemimpinan agen
imperialisme (rezim SBY-Budiono, partai politik dan elit politik
borjuis). Gerakan mahasiswa bersama gerakan rakyat (buruh, tani, kaum
miskin kota/desa) berkepentingan menuntut pendidikan gratis serta
mewujudkan pengambil-alihan kepemimpinan negara. Mengutip kalimat dari
chaves bahwa “untuk memberantas kemiskinan berikanlah
kekuasaan kepada orang miskin: pengetahuan, tanah, kredit, teknologi,
dan organisasi. Itulah satu-satunya cara mengakhiri kemiskinan [hugo
chavez, 2005].
Bermimpi mengharapkan pendidikan gratis, demokratis,
ekologis, adil/setara dan bervisi kerakyataan kepada pemerintahan agen
Imperialis adalah ketidakmungkinan yang pasti. Sebaliknya dengan
kepemimpinan gerakan rakyat lah maka cita-cita sekolah yang mendidik
akan terwujud. Selamat Hari Pendidikan Nasional!
*Anggota Partai Pembebasan Rakyat
No comments: