MASIH segar dalam ingatan kita,
16 Desember 2012 yang lalu, seorang perempuan India, Jyoti Singh Pandey,
diperkosa dengan sadis oleh sekelompok laki-laki biadab dalam sebuah bus di
jalanan New Delhi. Jyoti yang kesakitan meninggal 13 hari kemudian setelah
dirawat di sebuah rumah sakit di Singapura.[1] Beberapa waktu sebelumnya, di
belahan dunia yang lain, buruh migran perempuan Indonesia diperkosa oleh tiga
polisi di Malaysia.[2]
Tidak berhenti sampai di situ, perempuan pun kemudian dilarang duduk
mengangkang di atas motor oleh pemerintah kota Lhokseumawe, Nanggroe Aceh
Darussalam, terhitung sejak Januari 2013.[3]
Perempuan diperkosa dimana-mana,
tubuhnya diatur, upahnya dibedakan, dan perannya tak lebih hanya sebagai
“pendamping” dalam kehidupan laki-laki. Setiap hari, penindasan terhadap
perempuan diberitakan. Penindasan terhadap perempuan tersebut terjadi dalam
berbagai bentuk, mulai dari Kekerasan dalam Rumah Tangga, perkosaan, upah buruh
perempuan yang tidak sama dengan upah buruh laki-laki, hingga penyiksaan
terhadap para buruh migran perempuan yang bekerja di luar negeri. Mungkin kita
atau orang-orang yang kita kenal juga mengalaminya sendiri. Kita juga selalu
dicekoki mitos-mitos: tentang perempuan yang baik dan yang buruk, tentang
perempuan yang tidak boleh beraktivitas hingga larut malam, dan tentang perempuan
sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarga.
Pertanyaan-pertanyaan pun kemudian
muncul. Mengapa perempuan ditindas? Apa yang menyebabkan penindasan dan
subordinasi perempuan? Apa yang dimaksud dengan patriarki? Mengapa perempuan
yang bekerja hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan? Mengapa
mitos-mitos tentang perempuan yang baik dan yang buruk terus dilanggengkan?
Untuk kepentingan apa? Apakah musuh utama perempuan adalah laki-laki? Apakah
perempuan merupakan sebuah kelas tersendiri dalam masyarakat? Ataukah perempuan
adalah bagian dari masyarakat berkelas (class society)?
Pertayaan-pertanyaan tersebut dapat
kita temukan jawabannya di dalam buku Maria Mies Patriarchy &
Accumulation on a World Scale: Women in the Internasional Division of Labour
(New Edition).Dalam buku ini, Mies mencoba memberikan penjelasan secara
materialis atas kondisi penindasan atas perempuan yang menggejala dalam sejarah
peradaban manusia modern. Bagi Mies, tidak ada yang alamiah dari penindasan
perempuan sekarang. Karena itu, upaya untuk mengubah situasi ini harus dimulai
dari memahami secara ilmiah serta sekuler atas situasi penindasan perempuan
yang menyejarah ini. Hanya dengan posisi ini kita dapat memahami secara
objektif sekaligus melihat ruang-ruang kesempatan untuk mengubahnya.
Kapitalisme dan Pelanggengan
Patriarki
Bagi Mies, masalah penindasan
perempuan kini dapat dilihat pada relasi antara kapitalisme dengan pelanggengan
patriarki. Sebelumnya, penting untuk menjelaskan definisi patriarki.
Patriarki adalah kuasa ayah dalam keluarga yang didominasi laki-laki. Patriarki
adalah konstruksi sosial dan ideologis yang menganggap laki-laki (yang
merupakan leluhur) sebagai superior dari perempuan.[4] Dalam Theorising Patriarchy, Sylvia
Walby mendefinisikan patriarki sebagai ‘sebuah sistem dan praktik dari struktur
sosial dimana laki-laki mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi perempuan.’[5] Patriarki didasarkan pada sebuah
sistem relasi kuasa yang hierarkis dan tidak setara dimana laki-laki mengontrol
perempuan dalam hal produksi, reproduksi, dan seksualitas. Hal tersebut
memaksakan stereotype mengenai karakter maskulinitas dan femininitas
dalam masyarakat yang memperkuat relasi kuasa yang tidak adil di antara
perempuan dan laki-laki. Patriarki bukanlah sesuatu yang konstan dan relasi
gender yang dinamis dan kompleks juga telah mengalami perubahan dalam berbagai
periode sejarah. Penindasan dan kontrol atas perempuan pun memiliki beragam
bentuk antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya, dimana perbedaan atau
keragaman bentuk penindasan tersebut bergantung pada perbedaan kelas, agama,
wilayah, etnisitas, dan praktik sosio-kultural.[6]
Dalam buku Engels yang berjudul The
Origin of the Family, Private Property and the State, dijelaskan bahwa
patriarki sudah ada jauh sebelum kapitalisme lahir. Dalam buku tersebut, Engels
memberikan penjelasan materialisme historis mengenai penindasan perempuan. Dia
menunjukkan bahwa penaklukan atas perempuan terkait erat dengan berakhirnya
masyarakat komune ‘primitif’ yang egaliter, yang kemudian digantikan oleh
kemunculan masyarakat berkelas (class society),dimana masyarakat
berkelas tersebut dicirikan oleh adanya hak milik pribadi (private property),
keluarga (family) dan negara (state).[7] Menurut Engels, meski pada zaman
dahulu, masyarakat hidup dalam keadaan miskin, namun perempuan tidak tertindas.
Penindasan terhadap perempuan datang seiring dengan munculnya masyarakat
berkelas atau class society. Demikianlah, sejak masa savagery,
hingga kemudian lahir keluarga-keluarga inti (nuclear family), dimana
mulai ada pewarisan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi, dimana
Keluarga-Ayah menjadi kunci, patriarki pun mulai tumbuh. Kemudian pada masa
imperium/kerajaan, patriarki dilanggengkan melalui berbagai tradisi dan adat
istiadat, dari mulai ruang-ruang dalam rumah, sastra (Serat Centhini
misalnya), pakaian, tari-tarian dan sebagainya. Hingga pada masa kapitalisme,
seperti sekarang ini, patriarki terus dilanggengkan untuk melancarkan dan
memperbesar akumulasi kapital di seluruh dunia.
Dalam bukunya inilah, Mies
mengungkapkan tesis-tesinya mengenai hal tersebut.[8] Tepatnya, mengenai patriarki dan
hubungannya dengan kapitalisme. Pada bab 1 yang berjudul ‘What is Feminism?’
Mies menjelaskan tesisnya mengenai sumber dari subordinasi dan opresi
perempuan, yakni capitalist patriarchy[9] dimana
patriarki dilanggengkan oleh kapitalisme dan kapitalisme membutuhkan politik
patriarki demi memperbesar akumulasi kapital.
Mies menjelaskan bahwa anggapan yang
menyatakan bahwa perjuangan dan perlawanan para feminis melampaui semua
perbedaan kelas adalah tidak tepat. Bagaimanapun, perempuan-perempuan kelas
atas di dunia (lebih khusus lagi di negara-negara Barat) hidup dari penindasan
atas perempuan kelas bawah. Sehingga, menurutnya, adalah salah ketika
menyatakan bahwa semua perempuan ditindas dan dieskploitasi oleh laki-laki.[10] Terkait dengan itu, Mies juga
menjelaskan tesisnya mengenai gerakan perjuangan perempuan. Bahwa gerakan
sosial yang memiliki tujuan fundamental pada perubahan sosial, tidak dapat
beroperasi pada sebuah kevakuman teoritik, termasuk gerakan perempuan.[11]
Dalam penjelasannya, Mies menekankan
bahwa perjuangan gerakan perempuan baru (New Women’s Movement)[12] berbeda dengan gerakan perempuan
lama (Old Women’s Movement). Dalam gerakan perempuan lama, tujuan
politik dari gerakan perempuan adalah membawa perempuan ke ruang publik.
Sementara itu, dalam gerakan perempuan baru, hal terpenting yang harus
diperhatikan para feminis adalah women’s question karena hal
tersebutlah yang menentukan politics of woman. Dalam hal ini,
konseptualisasi dari pertanyaan yang diajukan merupakan bagian dari perjuangan
gerakan perempuan dan perjuangan konsep juga sangat ditentukan oleh ideologi
dari gerakan perempuan itu sendiri. Terkait dengan itu, Mies mengritik para
feminis yang anakronistik[13] dan tidak menempatkan persoalan
perempuan dalam dimensi sosialnya.
Kita sering mendengar bahwa
feminisme liberal lebih baik daripada feminisme radikal atau sebaliknya dan
sebagainya. Menurut Mies, labelling terhadap gerakan perempuan dan
feminisme seperti itu biasanya dilakukan oleh mereka yang justru tidak pernah
terlibat dengan gerakan perempuan dan feminisme sama sekali. Seperti diketahui,
para teoritisi seringkali mengkategorikan feminisme ke dalam berbagai macam
kategori seperti: feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme sosialis,
dimana pengkategorian tersebut menggambarkan kecenderungan yang menekankan perbedaan
strategi dalam perjuangan perempuan.[14] Dalam hal ini, perjuangan feminis
yang cenderung liberal menekankan partisipasi politik perempuan di area pubik.
Sementara itu, perjuangan feminis sosialis lebih kepada partisipasi ekonomi
secara utuh dalam produksi sosial.[15] Di sisi lain, perjuangan feminis
radikal lebih menekankan pembebasan atas tubuh dan seksualitas perempuan.[16] Adapula pengkategorian lain,
seperti ekofeminisme yang menghubungkan perempuan dan alam secara kultural,
feminisme eksistensialis, feminisme posmodern, feminisme multikultural dan
global, serta feminisme psikoanalisis dan gender.[17]
Mies mengritik labelling yang
ditujukan pada feminisme dan gerakan perempuan (radikal , liberal, dan
lain-lain), dimana labelling tersebut malah menghambat gerakan
perjuangan pembebasan perempuan (woman’s liberation) secara keseluruhan.
Kemudian, Mies juga mengritik gerakan sisterhood yang menekankan
pentingnya personal is political yang pada praktiknya lebih banyak
membatasi diri hanya pada persoalan-persoalan yang bersifat privat dalam
melawan dominasi laki-laki (male domination). Menurutnya, kelemahan dari
sisterhood ialah bahwa gerakan seperti itu justru mengasingkan diri dari
keseluruhan struktur dominasi laki-laki dalam masyarakat. Dalam hal ini, Mies
kembali menekankan bahwa strategi dari gerakan perjuangan perempuan ditentukan
oleh women’s question, dimana politics of woman ditentukan oleh women’s
question yang diajukan. Woman’s Liberation ini pun tidak boleh
dilepaskan dari pembebasan kelas-kelas yang ditindas.
Housewifization: Stategi Kapitalisme dalam Melanggengkan Patriarki
Terkait dengan penjelasannya
mengenai hubungan antara kapitalisme dengan pelanggengan patriarki, Mies
mengungkapkan tesisnya mengenai housewifization, dimana pembagian
kerja yang asimetris dan hierarkis menempatkan perempuan di bawah dominasi
laki-laki. Lebih tepatnya, housewifization adalah skema dari
fleksibilitas pasar tenaga kerja untuk menciptakan tenaga kerja murah dari
reproduksi biologis perempuan. Menurut Mies, pertanyaan yang kemudian mesti
diajukan ialah: mengapa pembagian kerja menjadi hubungan dominasi dan
eksploitasi, sebuah hubungan yang asimetrik dan hierarkis?
Dalam kondisi masyarakat kapitalis,
semua perempuan didefinisikan secara sosial sebagai housewives atau
istri, sementara laki-laki adalah pencari nafkah, dimana keibuan atau motherhood
menjadi bagian dari sindrom housewives atau istri ini.[18] Pada bab 2 yang berjudul Social
Origins of the Sexual Division of Labour, Mies mengungkapan lebih jauh
mengenai tesis housewifization, dimana fungsi biologis perempuan yang
tidak dianggap sebagai work menyebabkan perempuan menjadi alat produksi
pencipta tenaga kerja gratisan. Padahal, menurut Mies, seharusnya child
care atau pengasuhan anak, dan lain-lain, dianggap kerja karena pada
dasarnya human body atau tubuh manusia adalah force of production atau
faktor produksi. Pembagian kerja secara seksual yang terjadi pun masih dipengaruhi
oleh determinisme biologis sehingga perempuan masih ditempatkan sebagai the
cheapest labour (buruh termurah).[19]
Kolonialisasi dan Housewifization:
Kelas-kelas dalam Perempuan
Mies menjelaskan tesisnya yang lain
mengenai hubungan antara kolonialisasi dan housewifization pada bab 3
yang berjudul Colonization and Housewifization. Menurut Mies,
kolonialisasi yang dilakukan negara-negara Eropa dan Amerika terhadap
negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin semakin menguatkan penindasan
terhadap perempuan (pekerja) dan semakin menunjukkan kelas-kelas di dalam
perempuan. Ia mencontohkan, misalnya, perempuan kulit putih di negara-negara
kolonial jelas tidak sama dengan perempuan kulit hitam di Afrika, dimana
perempuan kulit putih di negara-negara kolonial dan perempuan kulit hitam di
negara jajahan memiliki kelas yang berbeda dan hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan
bukanlah sebuah kelas tersendiri. Sebagai referensi lain bagi pembaca, saya
merekomendasikan film The Help[20] yang menunjukkan perbedaan kelas di
dalam perempuan. Dalam film tersebut digambarkan secara jelas perjuangan
perempuan kulit hitam Amerika pada tahun 1960an, yang berprofesi sebagai
pekerja rumah tangga melawan perempuan kulit putih borjuis yang menindas
mereka.
Pada bab 3 ini, Mies juga
mengungkapkan bahwa salah satu strategi housewifization yang dilancarkan
kapitalis ialah dengan luxury consumption atau konsumsi barang-barang
mewah, dimana perempuan ditempatkan sebagai kosumen barang mewah sebagai
imbalan atas kemauan mereka hanya berada di area rumah atau domestik. Sehingga
perempuan, selain ditempatkan sebagai housewives atau istri, juga
ditempatkan sebagai konsumen. Dengan demikian, konsumsi dan cinta perempuan pun
ditentukan oleh laki-laki sebagai pencari nafkah atau breadwinner. Housewifization
membuat perempuan tidak memiliki kekuatan politik dan tidak mempunyai
posisi tawar. Menurut Mies, proletarisasi yang terjadi pada laki-laki juga
disebabkan oleh housewifization pada perempuan. Intinya, kolonialisasi
dan strategi housewifization yang dilancarkan kapitalisme dalam rangka
pelanggengan patriarki sebagai alat untuk semakin memperbesar akumulasi kapital
memiliki hubungan yang sangat erat.
Kemudian, pada bab 4 Housewifization
International: Women and the New International Division of Labour, Mies
mengemukakan tesisnya mengenai kaitan antara pembagian kerja secara
internasional (international division of labour) dan mengapa perempuan
lebih dipilih sebagai tenaga untuk memperbesar akumulasi kapital. Dalam hal
ini, konstruksi perempuan sebagai pekerja tambahan dan bukan sebagai pencari
nafkah utama atau breadwinner dalam rumah tangga membuat perempuan lebih
mudah dimanipulasi. Dalam arti, perempuan lebih mudah dipekerjakan dengan upah
murah, namun pada waktu yang bersamaan, menunjukkan produktivitas yang tinggi.[21] Hal ini tentunya menguntungkan
proses akumulasi kapital dan hal ini pun masih tampak dengan jelas hingga saat
ini, terutama pada perempuan di negara-negara Dunia Ketiga, dimana perempuan di
kawasan ini memproduksi bukan apa yang mereka inginkan, tapi apa yang orang
lain dapat beli. Padahal, dalam kenyataannya, konstruksi sosial yang
terus-menerus dilanggengkan, bahwa perempunan hanyalah pencari nafkah tambahan
(supplementary income), sudah tidak relevan lagi.[22]
Hal tersebut tidak lain merupakan
bagian dari logika ekonomi housewifization, dimana penciptaan tenaga
kerja murah merupakan salah satu hal yang utama bagi kapitalisme. Mereka
(perempuan) yang bekerja, berproduksi, dipaksa masuk ke dalam skema
pembangunan, dengan mendefinisikan diri mereka sebagai housewives atau
istri dan bukan pekerja. Perempuan dikonstruksikan sebagai Ibu dan konsumen,
bukan sebagai orang yang berproduksi. Manipulasi perempuan sebagai invisible
producers dan atomisasi sebagai istri dan konsumen, merupakan strategi
krusial dalam housewifization.[23]
Kapitalisme, Patriarki, dan
Kekerasan Struktural terhadap Perempuan
Selanjutnya, dalam bab 5 yang berjudul
Violence Against Women and the Ongoing Primitive Accumulation of Capital,
Mies menjelaskan bahwa eksploitasi dalam politik patriarki yang ikut
dilanggengkan oleh kapitalisme terhadap perempuan juga didukung oleh
diciptakannya kekerasan secara struktural terhadap perempuan. Berbagai mitos
lantas diciptakan sebagai pembenaran atas kekerasan yang dialami
perempuan. Mitos-mitos mengenai perkosaan[24], perempuan yang baik dan yang
buruk, digambarkan dengan sangat baik oleh Mies dalam buku ini. Ia, misalnya,
menjelaskan bahwa terdapat beberapa mitos mengenai perkosaan, dimana
mitos-mitos yang merugikan perempuan tersebut masih eksis dan berlaku di dalam
masyarakat patriarkal. Mitos-mitos sesat yang merugikan perempuan tersebut di
antaranya: 1). Perkosaan itu tidak ada, karena perempuan suka diperkosa; 2).
Perempuan adalah masokis, mereka tidak bisa menikmati seks tanpa disiksa
terlebih dahulu; 3). Perempuan yang diperkosa telah memprovokasi laki-laki dengan
sikapnya, bahwa, perempuan tersebut bersikap seperti seorang prostitute;
4). Adalah kesalahan perempuan jika perempuan diperkosa; 5). Perkosaan hanya
terjadi di luar pernikahan/perkawinan; 6). Perkosaan kebanyakan terjadi di
masyarakat yang miskin dan kurang berpendidikan. Menurut Brownmiller, perkosaan
tidak lain juga merupakan ‘latihan dalam kekuasaan’ yang melanggengkan dominasi
laki-laki atas perempuan.[25]
Selain itu, di India misalnya,
terdapat tradisi dowry yang merugikan perempuan, dimana perempuan adalah
pihak yang disalahkan jika sesuatu yang buruk menimpa suami mereka. Kekerasan
struktural yang terjadi tersebut semakin menguatkan tesis bahwa dalam
masyarakat partiarkal, perempuan hanyalah properti laki-laki. Dalam arti bahwa housewifization
yang menempatkan perempuan sebagai housewives atau istri membuat diri
perempuan, tenaga mereka, emosi mereka, anak-anak mereka, tubuh mereka, dan
seksualitas mereka, bukanlah milik mereka, akan tetapi milik suami (husband)
mereka.[26]
Sosialisme dan Pembebasan Perempuan
Dalam bab 6 yang berjudul National
Liberation and Women’s Liberation, Mies membahas sebuah women’s question
yang selama ini selalu menjadi pertanyaan besar dalam perjuangan pembebasan
perempuan, yakni mengenai : antara sosialisme sebagai solusi dari pembebasan
perempuan dan kritik terhadap negara sosialis yang perempuannya tidak kunjung
mengalami pembebasan. Mies mengajak pembaca untuk menjawab pertanyaan
tersebut, salah satunya, dengan cara melihat apa yang terjadi pada pembebasan
perempuan setelah sebuah negara sosialis berdiri. Mies menyatakan bahwa konsep
masyarakat dan model pembangunan yang dipakai selama dan setelah perjuangan
pembebasan nasional menentukan pembebasan perempuan. Dalam hal ini, konsep nation-state
atau negara-bangsa memainkan peran penting, karena pembebasan negara-bangsa
yang akan menentukan tujuan rakyatnya, termasuk perempuan.[27]
Terkait dengan pertanyaan besar
tersebut, Mies mengajukan sebuah prinsip, bahwa tujuan dari pembebasan
perempuan harus diletakkan sebagai sebuah hal yang berada di tingkatan
suprastruktur, atau ideologi, atau budaya, dan bukan pada struktur basis
ekonomi.[28]
Dalam hal ini, dengan merujuk pada Marx, Engels, dan Lenin, Mies juga
menekankan beberapa hal mengenai ide dari women’s liberation atau
pembebasan perempuan yang harus ada dalam setiap revolutionary project.
Ide-ide tersebut diantaranya:[29] 1). Women’s question merupakan
bagian dari social question (yakni, pertanyaan mengenai relasi produksi,
kepemilikan, dan relasi kelas) dan dapat diselesaikan dalam penggulingan
kapitalisme; 2). Perempuan harus, kemudian, memasuki produksi sosial (yakni,
buruh upahan di luar rumah tangga) untuk mencapai basis material bagi
kemandirian ekonomi dan emansipasi mereka; 3). Sebagaimana kapitalisme
menghilangan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, karena mereka semua
dibuat menjadi pekerja upahan tanpa kepemilikan (Zetkin), maka tidak akan ada
basis material bagi penindasan perempuan di antara proletariat, dan kemudian
tidak dibutuhkan gerakan khusus perempuan dalam kelas pekerja; 4). Perempuan
kelas pekerja kemudian harus berpartisipasi dalam perjuangan umum melawan kelas
musuh, bersama-sama dengan laki-laki di dalam kelas mereka, dan kemudian
menciptakan prakondisi dari emansipasi; 5). Perempuan sebagai perempuan mungkin
ditindas atau disubordinasi, tapi mereka tidak dieksploitasi. Jika mereka
adalah pekerja upahan, maka mereka dieksplotasi dengan cara yang sama
sebagaimana pekerja laki-laki dieksploitasi. Eksploitasi ini dapat mereka
lawan, bersama-sama dengan laki-laki, dalam sebuah perjuangan untuk mengubah
relasi produksi (perjuangan kelas); 6). Perjuangan melawan penindasan spesifik
mereka sebagai perempuan harus ditempatkan pada termin yang lebih ideologis;
7). Perjuangan ini, dalam berbagai kasus, adalah yang kedua setelah perjuangan
kelas, yang merupakan perjuangan utama. Maka, perempuan tidak harus membentuk
organisasi yang terpisah dan otonom. Organisasi mereka harus berada di bawah
arahan dari partai revolusioner. Organisasi perempuan yang terpisah akan
memecah belah persatuan dalam
penindasan kelas.
Hal tersebut juga sejalan dengan
kutipan terkenal dari Inessa Armand, Pemimpin Pertama dari Departemen Perempuan
pada Revolusi Rusia 1917 berikut ini: ‘If women’s liberation is unthinkable
without communism, then communism is unthinkable without women’s liberation’”
Terakhir, dalam bab 7, Towards a
Feminist Perspective of a New Society, Mies mengemukakan tawaran-tawaran
solusi atas berbagai tesisnya tersebut, di antaranya mengenai ekonomi
alternatif dan pembagian kerja yang lebih adil antara perempuan dan laki-laki
sebagai bagian dari perlawanan terhadap ideologi patriarkal yang dilanggengkan
dalam kapitalisme. Mies menekankan pentingnya pembagian kerja antara perempuan
dan laki-laki dalam pekerjaan rumah tangga, ‘housework,’ dan menyerukan
agar pengontrolan negara atas tubuh perempuan melalui pengontrolan fertilitas
atau kesuburan dihentikan.
Selain itu, Mies juga mengajukan
sebuah konsep untuk pembebasan perempuan sebagai konsumen dan invisible
producers, yang ia sebut ‘consumer liberation movement,’ dimana
salah satu konsepnya adalah memboikot semua produk yang dihasilkan dari
eksploitasi atas buruh perempuan, khususnya perempuan di negara-negara dunia
ketiga.[30]
Selain itu, juga dengan menghindari membeli barang-barang mewah. Menurutnya, consumer
boycott movement tersebut merupakan langkah pertama yang dapat dilakukan
menuju pembebasan perempuan. Dalam hal ini, Mies juga menekankan bahwa consumer
liberation movement tersebut juga menunjukkan kerjasama antara perempuan
yang hidup di negara-negara maju dengan perempuan yang hidup di negara-negara
dunia ketiga. Dalam hal ini, perempuan yang hidup di negara-negara maju
melindungi perempuan yang bekerja sebagai buruh murah di negara-negara dunia
ketiga.[31]
Langkah selanjutnya, gerakan perempuan juga harus mulai memikirkan bagaimana
membangun sistem produksi dan distribusi sendiri, dimana produksi didasarkan
pada kebutuhan dan distribusi diwujudkan melalui pendirian pasar lokal baru
yang berorientasi ekologi di antara para produsen (petani) dan perempuan,
dimana hubungan antara produksi dan konsumsi dapat didirikan ulang atau
dibangun kembali. Lebih lanjut, Mies juga menekankan bahwa krisis ekologi harus
menjadi pertimbangan utama dalam perjalanan menuju pembangunan ekonomi
alternatif yang sosialis.
Kapitalisme dan Patriarki : Bisa dan
Harus Diakhiri!
Kapitalisme melancarkan berbagai
strategi dalam rangka pemanfaatan patriarki sebagai alat untuk memperbesar
akumulasi kapital di seluruh dunia. Salah satu strateginya, adalah housewifization,
dimana perempuan ditempatkan sebagai istri dankonsumen, sekaligus invisible
producers. Strategi krusial tersebut kemudian dilanggengkan dengan
penciptaan kekerasan struktural atas perempuan dan mitos-mitos kekerasan yang
merugikan sekaligus membunuh perempuan.
Sebagai bagian dari masyarakat
berkelas (class society), perempuan bukanlah kelas tersendiri, sehingga
perjuangan pembebasan perempuan tak bisa dilepaskan dari konteks masyarakat
berkelas (class society). Saya setuju dengan tesis Mies yang menyatakan
bahwa tujuan dari pembebasan perempuan harus diletakkan sebagai sebuah hal
yang berada di tingkatan suprastruktur, atau ideologi, atau budaya, dan bukan
pada struktur basis ekonomi. Dengan demikian, perjuangan menuju masyarakat sosialis
dan perjuangan pembebasan perempuan menjadi semakin jelas arahnya, yakni :
bukan untuk dinegasikan, tetapi untuk dijalankan bersamaan, dan saling
menyertai.
Adapun tawaran-tawaran yang diajukan
Mies dalam Bab 7, memang cukup reformis, namun penting untuk dilakukan dalam
menentang ilusi yang diciptakan kapitalisme dan patriarki melalui housewifization
yang menempatkan perempuan sebagai istri, konsumen, serta invisible
producers. Perlawanan atas housewifization berarti adalah menempatkan
entitas perempuan bukan pada ranah privat namun pada ranah publik. Hal ini akan
memperluas ruang perjuangan perempuan itu sendiri dalam mendorong perubahan
dalam masyarakat, yang nantinya menciptakan kondisi prasyarat material bagi
terciptanya kemenangan rakyat pekerja untuk menghancurkan patriariki dan
membangun sosialisme. Tidak heran, jika bagi saya, hal tersebut penting
dilakukan sebagai salah satu tahapan menuju revolusi sosialis, dimana tujuan
akhirnya ialah masyarakat sosialis yang perempuannya mengalami pembebasan dari
segala bentuk penindasan, termasuk kekerasan struktural yang selama ini
dipelihara dan tumbuh subur dalam masyarakat kapitalis yang (memang)
patriarkal.
Kepustakaan:
Buku
Engels, Friedrich. Asal-Usul
Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara. Trans. Vidi. Jakarta: Yayasan Kalyanamitra, 2004. Trans. The
Origin of the Family, Private Property, and the State, 1884.
Schneir, Miriam. (ed). The
Vintage Book of Feminism : the Essential Writings of the
Contemporary Women’s
Movement. Toronto: Vintage Books. 1995.
Silvia Walby. Theorizing
Patriarchy. Oxford: Blackwell. 1990.
Watkins, Susan Alice, Marisa Rueda,
dan Marta Rodriguez. Feminism for Beginners.Cambridge: Icon Books, Ltd. 1992.
Tong, Rosmarie Putnam. Feminist
Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis.
Trans. Yogyakarta: Jalasutra, 2004. Trans. Feminist
Thought : A More Comprehensive Introduction, Second Edition, 1998.
Film
Film The Help diangkat dari
novel dengan judul yang sama karya Kathryn Stockett (2009). Film ini
disutradarai oleh Tate Taylor.
Artikel
Ray, Suranjita. “Understanding
Patriarchy”
Internet
http://health.liputan6.com/read/481596/saat-ayah-korban-perkosaan-sebut-nama-putrinya-jyoti-singh-pandey ; internet; diakses Januari 2013.
http://www.merdeka.com/peristiwa/tkw-indonesia-mengaku-diperkosa-tiga-polisi-malaysia.html; internet; diakses Januari 2013.
http://nasional.kontan.co.id/news/ini-isi-surat-edaran-larangan-mengangkang; internet; diakses Januari 2013.
[1]http://health.liputan6.com/read/481596/saat-ayah-korban-perkosaan-sebut-nama-putrinya-jyoti-singh-pandey ; internet; diakses Januari 2013.
[2]http://www.merdeka.com/peristiwa/tkw-indonesia-mengaku-diperkosa-tiga-polisi-malaysia.html; internet; diakses Januari 2013.
[3]http://nasional.kontan.co.id/news/ini-isi-surat-edaran-larangan-mengangkang; internet; diakses Januari 2013.
[4]Suranjita
Ray. “Understanding Patriarchy”
[5]Silvia
Walby. Theorizing Patriarchy. Oxford: Blackwell. 1990.
[6]Suranjita
Ray. Op.Cit.
[7]Friedrich
Engels. Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara. Trans.
Vidi. Jakarta : Yayasan Kalyanamitra, 2004. Trans. The Origin of the Family,
Private Property, and the State, 1884.
[8]
Buku ini merupakan edisi baru atau edisi revisi atas karyanya yang sama yang diterbitkan
tahun 1986.
[9]
Saya kurang setuju dengan istilah ini karena menurut saya, kapitalis sudah
pasti patriarkal.
[10]Mies,
hlm. 7.
[11]
Ibid., hlm. 13.
[12]
Konteksnya adalah masa ketika Mies menulis ini.
[13]Anakronistik
berarti tidak berdasarkan kronologi sejarah.
[14]Susan
Alice Watkins, Marisa Rueda, dan Marta Rodriguez. Feminism for Beginners.
1992. Cambridge : Icon Books, Ltd.
[15]Mies,
Op.Cit., hlm. 19-20.
[16]Miriam
Schneir. (ed). The Vintage Book of Feminism : the Essential Writings of the
Contemporary Women’s Movement. 1995. Toronto: Vintage Books.
[17]Rosmarie
Putnam Tong. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada
Arus Utama Pemikiran Feminis. Trans. Yogyakarta : Jalasutra, 2004. Trans. Feminist
Thought: A More Comprehensive Introduction, Second Edition, 1998.
[20]Film
The Help diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Kathryn
Stockett (2009). Film ini disutradarai oleh Tate Taylor.
[21]
Mies. Op.Cit., hlm. 116-117.
[22]Kita
dapat melihat fakta ini misalnya dari jumlah buruh migran perempuan yang
bekerja ke luar negeri setiap tahunnya atau jumlah buruh perempuan di
pabrik-pabrik, dimana mereka jelas bekerja sebagai pencari nafkah utama dalam
keluarga.
[23]
Ibid., hlm. 142.
[25]Susan
BrownMiller. “Against Our Will: Men, Women, and Rape” dalam Miriam Schneir.
(ed). The Vintage Book of Feminism: the Essential Writings of the
Contemporary Women’s Movement. 1995. Toronto: Vintage Books.
?
ReplyDelete