Kita dapat melihat bahwa penempatan perempuan pada posisi kelas dua
dalam masyarakat berawal dari tergesernya peranan kaum perempuan dalam lapangan
produksi. Dan, pada gilirannya, tergesernya peran ini adalah akibat dari
tingkatan teknologi masa itu yang tidak memungkinkan kaum perempuan untuk
memasuki lapangan produksi.
Posisi kelas dua ini diperkukuh oleh sistem kepemilikan pribadi, yang
pada gilirannya memunculkan diri dalam berbagai prasangka, sistem nilai dan
ideologi yang menegaskan paham keunggulan laki-laki dari perempuan. Karena ketertindasan perempuan berawal dari sebuah perjalanan sejarah
yang objektif maka upaya pembebasan perempuan dari posisi yang ditempatinya
sekarang ini harus pula menemukan kondisi objektif yang memungkinkan
dilakukannya pembebasan tersebut. Kondisi itu adalah kembalinya kaum
perempuan ke lapangan produksi kolektif.
Kondisi ini sesungguhnya telah diwujudkan oleh kapitalisme. Kapitalisme,
yang mengandalkan mesin sebagai alat produksinya yang utama, telah memungkinkan
kaum perempuan untuk kembali berkarya di bidang produksi kebutuhan masyarakat.
Bahkan, sekarang ini, jika kita melihat di kota-kota besar, sudah jarang sekali
ada kaum perempuan yang tidak memberikan sumbangan bagi perolehan kebutuhan
hidup keluarganya.
Dapatlah kita lihat bahwa perkembangan kondisi objektif ini telah
menghasilkan ruang yang sangat terbuka bagi perempuan. Gerakan emansipasi
perempuan telah berkembang bersamaan dengan masuknya perempuan-perempuan ke
pabrik-pabrik. Kini perempuan telah berhak turut serta dalam berbagai bidang
pekerjaan. Kebanyakan perempuan juga telah bebas untuk memilih jalan hidupnya
sendiri, termasuk memilih pasangan hidup.
Namun demikian, kondisi objektif ini tidak dapat berkembang menjadi
pembebasan perempuan yang sepenuh-penuhnya karena sistem nilai yang ada di
tengah masyarakat masih merupakan sistem nilai yang mendukung adanya
peminggiran terhadap peran perempuan.
Kita dapat melihat bahwa pekerja perempuan kebanyakan diupah jauh lebih
rendah daripada pekerja laki-laki. Dan ini bukan terjadi di pabrik-pabrik saja.
Demikian pula yang terjadi di banyak kantor-kantor, bahkan di kalangan industri
perfilman di mana aktris biasanya digaji lebih rendah daripada aktor. Masih dalam bidang pekerjaan, kita tahu bahwa bidang-bidang tertentu
masih diposisikan sebagai "bidangnya perempuan". Seorang sekretaris,
misalnya, haruslah cantik dan memiliki bentuk tubuh yang "menarik".
Banyak orang masih meremehkan seorang perempuan yang bercita-cita dan berusaha
keras untuk, misalnya, menjadi seorang pilot.
Ini berkaitan erat dengan masih dijadikannya perempuan sebagai simbol
seksual dalam masyarakat. Penilaian utama terhadap seorang perempuan diletakkan
pada apakah ia "cantik", "seksi" atau bentuk-bentuk
penilaian fisik lainnya. Sesungguhnya, penilaian inipun sangat bergantung pada
masyarakatnya karena apa yang "cantik dan seksi" untuk satu jaman
belum tentu demikian untuk jaman lainnya. Dan pada titik ekstrimnya, kita
melihat pelacuran sebagai bentuk eksploitasi puncak terhadap perempuan karena
di sini bukan saja tenaganya yang dieksploitasi melainkan juga moral dan
intelektualitasnya.
Sebaliknya, banyak pula dari kaum perempuan yang telah lolos dari jerat
pembatasan-pembatasan, ternyata justru berbalik ikut membatasi gerak, bahkan
turut menindas, kaum perempuan lainnya. Telah banyak pemimpin perempuan di muka
bumi ini, tapi berapa banyak dari mereka yang berjuang untuk membebaskan kaum
perempuan dari keterpinggiran dan keterbelakangan? Telah banyak pula manajer
dan direktur perempuan di dalam perusahaan-perusahaan, tapi berapa banyak dari
mereka yang berjuang agar buruh-buruh perempuan di pabriknya mendapatkan seluruh
hak mereka sebagai perempuan?
Di atas telah kita lihat bahwa masih ada satu faktor lagi yang
mengukuhkan ketertindasan perempuan: kepemilikan pribadi. Kepemilikan
pribadi tumbuh dari sebuah proses produksi yang perorangan, di mana seluruh
barang kebutuhan dihasilkan oleh perorangan. Di bawah kapitalisme halnya tidak
lagi demikian. Barang kebutuhan hidup telah dihasilkan secara komunal, secara
kolektif. Namun, hasil produksi yang komunal ini masih dikangkangi secara
pribadi, secara perorangan.
Dan oleh karena sistem kepemilikan pribadi masih berjaya, maka seluruh
sistem nilai yang mendukung kepemilikan pribadi itu akan ikut berjaya pula. Dan
kita tahu bahwa sistem nilai yang mendukung kepemilikan pribadi adalah juga
sistem nilai yang mendukung peminggiran terhadap kaum perempuan.
Oleh karena itu, perjuangan pembebasan terhadap perempuan tidaklah dapat
dilepaskan dari perjuangan untuk mengubah kendali atas proses produksi (dan
hasil-hasilnya) dari tangan perorangan (pribadi) ke tangan masyarakat (sosial).
Sebaliknya, pengalihan kendali ini tidak akan berhasil jika kaum perempuan
belumlah terbebaskan. Tidaklah mungkin membuat satu pengendalian produksi (dan
pembagian hasilnya) secara sosial jika kaum perempuan, yang mencakup setidaknya
setengah dari jumlah umat manusia, tidaklah terlibat dalam pengendalian itu.
Di sinilah kita dapat menarik satu kesimpulan: perjuangan pembebasan
perempuan akan berhasil jika ia disatukan dengan perjuangan untuk mencapai kemenangan
rakyat tertindas. Dan sebaliknya, perrjuangan untuk menuju kemenangan rakyat
tertindas akan juga berhasil dengan sempurna jika perjuangan ini menempatkan
pembebasan perempuan sebagai salah satu tujuan utamanya. Kedua perjuangan ini
tidak boleh dipisahkan, atau yang satu didahulukan daripada yang lain. Keduanya
harus berjalan bersamaan dan saling mengisi.
Hanya dengan demikianlah kaum perempuan akan dapat dikembalikan pada posisi terhormat dalam masyarakat - sejajar dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan: ekonomi, sosial dan politik
BERSATULAH KAUM
PEREMPUNAN
TUNTUT
PEMBEBASAN PEREMPUAN
No comments: