internasional

nasional

cerita

» » » » Sistem Produksi Ekonomi Global, Dampak, Perkembangan, Kritik dan Solusi (oleh: Dudi)

A. Latar Belakang
            
Nama Fordism diambil dari nama seorang pengusaha raksasa mobil AS yaitu Henry Ford yang telah berhasil mewujudkan mekanisme Produksi massal, namun yang mengistilahkan system dari produksi global ini sendiri bukanlah dari Henry Ford tapi dari seorang Filsuf Kiri (Sosialis) berkebangsaan Italian bernama Antonio Gramsci, beliau menulis mengenai Fordism pada buku salah satu essay nya yang bernama ‘Americanism and Fordism’ dalam catatan ketika dipenjara (sekedar catatan; beliau dipenjara karena menolak rezim Fascist Italia Bennito Mussolini saat itu). 


Fordism sendiri digambarkan mewakili bentuk dari sebuah era emas dari kapitalisme, dimana Kapitalisme yang selama ini digambarkan oleh Karl Marx akan mengalienasikan para buruh pekerja dan akan menimbulkan gerakan perlawanan dari parah buruh (Proletar) malah tidak pernah terjadi di AS khususnya dalam kasus perusahaan mobil Ford, mengutip pernyataan sejahrawan Eric Hobsbwam bahwa salah satu keunggulan kapitalisme adalah kemampuannya untuk terus mengadaptasi dan mentransformasi masyarakat, yang kemudian diperkuat oleh politisi dari Inggris yaitu Richard Robison (1987) yang  menyatakan, "the most important revolutionary force at work in the Third World today is not communism or socialism but capitalism". (dikutip dari tulisan ahmad mardatillah umar) 

Mekanisme produksi yang diadopsi oleh Henry Ford pada perusahaan mobilnya sebenarnya diawali dari Fredrick Winslow Taylor, seorang berkebangsaan Inggris yang berhasil menemukan Teori Manajemen terutama sekali terkait efesiensi ekonomi dan peningkatan produktivitas pekerja serta memulai penggunaan mesin didalam produksi masalnya, walau pandangan dari Taylor mendapat kritik dari serikat pekerja di Inggris waktu itu karena hanya membuat pekerja seperti barang/mesin dimana nilai mereka lebih rendah dari barang yang dihasilkan serta menganggap pekerja hanya bagian dari asset pemilik modal (Miller: 2008) 

Bentuk keberhasilan dari Fordism ini sebenarnya dilatar belakangi  dari Konsumsi Massal yang dipadukan dengan Produksi Massal dan system upah berdasarkan kinerja sehingga mampu menciptakan sebuah bentuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan penyebaran peningkatan proses teknologi manufaktur/produksi barang, dan kunci strategi dari Fordisme adalah sebagai berikut:
  • Standarisasi Produk (dimana semua menggunakan mesin dan sehingga bisa menggunakan tenaga kerja yang tidak terdidik sekalipun)
  • Penggunaan peralatan produksi dengan tujuan-tujuan khusus
  • Pekerja dibayar dengan upah yang tinggi, bahkan memiliki kemampuan untuk membeli barang yang mereka produk sendiri (Tolliday: 1987)
Reindhart dalam menganalisa kinerja keberhasilan dari Fordisme kedalam 4 level analisa, sebagai berikut:
  • Fordisme sebagai Paradigma Industri modern (produksi masal, manajeme kerja, manufaktur produksi, semi-skilled labor force
  • Fordisme sebagai bentuk akumulasi ekonomi, terutama sektor industry besar/makro
  • Fordisme sebagai bentuk dari Regulasi, mampu mempengaruhi dan menjadi standar regulasi sosial dan ekonomi
  • Fordisme sebagai bentuk usaha yang mampu mempengaruhi dan menjadi standar nilai dari masyarakat pembeli, contohnya bahwa suatu masyarakat dikatakan mapan jika memiliki mobil
Strategi produksi yang tepat sehingga mampu memproduksi mobil yang banyak dengan harga yang murah sehingga membuat masyarakat kelas menengah AS mampu membeli mobil produksi Ford dan berdampak pada pemasukan yang besar bagi perusahaan sehingga membuat perusahaan mampu member upah yang tinggi kepada pekerja dan mampu membeli barang yang diproduksi mereka sendiri, yang berarti mampu membantah teori nilai dan alienasi Karl Marx. 

Inilah yang dimaksud dengan era keemasan kapitalisme, dimana aktivitas ekonomi yang meningkat ditopang oleh industrialisasi oleh kelompok capital dan mampu mensejahterakan para pekerjanya disisi lain, dan harmonisasi antara pekerja dan pemilik perusahaan tercipta dengan baik dengan mekanisme Fordisme. 

Selain analisis dari sudut pandang pelaku bisnis, dari sudut Pemerintah AS sendiri memandang bahwa perlunya ditopang industry besar seperti Ford ini untuk menambah pertumbuhan ekonomi AS terutama sekali bagi pembukaan lapangan kerja baru, bentuk bantuan dari pemerintah AS salah satunya melalui pembangunan infrastruktur jalan yang banyak dan kualitasnya bagus sehingga masyarakat AS semakin memiliki alasan yang kuat untuk membeli produk mobil Ford, yang menandakan jika konsumsi masyarakat terus berjalan berarti ekonomi nasional juga berjalan. 

Perkembangan istilah Fordisme sendiri sudah melewati makna awalnya pada sebatas strategi industry yang dilakukan oleh Ford, tapi juga menjadi pola kebijakan Ekonomi-Politik Amerika Serikat, Fordisme disini seperti mengalami Kohesifitas dengan system Keynes, dimana Industri swasta yang besar ditopang oleh bantuan Negara sehingga mampu meningkatkan ekonomi sebuah Negara secara keseluruhan. 

Sebagai pemenang Perang Dunia ke 2 dan mengalami kerusakan infrastruktur yang sangat kecil, AS kemudian semakin memperkuat ekspansi kekuatan ekonomi-politik nya keluar dengan membentuk perusahaan-perusahaan MNC yang menguasai energy minyak dan juga mulai dibentuk rezim-rezim internasional yang membawa kepentingan besar AS.

B. Keruntuhan Fordisme dan menjadi Post-Fordisme
            
Perkembangan Fordisme yang luar biasa terjadi pada masa 1950-1970an awal, Gross Nasional Produk (GNP) AS meningkat 6 kali lipat dari US$ 208.5 Milyar ke US$ 1.397,4 Milyar (Mandel; 1980), Total dari produkitivitas pekerja AS meningkat 2 kali lipat pada tiap tahun nya semenjak dikenalkannya system Fordism (Gordon: 1982), dan rata pendapatan pertahun meningkat antara 5-6% per tahun nya (Harvey: 1989). Dan rata-rata pertumbuhan ekonomi pertahunnnya adalah 5% dan pertumbuhan ekspor rata-rata 9% per tahun (Harvey: 1989), rata-rata upah pekerja pun meningkat naik terus menerus diawali dari US$ 200 perminggu pada tahun 1950 menjadi diatas US$ 350 perminggu pada tahun 1970an (Harvey: 1989). Dan nilai inflasipun tidak pernah menyentuh diatas 6% pertahunnya dan rata-rata berada pada kisaran angka 3% (Mandel:1980), dan tahun 1950-1970an ditandai sebagai era keemasan Fordisme. 
        
Pada pertengahan tahun 1970an-1980an mulai terjadi perubahan transisi penguasaan energy minyak dunia yang sebelumnya berada di tangan Negara maju seperti AS dan Eropa barat yang dikenal dengan Seven Sisters yang kemudian mulai menurun kepemilikan energy dunia (terutama minyak) yang kemudian dimiliki oleh OPEC yang mayoritas dimiliki oleh Negara-negara arab dan timur-tengah, perang Arab-Israel (Yom Kippur) yang kemudian menyulut penghentian pengiriman minyak oleh Negara-negara yang tergabung di dalam OPEC terutama yang berasal dari Timur-Tengah menjadi awal krisis ekonomi di AS, yang kemudian berdampak sektor perekonomian AS yang tertimpa inflasi tinggi dan mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi, pada masa tahun 1973-1985 krisis di AS ditandai dengan menurunnya angka pendapatan menjadi 3%,  upah yang menurun sebesar 15% menjadi US$ 300 per minggu (Harvey: 1989). 

Inflasi menyentuh angka 10% yang berarti telah merusak batas psikologis masyarakat dan menyebabkan pengangguran yang terjadi secara structural dan pengurangan upah para pekerja menjadi satu-satunya solusi penyelamatan perusahaan (Mandel: 1980).    
            
Peristiwa ini menjadi awal dari perubahan era Fordism ke Post-Fordism, menurut Jessop perubahan ini didasari oleh beberapa factor:
  • Mulai bermunculannya teknologi baru
  • Proses intenasionalisasi
  • Perubahan paradigma
Yang kemudian diperkuat dari analisa Lipietz yang membagi 2 sebab dari perubahan Fordism ke Post-Fordism:
  • Factor internal, karena adanya ketidak percayaan lagi terhadap system Fordisme didalam negeri, mengingat ketidak mampuannya dalam mencegah dampak krisis
  • Factor eksternal, karena semakin kuatnya interaksi internasional dan kompetisi diantara Negara-negara dunia yang juga membuat andil perubahan
Factor lain menurut sebagian pengamat seperti Michel Aglietta menyatakan bahwa salah satu sebab terjadinya perubahan adalah adanya kesadaran paradigma masyarakat kelas pekerja di AS bahwa krisis di AS lebih dilatar belakangi intensifikasi kelas buruh/pekerja terkait produksi, dimana jumlah pendapatan mereka tak sebanding dengan produk yang mereka hasilkan (Aglietta: 1979), jadi pada prinsipnya krisis ini bukan saja terkait dengan masalah tekhnis tidak baiknya system Fordisme, tapi lebih kepada adanya perubahan pola hidup masyarakat. Kritik lain juga datang dari kelompok pemikir seperti Mikde Davis yang mendefinisikan bahwa Demokrasi di AS adalah Demokrasi Kapitalisme dibawah ekspansi  dan pengawasan Demokrasi Borjuis dan Konsumsi Massal akan segera menemukan titik akhirnya (Davis, 1989). 

Krisis ini menuntut resolusi terhadap krisis sosial yang terjadi melalui reorganisasi hubungan masyarakat dengan barang, konsumsi, distribusi dan manajemen yang diharapkan akan menghasilkan kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang seimbang dan tidak didominasi oleh kelompok kaya raya di Amerika Serikat. (Gordon: 1980).

C. Post-Fordisme
            
Post-Fordisme yang merupakan penyebutan system tertentu pasca kejayaan Fordisme, pendekatan ini pada prinsipnya mencoba mencari kerangka teori baru terkait sosial-politik dan ekonomi dan level analisa yang berbeda dalam menghadapi perubahan kedepannya, dan Post-Fordisme sendiri telah melahirkan berbagai argumentasi dari berbagai pakar dengan berbagai macam pendekatannya, berikut beberapa pendekatan itu:
  • Kelompok Neo-Smithian: berpandangan bahwa dalam mekanisme produksi jangan lagi bergantung pada produksi masal tapi mulai menggunakan mekanisme Flexible Specialization
  • Kelompok Neo-Schumpeterian: berdasarkan pendekatan long wave, yang menitik beratkan pada paradigma Techno-Economy, yang menjelaskan bahwa perputaran ekonomi dunia kedepannya berdasarkan perkembangan dan kuatnya arus tekonologi informasi dan komunikasi
  • Kelompok Neo-Marxian (kelompok eko-pol Perancis): kelompok ini menitik beratkan perhatiannya pada struktur regulasi yang dibuat oleh system kapitalis dalam menghadapi tantangan krisis, instabilitas dan perubahan, dan kelompok ini tidak menekankan adanya revolusi kepada system kapitalis jika ada krisis, tapi menekankan perlu adanya reorganisasi dan ­rejuvenate kembali
Pada prinsipnya menurut Hall, poin-poin utama dari Post-Fordisme adalah sebagai berikut:
  • Produksi yang tidak masal
  • Bidang ekonomi yang jelas
  • Spesialisasi produk dan pekerjaan
  • Teknologi informasi yang baru
  • Menekankan tipe konsumen
  • Meningkatkan pelayanan dan pekerja kerah-putih
  • Feminisasi tempat kerja (Hall,S: 1988)

D. Analisa
             
 Dalam analisa saya, terdapat beberapa hal yang tidak menggambarkan kondisi sebenarnya dari apa yang dimaksud era keemasan global, klaim para pemikir barat bahwa system Fordisme bahwa ini adalah system terbaik secara global buktinya hanya menjadikan AS dan Negara-negara industry lainnya seperti Eropa Barat dan Jepang sebagai acuannya, namun Negara-negara non-industri atau non-OECD yang masih terbelakang dan tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari system ini, bahkan jika kita pandang dari sudut pandang Negara berkembang atau terbelakang bentuk Fordisme hanya bagian dari Neokolim (bentuk lain dari kolonialis dan imprealis), jadi ada dua sanggahan, pertama klaim global yang tidak tepat karena hanya dilakukan oleh beberapa Negara saja dan tidak meliputi seluruh kawasan di bumi, klaim mampu menciptakan kesejahteraan yang terlalu tendensius karena hanya mampu memberi kesejahteraan pekerja di Negara-negara maju yang memiliki dampak politik didalam negeri bahkan itupun masih mendapat penentangan akhirnya dari para pekerja di AS, apalagi terhadap pekerja-pekerja dari Negara lain dimana industry-industri besar ini membuat pabrik-pabrik industrinya yang sangat tidak memperhatikan para pekerja dan karyawannya. 

Kritik saya terhadap Fordisme dan Post-Fordisme juga melalui buku Raymond C. Miller yaitu International Political Economy: Contrastring World Views, yang menjelaskan bahwa Fordisme tak lain hanya Neo-Imprealisme dan Post-Fordisme tak lain adalah Neo-liberalisme yang menekankan liberalisasi perekonomian dengan cara swastanisasi dan privatisasi, bahkan tak jarang intervensi dilakukan oleh Pemerintah Negara-negara besar seperti AS agar menekan Negara yang memiliki SDA seperti Indonesia (kasus blok cepu), dimana Pemerintah AS menekan agar blog migas cepu tidak dikelola oleh Pertamina tapi dikelola oleh Chevron dan ini tentu merupakan bentuk system yang buruk. 

Dari sisi epistemology dan ontology nya sendiri saya menilai Fordisme dan Post-Fordisme ini terlalu capitalist dan menganggap para pekerja bukan manusia tapi tak lebih sebagai asset perusahaan (baca:barang), konotasi ekonominya terlalu material, tanpa memperhatikan aspek lain dari sebuah perekonomian, seperti aspek moral, sosial dan politik masyarakat terutama para pekerjanya, dan pendekatan Fordism sendiri hanya berfokus pada mekanisme produksi dan manufaktur barang tanpa memperhatikan mekanisme pasca-produksinya, untuk mengkritik ini saya menggunakan pandangan ekonom islam  yaitu Muhammad Baqir As-Shadr yang berpandangan bahwa ekonomi kapitalis telah tidak memanusiakan manusia dengan menganggapnya sama dengan barang serta system pasca produksi yang tidak adil, dimana bagi hasil terhadap nilai barang yang diproduksi para pekerja ditentukan secara mutlak oleh pemilik modal dan pekerja hanya pasrah mendapatkan berapa upah kerjanya.

E. Rekomendasi
            
 Saya menawarkan agar bentuk dari system produksi ‘global’ seperti fordisme atau pun post-fordisme tidak hanya berfokus pada aspek produksinya saja tapi juga perlu diperhatikan aspek pra-produksi, pasca-produksi dan distribusinya, kemudian factor-faktor yang mempengaruhi produksi jangan berfokus pada hal yang material semata seperti manufaktur dan teknologi permesinan atau informasi, tapi juga memperhatikan aspek moral, gender, sosial dan kultur pekerjanya, kemudian juga perlu diperhatikan aspek lingkungan karena system kapitalis yang ada bisa dikatakan telah menguras SDA dunia dan pada akhirnya hasil alam yang Tuhan serahkan bagi seluruh ummat manusia dan isinya ini akhirnya hanya dimiliki oleh segelintir manusia yang disebut sebagai kapital rakus. 

Hal yang bisa kita pelajari dari adanya kekurangan mekanisme kapitalis adalah kurangnya aspek moral dalam berekonomi, sehingga kekayaan alam yang ada menjadi perlombaan keserakahan manusia tanpa ada sekalipun niat untuk berbagi/sosial dan lingkungan juga kurang diperhatikan, maka diperlukan sebuah mekanisme ekonomi baru, yang lebih memperhatikan aspek moral/etika/agama didalam mekanisme perekonomiannya dan menurut saya yang cocok dengan Indonesia yang mayoritas muslim adalah dengan mencontoh Negara Islam seperti Iran yang menerapkan mekanisme ajaran islam didalam perekonomiannya, bahkan terbukti berhasil tumbuh pesat dengan menjadi salah satu kekuatan ekonomi di timur-tengah bahkan disaat Negara ini diembargo Negara-negara kuat dari barat seperti AS, ini menunjukkan bahwa ada aspek kemandirian yang ditawarkan, sekiranya ini bisa didiskusikan lebih lanjut. 

Kemudian terkait Indonesia (Negara berkembang), perlu sekiranya menggunakan mekanisme ekonomi yang tidak terlampau liberal karena akan membuka gerbang Negara-negara luar dengan industrinya untuk menguras kekayaan alam kita, dan sekiranya berkerja sama tetap memprioritaskan keuntungan ada pada kita, ekonomi campuran hal yang tepat disini dimana kita tetap membina kerja sama ekonomi dengan Negara lain tapi tetap memprioritaskan kepemilikan nasional terutama pada industry-industri yang strategis dan kerja samanya harus fair, jangan hanya menguntungkan bagi investor luar, dan perlu ditingkatkan aspek ekonomi kerakyatan (yang menurut saya kurang sekali dalam konteks Indonesia, sebagai catatan kemajuan dan ketahanan ekonomi Indonesia berasal dari sektor UMKM yang ternyata sangat jarang sekali diperhatikan oleh pemerintah.

sebenarnya pandangan Sistem Ekonomi Pancasila (Mubyarto) sudah sangat komprehensif dengan 5 nilai utamanya, yaitu;
  1. Roda perekonomian digerakkan oleh ransangan ekonomi, sosial dan moral
  2. Ada kehendak  kuat dari masyarakat  untuk mewujudkan  kemerataan sosial (egalitarian), sesuai asas kemanusian
  3. Nasionalisme menjiwai setiap kebijakan ekonomi
  4. Koperasi merupakan sokoguru perekonomian dan merupakan bentuk paling kongkrit dari usaha bersama
  5. Imbangan yang tegas antara perencanaan di tingkat nasional dan desentralisasi.
kondisi perekeonomian dunia yang didominasi oleh  kapitalis besar dengan segala kekuatannya telah memposisikan kekuatannya tetap menghegemoni, dalam tawaran solusinya, Antonio Gramsci menawarkan sebuah konsep intelektual organik dimana intelektual yang dengan segenap keahlian dan pengetahuannya tidak lagi hanya menjadi pengisi dan pembicara pada ruang-ruang kelas atau seminar namun juga turut aktif langsung pada kegiatan masyarakat dan membuat sebuah struktur-struktur kecil dimasyarakat pada tingkatan lokal dengan nilai independensi dan kemampuannya untuk bersaing pada kancah persaingan global yang menembus batas keterisoliran letak geografi dan kualitas, dan dalam beberapa kasus hal ini menunjukkan keberhasilan dan yang paling terkenal adalah sosok Muhammad Yunus yang berhasil mendaya gunakan dan mengembangkan potensi ekonomi lokal masyarakat Bangladesh dengan membuat Bank Kredit (Grameen Bank) bagi usaha mikro,kecil dan menengah telah mampu membantu berjalan dan meningkatnya aktivitas perekonomian masyakat miskin di Bangladesh yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat kecil/miskin di Bangladesh.

About Dodoy Kudeter

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply