internasional

nasional

cerita

» » Trade and Development Strategies (Hart and Spero), A Critical Review (oleh:Dudi)

Hart dan Spero mengawali pernyataan tentang kondisi perdagangan dan perkembangannya kedalam 2 bentuk hubungan antara Negara utara (maju) dan Negara selatan (berkembang/tertinggal), hubungan utara-selatan layaknya teori dependencia, hubungan perdagangan Negara selatan ditandai dengan kebergantungannya pada Negara utara, karenanya sebagian besar Negara selatan enggan untuk bergabung kedalam ekonomi internasional karena dianggap tidak membawa dampak yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi, dan hal ini diperparah oleh bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh Negara utara (maju) terhadap Negara selatan pada system perdagangan internasional yang diprakarsai oleh Negara-negara utara (maju).
         

Perjanjian Bretton Woods yang diprakarsai Negara-negara maju terutama oleh Negara pemenang PD 2 telah membentuk sebuah tatanan ekonomi internasional yang meliputi pembentukan bank dunia, IMF dan kesepakatan standar emas. Perjanjian ini menurut Negara selatan hanya didominasi oleh Negara maju dan Negara berkembang tidak memiliki peranan yang besar didalamnya sehingga tidak mampu menyuarakan kepentingan mereka.
            
Karenanya Negara-negara selatan (berkembang) kemudian melakukan isolasi diri atas tatanan ekonomi dan perdagangan internasional yang dibentuk oleh Negara-negara utara (maju), salah satu bentuk isolasi itu adalah dengan menetapkan yang namanya subtitusi impor (P.257), yaitu mendorong dan membangun industry dalam negeri dengan cara protectionism terhadap serbuan produk luar dengan cara memasang tariff masuk yang tinggi bagi barang impor yang masuk, selain itu Hart dan Spero juga mengungkapkan bahwa pendekatan structuralist  juga menekankan kombinasi subtitusi impor dengan integrasi terhadap kawasan dengan diiringi diversivikasi dari produk pertanian dan bahan mentah kepada produk manufaktur dan jasa.
            
Dalam perkembangan awalnya pada bab ini (P.258) menjelaskan bahwa strategi subtitusi impor dan berbagai macam bentuk hambatan lain terhadap produk luar serta menggunakan uang dari subtitusi tadi mampu mendorong pembangunan industry dalam negeri, sayangnya industry yang coba dibangun oleh Negara-negara berkembang tadi gagal berkompetisi di pasar internasional baik itu karena factor internal seperti biaya produksi yang tinggi dan tidak efisien serta produk yang tidak berkualitas, sedangkan factor eksternal diakibatkan oleh tidak mampunya barang-barang hasil buatan industry Negara berkembang bersaing dipasar internasional dengan barang dari Negara-negara maju (utara) dan juga ketidak berhasilan Negara-negara berkembang ini untuk mengintegrasikan perekonomiannya sehingga hanya mampu menciptakan pasar yang kecil untuk produk mereka.
            
Selain itu keseimbangan pembayaran industry-industri Negara berkembang sering kali deficit karena biaya produksi yang tinggi akibat masih banyaknya kebergantungan pada barang-barang impor untuk mengolah industry mereka, pemusatan pembangunan industry dari strategi subtitusi impor ini juga berdampak buruk terhadap sektor lain terutama dari sektor pertanian tradisional yang pendapatan mereka semakin menurun karena kalah bersaing dengan sektor industry, yang berdampak arus deras urbanisasi penduduk ke kota sehingga menambah jumlah pengangguran dan ketidak setaraan pendapatan.
            
Kemudian Spero dan Hart mengutip penjelasan dari Raul Prebisch (P. 259) bahwa tidak mampunya produk ekspor dari Negara-negara berkembang bersaing dipasar internasional karena mayoritas dari produk yang diekspor adalah produk bahan mentah (primer) sehingga bagaimanapun pendapatan yang diperoleh dari Negara-negara berkembang tak akan seimbang dengan Negara-negara maju yang mengekspor barang-barang jadi yang tentu memiliki added value lebih tinggi sehingga membuat pendapatan mereka juga lebih tinggi, dan hal ini ditunjukkan dari data World Business Council for Sustainable Development yang menunjukkan bahwa angka kebergantungan produk ekspor pertanian dan barang mentah terhadap GNP dari Negara-negara berkembang mencapai 24%, yang jika dibandingkan dengan Negara-negara maju hanya berkisar pada angka 2% (P. 260).
            
Melihat hal ini kemudian Negara-negara berkembang merubah pola strateginya dengan cara membuat sebuah kelompok bersama Negara berkembang di PBB khususnya UNCTAD yang kemudian dikenal dengan nama G-77 (yang pada tahun 2008 anggotanya sudah mencapai 130 negara) yang bertujuan agar barang-barang ekspor dari Negara-negara berkembang tidak dihambat oleh Negara-negara maju serta menuntut adanya mekanisme perdagangan dan harga yang adil.
            
Kesuksesan dari Negara berkembang ini ditandai dengan adanya GSP (generalized system of preferences) yang membuat Negara-negara maju mengurangi hambatan perdagangannya terhadap produk-produk ekspor dari Negara berkembang, bertambahnya pasar bagi produk-produk Negara berkembang ini tentu saja membuat pemasukan untuk Negara-negara berkembang semakin bertambah dan bisa berdampak positif bagi pembangunan ekonomi.
            
Selain itu Negara berkembang mencoba merubah tatanan struktur yang sebelumnya bergantung pada Negara maju sekarang dibalik menjadi Negara maju yang bergantung pada Negara berkembang, salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan keunggulan mutlak mereka pada kepemilikan komoditas bahan mentah, keberhasilan ini ditunjukkan oleh OPEC dengan komoditas minyak yang dimiliki oleh Negara-negara berkembang ternyata mampu membuat Negara-negara maju menjadi bergantung pada kebutuhan minyak impor selain juga peranan besar dari Negara-negara OPEC ini dalam menentukan harga minyak dunia.
            
Namun hal keunggulan komoditas ini tidaklah mutlak melainkan komparatif, harga minyak yang naik-turun menandakan bahwa factor demand berpengaruh, dan keunggulan komoditas pada produk minyak oleh Negara-negara berkembang tidak berpengaruh pada produk lain terutama produk pertanian.
            
Karenanya Negara-negara berkembang mulai merubah strateginya kepada Export-Led Growth (P. 268), hal ini dikarenakan factor keunggulan dari Negara-negara berkembang pada sektor komoditas bahan mentah ternyata tak mampu memberi pemasukan yang lebih dan tetap bergantung pada permintaan (demand) dari Negara-negara maju, akibatnya ketika Negara-negara maju mengalami pelambatan atau krisis ekonomi akan berdampak pada berkurangnya demand terhadap komoditas dari Negara berkembang yang akan membuat Negara berkembang mengalami deficit yang lebih parah.
            
Negara-negara berkembang yang bergerak cepat dan mengubah strateginya dari mengekspor barang mentah ke pada barang jadi dengan cara membangun manufaktur untuk industrialisasi dan ini berdampak positif bagi Negara-negara berkembang menerapkan strategi ini karena keunggulan mereka pada upah pekerja yang murah dan produk yang inovasi meniru Negara-negara maju ternyata membuat Negara-negara berkembang ini mampu bersaing pada produk-produk barang jadi dengan Negara-negara maju di pasar internasional, mayoritas Negara berkembang yang berhasil menerapkan ini adalah Negara berkembang yang berada di asia timur (Korea Selatan, Taiwan, Singapore dan Hong Kong) dan mengikut kemudian China dan India.
            
Namun strategi export-led gworth ini tak sepenuhnya terbuka (free) melainkan tetap melakukan restriksi terbatas dan rasional yang bertujuan agar arus perdagangan tetap berjalan lancar dan adil, terkait strategi ini ada perdebatan keilmuan apakah system ini masuk kepada bentuk neoliberalisme, dan anggapan ini banyak ditolak oleh pengamat dan lebih tepat menyebutnya dengan bentuk atau system developmental state (P. 272), yaitu sebuah system dimana Negara dan secara aktif dan sukses mendorong kemajuan dan pembangunan ekonomi, yang kalau dalam bahasa Habermas disebut dengan Negara Kapital.
            
Berkembang dan tumbuhnya perekonomian Negara-negara berkembang kemudian dirasa oleh Negara-negara maju sebagai pesaing utama dan baru mereka akibatnya terjadi persaingan dan perang dagang antara Negara maju dan Negara berkembang yang berhasil menjadi Negara industry baru (NIC’s), bentuk proteksionisme yang semakin massive dilakukan baik pihak Negara maju dan Negara berkembang memaksa dibentuknya sebuah mekanisme atau tatanan perdagangan dunia agar perdagangan internasional tetap berjalan lancar dan adil, dan akhirnya melalui GATT dan perjanjian Uruguay round mampu menciptakan sebuah institusi perdagangan dunia bernama WTO (world trade organization) dan sampai sekarang WTO dianggap sebagai institusi internasional terbaik di dunia karena keberhasilannya dalam menciptakan tatanan perdagangan internasional yang adil (tidak lagi didominasi oleh Negara-negara maju) serta menjadi tidak adanya hambatan dalam perdagangan, dan dari mekanisme ini telah melahirkan sebuah kekuatan ekonomi baru yaitu BRIC (Brazil, Russia, India dan China) yang ditandai dengan jumlah GNP dan penduduk yang besar.
            
Pada prinsipnya pada abad 21, bentuk perdagangan lebih ke arah yang pragmatis dan tidak lagi ideologis, dimana hampir semua Negara sekarang berfokus bagaimana menciptakan sebuah mekanisme perdagangan yang bermanfaat dan efektif untuk dijalankan, selain itu juga ditandai dengan terbentuknya sebuah institusi perdagangan internasional bernama WTO dimana tiap-tiap Negara memperjuangkan dan mengharmonisasikan kepentingan ekonominya disini dan cakupan dari WTO terus berkembang dari membahas perdagangan barang, kemudian jasa, bahkan sampai pada aspek seperti kesehatan dan lingkungan, dan tatanan perdagangan pada abad 21 ini juga ditandai dengan semakin tumbuh pesatnya ekonomi kawasan (regionalism) dalam menciptakan tatanan ekonomi dan perdagangan yang lebih adil dan menguntungkan tentunya
  
Body of the review
            
Analisa saya terhadap tulisan dari Hart dan Spero terkait perdagangan dan model pembangunan ekonomi adalah keinginan untuk menunjukkan bahwa ideology yang selama ini menjadi landasan perdagangan dan pembangunan ekonomi tidaklah efektif, hal ini ditandai dengan beberapa bukti yang dia tunjukkan dari kegagalan bentuk structuralisme maupun liberalism, Negara-negara yang berhasil sekarang kebanyakan adalah Negara-negara yang pragmatis dimana Negara-negara tidak peduli model ekonomi dan perdagangannya dari mana dan seperti apa selama itu efektif untuk pembangunan dan bisa diaplikasinya maka itu yang akan digunakan, dan hal ini persis seperti ungkapan Den Xiaoping yang berkata bahwa tak peduli kucing hitam atau putih selama bisa menangkap tikus maka itu adalah kucing yang baik.
            
Selain itu aktivitas ekonomi juga mulai tidak lagi terdikotomikan untuk memisahkan peranan Negara atau Swasta/Individu dalam pembangunan, dalam banyak model kita bisa melihat di asia timur dengan developmental state nya atau di amerika selatan dengan pink tide nya dimana Negara bisa menjadi aktor capital yang mendorong pembangunan perekonomian, dalam hal ini peran Negara dan swasta semakin tidak bisa dipisahkan.
            
Hart dan Spero juga ingin membantah teori struktur dan dependency didalam tulisannya dimana menurutnya Negara berkembang yang memiliki keunggulan pada komoditas mentah dan Negara maju (utara) yang memiliki keunggulan pada barang jadi pada akhirnya saling membutuhkan (interdependence) dan karenanya haruslah menciptakan tatanan kerja sama ekonomi yang erat antara Negara berkembang dan Negara maju.
            
Peran institusipun disini menarik untuk dicermati, dimana baik itu Negara maju dan Negara berkembang bersama-sama saling memperjuangkan kepentingannya pada ranah institusi internasional, dimana pola pertarungan diplomasi lebih kepada perumusan norma yang harus ditaati seperti pada WTO dan institusi regional, dan tentu ini jauh berbeda dengan era gun-boat diplomacy dimana kekuatan militer digunakan untuk meraup kepentingan ekonomi.
            
Terkait sintesa, saya setuju dengan pandangan Anthony Giddens, Jurgen Habermas, bahkan Murtadha Muthahhari bahwa tatanan dunia akan semakin integralistik, dimana batasan-batasan baik itu pada tataran pengetahuan dan ideology memiliki kesaling keterkaitan satu sama lain,tak terkecuali pada ranah perdagangan dan model pembangunan ekonomi, sintesa ini terus berlanjut hampir pada semua ranah, dulu ekonomi dan politik terpisah sekarang menjadi ekonomi-politik, hard power dan soft power sekarang menjadi smart power dan juga track one diplomacy dan track two diplomacy  menjadi twin track diplomacy.
            
Kejadian ini menandakan bahwa peran Negara dan bukan Negara seperti swasta/individu atau buruh dan pemodal tak lagi bisa dipisahkan atau bahkan dibenturkan, melainkan harus diharmoniskan dan direlasikan dengan baik agar mampu menciptakan bentuk perdagangan dan pembangunan yang sempurna dan pertumbuhannya melibatkan semua pihak dan akhirnya bisa berdampak bagi semua pihak.
            
Adapun kritik saya adalah, Hart dan Spero dalam hal ini terlalu memandang aspek Negara sebagai aktor ekonomi tanpa memperhatikan peran penting  aktor non-negara dalam perumusan kebijakan maupun berjalannya roda perekonomian, dan tulisan mereka juga hanya berpusat pada sekitar aktivitas perekonomian saja dan kebijakan yang tepat dalam mendorong proses pembangunan ekonomi tanpa memperhatikan aspek lain seperti politik atau moral, ambil contoh mengapa kawasan Amerika Latin dalam hal ini jauh tertinggal dengan Negara-negara industry baru di asia timur, salah satu factor yang membedakannya adalah stabilitas politik di Asia Timur dan tidak seperti di Amerika Selatan yang sering dilanda kudeta, begitu juga budaya meritokrasi yang tinggi di Asia Timur juga turut mendorong proses pembangunan ekonomi.

Conclusion and Recommendation
            
Pembangunan perekonomian yang semakin tidak dibatasi oleh ikatan ideology melainkan semakin pragmatis menandakan era semakin pentingnya pengetahuan pada aspek teknis, terutama dalam studi ekonomi-politik global dan perdagangan internasional, dan dalam kancah perdagangan internasional sekarang yang semakin menunjukkan tumbuhnya kekuatan-kekuatan ekonomi baru akan berdampak pada semakin ketatnya kompetisi antar Negara pada perdagangan internasional karenanya semakin diperlukan peningkatan peran penting dari institusi internasional maupun regional dalam menjaga agar mekanisme perdagangan internasional tetap berjalan lancar dan adil.
            
Selain itu perlu dibuat sebuah mekanisme ekonomi global yang semakin canggih dalam mencegah dampak dari terjadinya krisis ekonomi, selain itu pada aspek perdagangan internasional sekiranya perlu ada aturan khusus jika terjadi krisis ekonomi agar proses perdagangan tetap berjalan sehingga mampu terhindar dari krisis bahkan mampu memperbaiki kondisi krisis.
            
Dan yang terpenting adalah dampak sosial dari pembangunan ekonomi dan perdagangan internasional, salah satunya dengan global value chain, sehingga para petani miskin pada tingkat daerah/local yang selama ini harga produknya dibeli dengan murah mampu mampu menjual produknya ke luar negeri dengan harga jauh lebih mahal sehingga mampu meningkatkan pendapatan dan akhirnya mengurangi angka kemiskinan.

About Dodoy Kudeter

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

1 komentar: