Sejak awal Freeport tidak jujur dan tidak adil[1]
Banyak cerita bahwa sejak mulai lakukan eksplorasi, perusahaan ini ‘membeli’ kedaulatan masyarakat Amungsa atas hak ulayat dengan menghadiahi barang komoditi tertentu yang murahan, memanfaatkan keawaman dan ketidakberdayaan masyarakat saat itu.
Setelah eksplorasi, selama puluhan tahun memanen keuntungan besar tapi masyarakat tidak pernah tahu berapa besar hasil yang diperoleh dari pengerukan sumberdaya alam itu. Apa jenis kandungan mineral yang diperoleh pun tak diketahui. Tanggungjawab sosial perusahaan juga baru kelihatan setelah protes terbuka dengan memogokkan aktifitas perusahaan selama sehari yang didukung secara luas pada tahun 1995 – waktu itu James R Moffet langsung ke Timika, dan Freeport mengucurkan dana 1 % dari keuntungannya.
Tidak sedikit rakyat Papua Menjadi korban kekerasan di areal pertambangan perusahaan raksasa ini, terutama manusia Amungme, Nduga, Damal, Dani, Moni, Mee, dan Kamoro.
Rezim Militeristik Orde Baru telah menjamin berjalannya investasi perusahaan ini, hampir tanpa protes yang berarti selama bertahun-tahun, meski perusahaan ini terindikasi melakukan kejahatan ekonomi, kejahatan kemanusiaan, perusakan lingkungan dan pelanggaran-pelanggaran lainnya.
Kalaupun ada protes dari masyarakat, dengan cepat dan tanpa ampun tentara akan menghadapinya dengan pendekatan-pendekatan yang sangat militeristik. Tidak semua kasus kekerasan disebut disini, hanya beberapa saja yang mewakili kekerasan kolektif. “Gejolak 77”, yakni sebuah protes masyarakat yang dilakukan pada tahun 1977 dengan mencoba memotong pipa aliran konsentrat di Tembagapura, yang berbuntut pada tindak kekerasan ABRI yang membekas di hati masyarakat hingga hari ini.
Di tahun 1994-1995 juga terjadi peristiwa kekerasan kolektif terhadap masyarakat sipil yang di-cap OPM karena mengibarkan berdera Bintang Kejora dalam keadaan damai di perkampungan sekitar tembagapura, sebagai bentuk protes pada Freeport. [2]
Antara Januari-Mei 1996, pasukan ABRI dan 16 orang tentara bayaran (SAS, pasukan elit angkatan udara Inggris) melakukan silent operasi di Bela, Jila, Alama dan desa Ngeselema (Mpnduma) – sekitar konsesi Freeport – dengan maksud membebaskan sandera para peneliti asing. Akibatnya, “ada 7 perempuan diperkosa atau secara seksual dilecehkan (1 berumur 3 tahun dan 2 diantaranya berumur 11 tahun); 6 anak sekolah menjadi korban ledakan granat yang disimpan pasukan ABRI di sebuah rumah penduduk (3 diantaranya mati seketika, 2 meninggal dunia setelah dirawat dan 1 lainnya cacat seumur hidup); 4 orang dianiaya dan 2 orang lainnya ditembak dan diintimidasi.”[3]
Saat operasi ini, kebun dan ternak masyarakat dimusnahkan. Karena ketakutan, banyak masyarakat menggungsi ke hutan, akibatnya sekitar 213 orang masyarakat meninggal dunia karena kekurangan bahan makanan dan sakit. Antara 9-13 Mei, ada 8 warga sipil terbunuh, 4 orang ditemukan telah menjadi mayat, 2 warga Indonesia yang disandera dibunuh.
*Herman Katmo adalah Anggota Tim Informasi, riset, dan Dokumentasi Nasional Papua Solidarity. Tulisan ini disampaikan sebagai pengantar diskusi di Kontras Jakarta, pada 29 Mei 2013. Sebagian besar isi tulisan ini diambil dari tulisan saya, “Freeport Menanbang Mineral, Rakyat Papua Mendulang Kekerasan – Kematian Jenderal Kwalik dan Jalan Panjang Ketidakadilan” yang di terbitan Garda-P, bulletin Wene edisi 2, para laporan utama.
Sumber :
[1] Dalam buku “Moses Kilangin Uru Me Ki” diungkap bahwa masyarakat lembah Waa dan Banti di bawah pimpinan dua kepala sukunya, Tuarek dan Nigaki, sebenarnya telah melakukan protes kepada Freeport diawal explorasinya pada tahun 1967 sebab mereka menyadari bahwa nemangkawi sebagai tempat keramat suku Amungme akan dirusak. Dan bersamaan dengan itu, uru Me Ki (sang guru besar) Moses Kilangin yang waktu itu diminta pihak Freeport untuk meyakinkan masyarakat, berpesan kepada John Curri – wakil pengawas senior Freeport saat itu – dengan mengatakan, “kalau kalian bikin begini nanti masyarakat bikin begitu. Nanti bermasalah terus menerus. Lebih baik kalian kerja jujur dan adil saja, sehingga kalian tidak diganggu terus. Kalau ada hasil, bicara baik-baik dengan masyarakat. Jangan meremehkan masyarakat. Perhatikan mereka punya pendidikan, kesehatan, perumahan, perumahan yang baik, hak-hak masyarakat harus dihargai, dan hormati masyarakat Amungme sebagai penduduk asli sebagai manusia.”
[2] Uskup Jayapura, Herman Munninghof melaporkan bahwa sepanjang pertengahan tahun 1994 sampai awal 1995 telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh ABRI. Dimna terjadi penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan terhadap 5 orang (termasuk Mama Yospha Alomang (Oktober 1994), dan berulang terhadap 20 orang (Desember 1994). Pada 31 Mei 1995, ABRI menembak kerumunan masyarakat yang sedang beribadah di kampong Hoea hingga 11 orang tewas, diantaranya ada dua anak berumur 5 dan 6 tahun. Tidak hanya itu, terjadi juga pembumihangusan kebun dan rumah-rumah masyarakat.
[3] Dilaporkan oleh Els-Ham Papua, mengacu pada laporan uskup Herman Munninghof.
No comments: