Namun system kerja fleksibel seperti ini justru menjadi kontra-produktif dalam prakteknya di Indonesia. Ada beberapa hal yang menjadi alasan sehingga penulis mengatakan demikian, yakni ;
Pertama, `fleksibilitas pasar tenaga kerja' akan menyerap angkatan kerja tanpa diskriminasi. Secara teoretis, dalam pasar kerja yang fleksibel, jumlah upah haruslah ekuivalen dengan selisih hasil nilai lebih produktifitas tiap pekerja (marginal productivity). Dengan demikian, kendatipun pasar kerja dapat dibuat fleksibel, penyerapan angkatan kerja hanya akan berlaku bagi pekerja yang terampil (skilled labour). Padahal, mayoritas pekerja di sektor informal—yang nantinya `dijanjikan' akan diserap dalam pasar kerja yang fleksibel—adalah tenaga kerja yang tidak terampil, perempuan dan anak-anak.
Kedua, `fleksibilitas pasar tenaga kerja' akan membuat mereka yang berada di sektor informal terserap ke dalam sektor formal yang lebih protektif. Hal ini justru kontradiktif dengan tujuan `fleksibilitas' untuk menghilangkan kekakuan (rigidity) pasar tenaga kerja. Menurut argumen `fleksibilitas pasar tenaga kerja', kekakuan pasar kerja dihasilkan oleh dua hal; (1) eksistensi upah minimum yang selalu meningkat, dan (2) jaminan (security) dan proteksi ketenagakerjaan. Kedua hal itulah yang menjadi sasaran untuk dikurangi dan/atau dieliminasi agar pasar tenaga kerja dapat fleksibel demi memenuhi tesis perdagangan bebas Ricardo sebagaimana disebutkan di atas.
Keempat, upah, tentu saja, tak mungkin fleksibel. Keynes (1936) berpendapat bahwa upah tidak dapat bergerak secara sempurna mengikuti permintaan dan penawaran di pasar tenaga kerja. Dengan demikian, selalu terdapat jeda (lag) bagi upah untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan di pasar tenaga kerja. Lagi pula, kendatipun fleksibel, dalam keadaan penawaran tenaga kerja yang berlebih (excess supply) di Indonesia, bila upah dibiarkan mengambang dan diatur oleh pasar, tentu ia akan bergerak kearah yang lebih rendah sampai excess supply itu dapat diserap sepenuhnya. Hal inilah yang menjadi dasar kebijakan upah minimum sehingga upah sejatinya dapat memenuhi kebutuhan hidup layak dan seimbang dengan laju tingkat inflasi.
Kelima, `fleksibilitas pasar tenaga kerja' akan meningkatkan peran serikat pekerja dalam posisi tawar (collective bargaining) pada tingkat perusahaan. Pertanyaan yang segera mengemuka adalah bagaimana mungkin peran dan posisi tawar serikat pekerja dapat ditingkatkan justru dengan kebijakan yang bertujuan mengurangi atau menghilangkan jaminan dan proteksi ketenagakerjaan? Sungguh sebuah posisi yang kontraditif. Terakhir, `fleksibilitas pasar tenaga kerja' akan meningkatkan investasi. Hal ini adalah kesimpulan yang harus diuji lebih lanjut, khususnya dalam prioritas kebijakan. Terdapat banyak faktor yang menghambat investasi, khususnya bagi Indonesia. Diantaranya, yang terpenting, adalah pengendalian laju inflasi yang meningkat sejak pemerintah memotong subsidi bahan bakar minyak sehingga menyebabkan kenaikan harga agregat, belum tuntasnya permasalahan utang korporat akibat ambiguitas pemerintah dan konflik kepentingan, sektor perbankan yang lemah dan belum menjalankan fungsi intermediasi, serta ketidakpastian baik dalam faktor ekonomi maupun non-ekonomi, termasuk pelbagai praktik pungutan liar, manipulasi pajak dan pemberantasan korupsi yang `tebang pilih'. Bukankah masalah-masalah tersebut diatas yang selama ini tak kunjung henti memberikan sinyal negatif bagi peningkatan investasi?
No comments: