Masalah yang sudah berabad-abad menyibukan pikiran manusia adalah tentang, apa yang menentukan sifat dari suatu system masyarakat? Bagaimana manusia berkembang?, Apakah rakyat yang sudah turun temurun hidup melarat dan sengsara dapat memperbaiki nasibnya?, Apakah kebebasan dan kemakmuran dapat dicapai oleh semua manusia ataukah hanya untuk segolongan kecil orang saja?, Apakah miskin dan kaya itu takdir?, atau Apakah dapat kemiskinan dilenyapkan?.
Abad demi abad berlalu, sudah banyak pemikir-pemikir yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, namun bersamaan dengan itu bermacam-macam teori dan konsepsi terbantah sama sekali, bukan saja disebabkan oleh kritik dari pemikir yang lain tetapi juga oleh kritik waktu, ataupun oleh seluruh perkembangan sejarah itu sendiri.
Abad demi abad berlalu, sudah banyak pemikir-pemikir yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, namun bersamaan dengan itu bermacam-macam teori dan konsepsi terbantah sama sekali, bukan saja disebabkan oleh kritik dari pemikir yang lain tetapi juga oleh kritik waktu, ataupun oleh seluruh perkembangan sejarah itu sendiri.
Memang jalan untuk mencapai pengetahuan manusia mengenai sebab-sebab perkembangan sejarah masyarakat sangat sulit dan berliku-liku, karena berbeda dengan kejadian-kejadian dalam alam, peristiwa-peristiwa yang dialami masyarakat lebih sulit diobservasi dan dianalisa. Kekuatan-kekuatan dalam alam bersifat spontan dan tidak berkenaan dengan seseorang sedangkan dalam masyarakat kita menghadapi beraneka ragam orang yang memiliki motif-motif tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, namun untuk menyelidiki manusia tidaklah cukup hanya dengan menyelidiki motif seseorang saja ketika bertindak dalam mencapai tujuan tertentu karena hal ini tidak akan membawa kita kepada pengertian sesungguhnya tentang perkembangan masyarakat, tetapi lebih jauh dari itu kita juga harus bertanya motif tersebut dipunyai seseorang dan sementara orang lain memiliki motif yang berbeda?, lagi pula tindakan orang-orang yang memiliki motif yang berbeda-beda tersebut akan saling berbentrokan satu sama lain sehingga menimbulkan peristiwa sejarah.
Namun hasil dari peristiwa sejarah tersebut ternyata bisa berbeda dari apa yang dikehendaki atau dituju oleh orang-orang tertentu. Misalnya banyak orang yang ikut dalam perebutan kemerdekaan Indonesia berpikir bahwa dengan lenyapnya penjajahan maka akan tercipta suatu masyarakat yang adil dan makmur, namun kenyataannya hingga kini masyarakat tersebut belum tercapai bahkan tidak jarang ada orang yang kehidupannya menjadi bertambah buruk.
Uraian diatas menunjukan bahwa dalam masyarakat terdapat suatu kontradiksi yaitu kontradiksi antara kegiatan subyektif yang dengan sadar dari seseorang disatu pihak dengan perkembangan obyektif yang spontan dari masyarakat sebagai keseluruhan dilain pihak, kontradiksi disini menjadi sangat penting dipahami karena kedangkalan kita dalam memahami kontradiksi ini menyebabkan kita akan beranggapan bahwa sejarah hanya sebagai kumpulan kejadian yang bersifat kebetulan belaka atau sebagian yang lain akan menganggap sejarah sebagai suatu keharusan tetapi tidak memahami apa yang menentukan suatu keharusan itu.
Dilahirkan difase kapitalisme bukanlah pilihan. Tapi berlawan terhadap sistem yang menghisap adalah keharusan membuat pilihan.
Di bawah kapitalisme masyarakat terbagi didalam klas kapitalis atau borjuasi dan klas buruh atau ploretariat. Buruh bukan milik si kapitalis, buruh tidak dibeli atau dijual, ia nampaknya bebas tetapi tidak memiliki alat produksi sama sekali sehingga terpaksa menjual tenaga kerjanya kepada pemilik alat-alat produksi yaitu si kapitalis (Pemilik pabrik dan perusahaan-perusahaan lain) dan buruh harus kerja membanting tulang supaya tidak mati kelaparan, satu grup kecil kaum penghisap mendapat laba besar dan sedangkan masa pekerja semakin lama semakin banyak menderita kesengsaraan dan penderitaan. Jadi penghisapan atas rakyat pekerja masih tetap berlangsung, walaupun bentuknya telah berubah. Kaum kapitalis tidak memperdulikan kepentingan masyarakat, mereka memproduksi dan menjual barang-barangnya hanya untuk mendapatkan laba yang besar. Kapitalis memperluas produksi dan memperkeras penghisapan kepada kaum buruh dengan jalan jam kerja yang lama dengan upah yang lebih rendah.
Dalam ruang pendidikan yang sedang kita jalani sekarangpun tak luput dari kapitalisme. Misal, yayasan pendidikan swasta yang menjamur memanfaatkan kecilnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan menengah dan tinggi. Yayasan- yayasan tersebut mengambil keuntungan yang besar dari sekolah maupun kampus. Dengan fasilitas yang sering kali jauh lebih buruk dari sekolah dan kampus negeri, mereka memungut SPP yang tinggi. Kualitas lulusan pun sering kali lebih rendah, karena sering kali perbandingan antara fasilitas dengan jumlah siswa/mahasiswa sangat jauh, sehingga siswa/mahasiswa tidak pernah mendapatkan proses belajar yang optimal. Bahkan, banyak dari siswa dan mahasiswa yang memiliki tingkat pemahaman yang rendah terhadap apa-apa yang diajarkan di sekolah atau kampus.
Yang harus diperhatikan, pengaruh kapitalisme justru terletak pada desain sistem pendidikan secara nasional. Artinya, segala kebijakan, termasuk dalam hal pendidikan, adalah ekspresi dari kepentingan modal. Dampak dari pola ini adalah seringnya terjadi perubahan kebijakan pendidikan yang sepertinya seiring dengan pergantian menteri pendidikan dan kebudayaan (sekarang menteri pendidikan nasional) baik di tingkat pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi. Meski secara garis besar kurikulum berganti setiap 10 tahun sekali (1974, 1984, 1994, dan KBK), pola pendidikan yang berlaku berubah-ubah setiap pergantian menteri (5 tahun sekali) dan dilakukan dengan transisi yang hampir tidak berarti. Dan setiap perubahan semakin mengintegrasikan pendidikan dengan industri. Agar akumulasi modal mereka tidak perlu lagi dihambat oleh tak tersedianya pekerja yang memadai. Mungkin tak menjadi persoalan jika hal ini dicapai dengan anggaran pendidikan yang besar (tercantum dalam UUD’45). Tapi dengan anggaran yang kecil, yang dirampas adalah kebebasan mahasiswa untuk belajar selama masih di dalam kampus. Sangat terlihat bahwa studi-studi yang tidak dengan cepat mendatangkan tenaga kerja siap pakai untuk dunia industri, seperti bidang ilmu-ilmu sosial yang direduksi. Dengan anggaran pendidikan yang selalu rendah dari negara setiap tahunnya, jelas akan membuat perencanaan dan penyediaan fasilitas pendidikan menjadi sangat marjinal/tertinggal dan kemudian akan menundukkan pendidikan benar-benar di bawah kepentingan kapitalisme sesaat yang selanjutnya akan tetap saja merugikan calon-calon buruh/buruh terdidik sebagai peserta terbesar dalam sistem pendidikan. Pengembangan intelektual mereka sangat dibatasi dan dipaksa secepat-cepatnya memasuki lapangan pekerjaan. Selain itu, untuk kemampuan intelektual dasar mereka dibuat serendah mungkin,
Kepentingan kapitalisme akan semakin nyata terlihat jika kita menilik pola pendidikan tinggi. Para mahasiswa yang sebelumnya dengan bebas belajar ilmu dan keahlian yang mereka minati sesuai dengan jurusan mereka, di bawah sistem kapitalisme mereka dipaksa hanya belajar apa-apa yang dianggap perlu oleh rejim dalam memenuhi kriteria keahlian. Mata kuliah-mata kuliah yang ada dipecah-pecah, direduksi proses ilmiahnya, dan diberikan dalam bentuk terpotong-potong karena yang dianggap tidak perlu jelas dibuang oleh kapitalisme. Dan hasilnya sistem ini dikenal dengan sebutan Sistem Kredit Semester. SKS ternyata memang lebih menguntungkan para kapitalis dibandingkan menguntungkan mahasiswa. Dengan mempersingkat masa studi, pasokan tenaga kerja terdidik dapat terjamin. Dan ketika pasokan melebihi permintaan, maka prinsip-prinsip “pasar tenaga kerja” untuk tenaga kerja terdidik dapat berlaku. Semakin besar jumlah lulusan perguruan tinggi, semakin tinggi posisi tawar para pemilik modal dan semakin rendah posisi tawar buruh terdidik tersebut. Sementara itu, mahasiswa memiliki kemampuan yang jauh lebih berkurang karena yang dipelajarinya kini adalah serpihan-serpihan dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertugas hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan pragmatis industri kapitalisme. Selain itu pengebirian kapasitas ilmiah juga ternyata tetap tidak menjamin tingginya kemampuan lulusan perguruan tinggi dapat beradaptasi dengan lingkungan kerja karena inovasi-inovasi di industri berjalan setiap tahun. Wajar jika kemudian rata-rata kualitas lulusan pendidikan tinggi Indonesia sering kali di bawah standar negara-negara lain.
Tidak juga kita lupakan, bersamaan dengan berlakunya SKS, Pemerintah di bawah ketiak kapitalisme juga memberlakukan kebijakan represi terhadap aktivitas politik di dalam kampus yang bernama Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kegiatan (BKK) yang membabat semua aktivitas mahasiswa yang dekat hubungannya dengan perlawanan politik terhadap rezim.
Sebenarnya tak ada yang berubah dalam pola pendidikan yang diberikan. Peserta didik tetaplah sebuah obyek yang harus diisi dengan pengetahuan-pengetahuan yang mereka sendiri tidak pernah diberi kebebasan yang sesungguhnya untuk memilih. Dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Kampus, atau sebut saja otonomi kampus, siswa tetap berada dalam lingkungan yang akan memaksanya belajar tanpa pernah ada minat yang sesungguhnya dari rata-rata mahasiswa terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Ungkapan yang menyatakan bahwa otonomi kampus ini akan mendorong maju kualitas peserta didik merupakan kebohongan untuk menutupi sebuah kenyataan bahwa pemerintah dipaksa melepaskan lembaga demi kepentingan liberalisasi yang kini terjadi. Jangan kita lupakan bahwa sekolah telah menjadi industri yang sangat menguntungkan, sehingga wajar jika kenaikan SPP menjadi wujud pertama komersialisasi yang terjadi melalui otonomi kampus.
Selama militerisme masih mengabdikan dirinya demi kepentingan kapitalisme, niscaya demokrasi tidak akan berjalan layaknya manusia sehat.
Menurut kamus besar bahasa indonesia Militer adalah tentara atau ketentaraan dan Militerisme adalah paham yang berdasarkan kekuatan militer sebagai pendukung kekuasaan pemerintah yang dikuasai oleh golongan militer atau pemerintah yang mengatur negara secara militer. Menurut konsep politik Yunani kuno militer ditempatkan dalam ranah oicos yang diasosiasikan sebagai suatu yang “tidak mulia atau kotor” dan tidak memiliki otoritas apa pun. Sementara senat adalah ruang pertarungan gagasan dan otoritas yang menempati ranah polis. Tugas militer tak lain hanya berperang untuk kejayaan bangsa dan persoalan keputusan politik bukanlah urusan militer, melainkan sepenuhnya di tangan senat.
Selama militerisme masih mengabdikan dirinya demi kepentingan kapitalisme, niscaya demokrasi tidak akan berjalan layaknya manusia sehat.
Menurut kamus besar bahasa indonesia Militer adalah tentara atau ketentaraan dan Militerisme adalah paham yang berdasarkan kekuatan militer sebagai pendukung kekuasaan pemerintah yang dikuasai oleh golongan militer atau pemerintah yang mengatur negara secara militer. Menurut konsep politik Yunani kuno militer ditempatkan dalam ranah oicos yang diasosiasikan sebagai suatu yang “tidak mulia atau kotor” dan tidak memiliki otoritas apa pun. Sementara senat adalah ruang pertarungan gagasan dan otoritas yang menempati ranah polis. Tugas militer tak lain hanya berperang untuk kejayaan bangsa dan persoalan keputusan politik bukanlah urusan militer, melainkan sepenuhnya di tangan senat.
Para tokoh filsafat seperti Plato dan Aristoteles sudah meletakkan fondasi militer dalam ranah sosial kemasyarakatan pada zamannya. Militer adalah kekhususan dalam hubungan antar masyarakat karena secara institusional militer memiliki dominasi atas tindak kekerasaan serta dibebastugaskan dari fungsi sosial seperti kegiatan berproduksi. Bahwa militer harus profesional mengusasai ilmu kemiliterannya merupakan suatu keharusan dan secara aksiologis militer bukanlah pelaku utama kegiatan sosial, politik, apalagi ekonomi.
Menurut perspektif liberal ataupun revolusioner bersepakat bahwa militer semata-mata hanya alat kekuasaan yang keberadaannya mutlak berada di bawah otoritas yang lebih tinggi, yaitu politik. Pandangan liberalisme meletakkan supremasi sipil di atas militer dalam kerangka pertahanan nasional di mana kedudukan institusi militer merupakan subordinasi dari otoritas pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis melalui kontestasi electoral.
Dalam perjalanannya, bangsa masyarakat Indonesia mengalami dinamikanya sendiri dalam membangun demokrasi. Pergolakan kekuasaan, pergolakan di daerah dan perubahan-perubahan menjadi bukti bahwa dinamika demokrasi telah menjadi material bangsa Indonesia. Dan yang perlu ditekankan adalah bahwa hal tersebut adalah hal yang lumrah dan sehat dalam pembangunan demokrasi. Yang penting adalah pertanggungjawaban secara hukum dan politik dari para penggiat demokrasi di Indonesia. Sehingga, menjadi satu blunder atau penumpulan terhadap kekuatan-kekuatan demokrasi rakyat apabila hal itu coba dibungkam oleh satu kekuatan dengan pembenaran apapun!
Inilah yang menjadi basis analisa dari penolakan terhadap militerisme. Bukan konsisten di rawa-rawa kebencian dan kesumat dendam atas pelanggaran HAM yang dilakukan TNI selama ini diberbagai daerah di seluruh Indonesia. Akan tetapi, lebih terutama karena pemahaman bahwa yang akan kita bangun adalah sebuah kekuatan sipil yang akan membangun sebuah masyarakat yang demokratis, dimana peran sosial, politik, ekonomi dan budaya sepenuhnya dikendalikan oleh kaum sipil. Artinya, Supremasi Sipil tidak bisa tidak adalah keniscayaan sejarah yang harus direalisasikan demi penciptaan prasyarat minimum bagi tegaknya demokrasi.
Sudah berpuluh-puluh tahun lamanya militerisme diberlakukan di bumi pertiwi ini. Bahkan dapat dikatakan bahwa militeri telah menancap kukuh dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat Indonesia. Ia menjadi sebuah sistem atau mesin yang secara perlahan dan sistematis mematikan semua muara dan saluran demokrasi rakyat Indonesia. Secara ekstrim dapat disimpulkan bahwa tidak ada dimensi kehidupan masyarakat Indonesia yang tidak bercampur (baca: terintervensi) oleh militer sebagai institusi maupun perorangan.
Secara historis militer Indonesia adalah militer profesional yang dididik oleh penjajah Belanda dan Jepang, bukan militer yang muncul dari gerakan kemerdekaan rakyat. Secara otomatis, para pendahulu militer Indonesia adalah orang-orang yang dilatih untuk menghadapi rakyat dan selalu berpihak kepada kekuasaan. Pada awal kemerdekaan memang ada milisi-milisi yang tumbuh dari rakyat dan kemudian mengkonsolidasikan diri membangun organisasi militer yang baku, akan tetapi mereka telah berhasil disingkirkan oleh militer yang berasal dari PETA, HEIHO, dan KNIL.
Penguasaan ekonomilah yang membuat militer Indonesia berbeda dengan militer di negara lain dan penguasaan ekonomilah yang membuat militer Indonesia memiliki kepentingan terhadap kekuasaan negara dan mempertahankannya untuk tetap berada di tangan mereka. Selama gerilya melawan kolonial Belanda, militer lebih mandiri dengan sumber-sumber pendanaan yang mereka ciptakan sendiri (penyelundupan, perdagangan candu, dsb). Rentetan sejarah inilah yang membuat militer Indonesia, terutama jendral-jendralnya menjadi mandiri. Bahkan mampu mengambil alih perusahaan-perusahaan asing.
Terakhir, dengan pergantian Rezim Gus Dur-Mega kepada Rezim Mega-Haz posisi militer menunjukkan kekuatannya dalam kancah kekuasaan di Indonesia. Bukan rahasia lagi bahwa kejatuhan Gus Dur dan kebangkitan Mega sedikit banyak dipengaruhi oleh keberpihakan militer pada parlemen. Artinya, secara riil politik, militer Indonesia tetap merupakan satu faksi kekuatan yang dominan dan signifikan dengan kecenderungan anti demokrasi yang begitu kuat seperti yang dipaparkan sebelumnya.
Dalam kenyataan sehari-hari, tanpa harus menyatakan keadaan darurat, militer sudah mengatur segala fungsi-fungsi negara. Struktur birokrasi pemerintahan sampai struktur organisasi masyarakat RT/RW sudah disusupi oleh perwira-perwira militer. Mulai dari Menteri, Jaksa Agung, Gubernur, Bupati, Lurah, Camat, sampai ketua RT/RW bahkan juga direktur-direktur BUMN. Bahkan masuknya militer ke kekuasaan legislatif (DPRD/DPR/MPR) sebenarnya tidak terlepas dari pola mereka masuk ke struktur birokrasi. Untuk mengontrol rakyat Indonesia. Kontrol inilah yang kemudian menghambat proses demokratisasi. Rakyat menjadi hidup didalam satu nuansa represi dan intimidasi.
Karena itulah, seharusnya militer ditempatkan sebagai militer yang professional dan sekaligus sebagai militer rakyat yang artinya militer yang patuh pada prinsip-prinsip demokrasi kerakyatan.
***Selamat memahami***
***Selamat memahami***
likeee,, judul x ilang bang hihihii
ReplyDeletemau d ganti gk ni template x?
pake ini aj..cuma lolomnya bisa di gede in g?
ReplyDeletebisa, html x yg d edit.. tp aq gk ngerti cara x e.. banyak btul pank scrpit x
ReplyDeleteotak kau masih muda..pasti bisa
ReplyDeletesaya tidak sepaham dengan saudara penulis. karena dari artikel penulis seperti menyimpan dendam terhadap militer. Kalau menikmati matahari jangan dari sisi teriknya saja, ntar panas!! alngkah baiknya nikmati pula diwaktu pagi hari,dan diwaktu senja.Tentara gugur di papua,aceh apa ada yang komen, ngapain tentara gugur disana? Kita sebagai warga yang baik kenali dan pelajarilah sejarah negara anda sendiri, gak usah bilang filsapat plato yang nggak kita kenal dan gak penting di indonesia.
ReplyDeleteKiranya, tuan sedikit bersalah paham dengan artikel saya. Tentu, saya tidaklah satu-satunya orang yang menulis tentang militer atau juga Indonesia. Pandangan saya ini, bisa saja salah dan keliru. Salah sejak masih berada dalam pikiran, dan atau benar dalam pikiran namun keliru dalam tindakan --menulis artikel.
DeleteSedapat-dapatnya, kita berada dilingkungan yang berkembang dan --mulai-- berperadaban maju. Teknologi kian hari kian maju. Di Indonesia telah banyak yang terdidik, melaju ke perguruan tinggi, lalu bergelar sarjana. Juga banyak yang bersekolah. Disisi sebelahnya banyak juga yang tidak berkemampuan bersekolah, mampu bersekolah lalu terputus ditengah jalan. Bagaimana pendapat tuan tentang ini?
Tiga setangah abad kolonial Belanda menjajah. Nenek moyang kita mengetahui ini. Mereka berjuang, berlawan, dan kalah. Lalu bangkit lagi.lagi..lagi..! Diantaranya ada yang gugur menyisakan sanak saudara. Ada lain yang hidup dengan bagian tubuh yang tidak semestinya. Saya paham betul tentang ini.hati dan pikiran mereka. Saya kira, tuan sependapat dengan yang saya rasa.
Andaikata Kolonial Belanda tidak datang ke Indonesia. Tidak mengetahui sumber daya alam yang banyak. Hanya nenek moyang kita yang tahu. Lalu mereka mengelolanya, yang nantinya --hasil dan ilmu mengelola-- diwariskan dimasa depan. Menjadi seperti apakah indonesia? saya tak mengetahui benar. Bisa saja bergerak maju menjadi pusat peradababan dunia.
Saya rasa, kiranya patut berterima kasih pada A. Graham Bell, Thomas A. Edison, juga Isac Newton. Sebagai Bangsa dan negara yang berkepribadian dan beradab. Berterima kasih kiranya bukan sesuatu yang berat dilakukan. Ilmu pendidikan bukanlah sesuatu yang mengenal batas teritori, wilayah, maupun batas negara sekalipun. Dengan ilmu pengetahuan, menjelajah waktu menjadi mungkin. Mengintip masa lewat, memperbaikinya, lalu menciptakan apa-apa --yang bermanfaat-- untuk masa depan. Sekana Semua bertali temali, Eropa dengan Asia, Timur tengah dengan Eropa dan Asia, Afrika. Setidaknya patut berucap Sykur pada para penjelajah. Karenaya kita mengenal Islam, Kristen, Budha, Hindu.
Bilamana konsep militer Plato tidak dipergunakan. Lalu konsep dan pandangan Siapa yang dapat dipanut dan dipergunakan? Kiranya tuan sudi memberitahu saya. Dan sudi pulakah tuan, membimbing saya mengenal Indonesia. Sehingga meluruskan kekeliruan saya mengenai apa-apa yang terpenting untuk Indonesia.
Jawaban tuan sangat berarti bagi saya.