“Kalau mati harus dengan berani, kalau hidup juga harus dengan berani, jika keberanian itu tidak ada, itu sebabnya semua bangsa bisa jajah kita” (Pramoedya Ananta Toer)
Seni budaya buruh yang maju adalah atau haruslah tinggi teknik, tinggi estetika, tinggi politik. Benar bahwa estetik (nuansa keindahan) adalah menjadi hal yang universal dalam setiap manusia. Setiap manusia mangungkapkan apa yang dialami dan dirasakan dalam bentuk-bentuk simbol-simbol dan ungkapan-ungkapan (tulisan, gambar, kata-kata, tindakan, dll).
Tapi bukan berarti setiap ekspresi seni dan budaya itu berdiri sendiri/netral, karena semua hal itu tidak mungkin lapas dari posisi sosialnya. Jadi mengapa harus dipertanyakan atau diperdebatkan, karna hal ini justru harus berangkat dari perbedaan ekspresi tersebut. Tentu kita tidak ingin ungkapan seni dan budaya itu dangkal, mengilusi, bahkan menutup-nutupi realitas yang ada, karena seni dan budaya haruslah ilmiah, demokratis dan mengungkapkan kebenaran.
Maka dari itu, jika seni dan budaya hadir pada saat ruang penindasaan itu terjadi (realitas) maka seni dan budaya haruslah berkarakter (aktifitas) yaitu Budaya Pembebasaan atau Perlawanan.
Penetrasi kekuatan modal yang datang merasuk kesemua system saat ini (Budaya, politik, ekonomi, hukum, dl). Bahkan pembungkaman pemikiran atau ide-ide yang beraliran kiri, menyebabkan Budaya Revolusioner menjadi terkesan sesuatu hal yang tampak tidaknyata dalam perwujudanya. Bahkan kapitalisme telah menciptakan produk budayanya sendiri sesuai dengan logika modal mereka. Sebagai contohnyata adalah konsumsi yang tidak sesuai dengan nilai guna menjadi indicator keberhasilan dari doktrin budaya kapitalisme, bahkan parahnya instintusi agama sekalipun dijadikan fungsi legalisasi bagi penindasan mereka.
Buruh harus memiliki cita-cita, sudah cukup pelajaran dari sejarah Indonesia tentang “Watak mudah menyerah”. Membangun watak kemandirian, tidak anti kontradiksi. Dalam hal ini Oportunisme telah menjelma menjadi musuh yang lain yang terbentuk karena budaya, maka sudah sewajarnyalah hal ini dalam lapangan budaya (lawan watak oportunisme) juga harus menjadi titik tekan serangan gerakan revolusioner.
Maka pengupayaan propaganda budaya pembebasan atau budaya perlawanan itu harus diluar dari syarat-syarat kapitalime, artinya dengan kata lain harus memiliki watak Non-Kooptasi dan Non-kooprasi – dalam artian tidak Oportunis.
Mari kawan-kawan Buruh, Budaya kita adalah budaya perlawanan…
sudah cukup di telikung oleh elit-elit itu…
budaya yang maju menunggu kita…
No comments: