Potensi kekayaan alam yang dimiliki kaltim, diatas kertas seharusnya mampu menopang pertumbuhan industry diberbagai bidang. Namun fakta yang terjadi dilapangan, hanya industry tambang, minyak dan gas-lah yang cenderung mendominasi pertumbuhan industry yang ada. Sementara sector industry lain, seperti manufaktur, agro-industri, perkebunan hingga perkayuan, berjalan tertatih-tatih tanpa adanya keseriusan pemerintah untuk mengelolanya dengan baik. Salah satu sector industri yang sempat menjadi primadona di Kalimantan timur adalah perkayuan. Hal ini dilator belakangi oleh luas wilayah kaltim yang 60 % merupakan wilayah hutan, yang tentunya memiliki syarat sebagai suplay bahan baku utama bagi industri perkayuan. Namun pada kenyataannya, industry perkayuan kaltim terus merosot, bahkan mendekati kehancuran yang diakibatkan oleh semakin menurunnya tingkat produksi serta kian berkurangnnya bahan baku. Hingga akhir tahun 2005, Kaltim memiliki jumlah unit usaha pada sector industry perkayuan sebanyak 13.564 buah. Dari total jumlah unit usaha tersebut, mampu menyerap tenaga kerja sebesar 115.603 orang. Sementara total investasi yang untuk sector industry perkayuan ini mencapai Rp. 6,4 triliun pertahunnya[1]. Total industri kayu lapis (plywood) yang ada di kaltim, sebanyak 23 unit dengan kapasitas produksi per tahunnya mencapai 1,8 juta meter kubik. Sedangkan untuk industri sawmill sebanyak terdapat 124 unit dengan kapasitas produksi 2,02 juta meter kubik. Sedangkan untuk usaha moulding terdapat 30 unit dengan kapasitas produksi 355,15 ribu meter kubik. Sementara jenis usaha MDF (papan berkerapatan sedang) terdapat 2 unit dengan kapasitas 200 ribu meter kubik. Terakhir, untuk industri bubur kertas (pulp) ada 1 unit dengan kapasitas 525 ribu metrik ton[2].
Dari data tersebut, jenis industri yang mempunyai ETPIK (Eksportir Terdaftar Industri Kehutanan) sebanyak 100 perusahaan yang tersebar di berbagai daerah di Kaltim. Namun yang paling banyak memiliki ETPIK adalah perusahaan di Samarinda sebanyak 45 perusahaan, disusul Kutai Kartanegara 17 perusahaan, dan Balikpapan 16 perusahaan. Perkembangan industri di kaltim sendiri mengalami pasang surut, yang diakibatkan oleh pola kebijakan ekonomi makro nasional maupun internasional. Salah satu sector industry andalan-diluar migas dan tambang-yang selama ini menjadi komoditas dasar kaltim adalah sector perkayuan. Hal ini memang sangat memungkinkan mengingat 60 persen dari wilayah kaltim adalah hutan. Namun seiring waktu berjalan, luas wilayah hutan kaltim semakin mengecil yang diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah aktivitas tambang yang semakin tinggi yang beroperasi diwilayah kaltim. Menurut Kepala Kantor Pertambangan dan Energi (KPE) Samarinda, Rusdi AR, dari 718,23 km2 luas wilayah Samarinda, sebanyak 31,8 persen telah dikuasai perusahaan tambang batu bara yang izinnya diterbitkan oleh pemerintah pusat. Dari lima perusahaan tambang batu bara yang izinnya diterbitkan pusat, baik berupa izin PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara) maupun KP, areal yang dipakai mencapai 22.839 hektare atau 31,8 persen dari total luas Samarinda. Ini belum termasuk izin KP local[3].
Sektor industri lokal di Kalimantan Timur sampai hari ini belum memberikan kontribusi yang begitu signifikan terhadap pembangunan ekonomi daerah. Hal itu dikarenakan sektor industri kita sangat lemah baik itu dalam hal teknologi, kapasitas produksi dan kemampuannya untuk bersaing dengan industri asing. Disamping itu, sektor industri lokal Kaltim juga tidak memiliki platform kerakyatan, yakni sebagai penopang utama bagi kesejahteraan rakyat, melainkan berplatform kapitalism atau ambil untung saja tanpa pertimbangan pembangunan segala bidang yang berkelanjutan (suistanable Development). Kekayaan alam Kaltim, terutama disektor tambang minyak, batu bara dan gas, tidak mampu dimanfaatkan secara optimal oleh industri lokal.
Malah perusahaan-perusahaan asinglah-lah yang memanfaatkannya melalui TNC-MNC, yang banyak melakukan eksploitasi terhadap kekayaan alam Kaltim yang tentu saja hasil dan keuntungannya tidak sepenuhnya untuk kepentingan rakyat Kaltim sendiri, melainkan Negara-negara maju pemilik peusahaan-perusahaan tersebut. Sejak zaman Orde Baru, strategi pembangunan ekonomi yang digunakan sama sekali tidak menyesuaikan diri dengan formulasi kebutuhan pokok masyarakat. Deretan panjang industri yang dikembangkan, mulai dari otomotif, persenjataan hingga pesawat terbang, memperlihatkan betapa terobsesinya kita mengikuti Negara-negara maju yang jauh lebih berkembang. Rata-rata industry yang dikembangkan dizaman Orde Baru, sama sekali tidak sesuai dengan kebutuhan pokok masyarakat pada umumnya.
Kenapa bukan industry pemecah kemiri, atau peningkatan produksifitas teknologi pertanian yang lebih kita fokuskan, yang notabene memang telah menjadi problem utama masyarakat kita?. Jika ditarik pada konteks ekonomi Kaltim, maka dapat dipastikan bahwa hasil-hasil produksi Migas dan Batu Bara juga tidak secara utuh akan dikonsumsi masyarakat. Batu bara, gas alam, minyak dll, toh pada akhirnya menjadi komoditas ekspor bagi daerah/Negara lain. Secara umum, Kaltim hanya akan mendapatkan sokongan modal dari hasil pemasaran produksi Migas tersebut. Kaltim secara umum, belum mampu mengembangankan industry modern yang berbasis pada kepentingan rakyat, walhasil, dominasi perusahaan-perusahaan asing yang mengekspolitasi sector tambang minyak, gas dan batu bara di Kaltim, terus memimpin dan mengambil alih perkembangan roda industry di Kalimantan Timur.
Ketergantungan terhadap Industri Migas
Kaltim tidak bisa dipungkiri merupakan salah satu daerah pengahasil Migas terbesar di Indonesia. Sumber pendapatan utama sebagai penopang pembangunan ekonomi Kaltim sangat mengandalkan sector Migas ini. Keunggulan komparatif (comparative advantage) tersebut telah menjadi nilai tersendiri terhadap arah pembangunan Kaltim kedepan. Namun keunggulan pada sektor Migas ini, tidak disertai dengan pertumbuhan industri manufaktur sebagai salah satu langkah menuju industri yang modern, dengan tujuan untuk menyediakan kebutuhan dasar masyarakat (basic needs approach), khususnya sandang dan pangan. Hal ini tentu akan menyebabkan ketimpangan lalu lintas komoditas konsumsi masyarakat. Salah satu bentuknya adalah, tingkat harga komoditas kebutuhan pokok di Kaltim yang jauh di atas rata-rata di daerah lain. Hal ini dikarenakan barang-barang konsumsi masyarakat lebih banyak dimpor dari luar daerah, terutama produk makanan luar negeri. Tengok saja produk-produk makanan buatan Malaysia yang banyak beredar di Kaltim! Suatu pemandangan yang menimbulkan buah pertanyaan ; “Megapa Kaltim hingga saat ini tidak mampu mengembangkan industry diluar Migas secara mandiri?”.
Pertanyaan yang sangat mudah dijawab, sebab Kaltim memang masih mengalami ketergantungan yang sangat luar biasa terhadap industri Migas, dibanding upaya membangun industri manufaktur di daerah sendiri. Walhasil, para stakeholder di daerah Kaltim-pun sibuk dengan penataan lalu lintas industri Migas, dibanding mempersiapkan agenda-agenda industirialisasi khususnya dibidang manufaktur. Kal-Tim memang boleh berbangga hati dengan kekayaan alam yang dimiliki, terutama disektor tambang minyak, gas dan batubara, namun tanpa sokongan dari pembangunan industry pokok rakyat, maka efek ketergantungan akan semakin besar. Padahal Kaltim sendiri memiliki asset alam yang cukup potensial disektor pertanian dan tanaman pangan.
Di dalam rencana strategis (Renstra) yang dikeluarkan oleh Dinas Pertanian tanaman pangan Provinsi kaltim, nampak jelas bahwa potensi alam disektor ini cukup menjanjikan. Tinggal bagaimana upaya dalam meningkatkan produktifitas saja. Sebab selama ini, hal tersebut kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Lemahnya modernisasi teknologi pertanian, kurangnya upaya penambahan mutu hasil pertanian dan pangan, serta fasilitas bahan dasar tani yang tidak memadai, menjadi kendala utama saat ini. Walhasil, Alih teknologi menuju agro industry pertanian-pun hanya sekedar wacana saja dikalangan masyarakat.
Jika seandainya kita ingin sedikit merendah dengan belajar dari strategi pembangunan ekonomi cina, maka formulasi pembangunan industry seyogyanya dapat kita lakukan dengan baik di Kaltim. Praktek pemberdayaan industry kecil-menegah (Home Industry) yang dilakukan Cina dengan penuh kesabaran, tak disangka mampu menuai hasil yang sangat fantastis beberapa tahun kemudian dengan angka pertumbuhan eknomi rata-rata 9-11 persen pertahunnya. Inilah yang sering diistilahkan para pengamat ekonomi dengan program “Loncatan Jauh Ke Depan” yang dilakukan oleh Cina sejak zaman Mao Tze Tung berkuasa. Begitu pula dengan Kuba yang pada awalnya adalah sebuah negeri yang subsisten dengan sektor pertanian sebagai andalannya, kini mengalami kemajuan yang pesat karena digenjotnya pembangunan industri Negara tersebut. Tentunya dengan kemampuan teknologi dan IPTEK dari masyarakatnya, industri Kuba telah berhasil menjamin rakyatnya dapat makan tiga kali sehari.
Kekayaan sumberdaya alam dan energi alternatif serta besarnya tenaga produktif (manusia) akan menjadi modal yang cukup untuk mengembangkan sektor industri daerah. Masih banyaknya angkatan kerja yang menganggur akibat terbatasnya kemampuan perekonomian daerah untuk menyerap tenaga kerja akan terjawab jika industri daerah diperkuat. Cetak biru (blue print) , pembangunan kawasan industri memang agak sedikit melegakan dengan realisasi tiga titik daerah kawasan industri, yakni ; Bontang (Bontang Industri Estate), Banjarmasin (KAPET DAS KAKAB), dan Balikpapan (Kawasan Industri Kariangau-KIK). Namun ketiga kawasan tersebut masih didominasi oleh industri non manufaktur. Bontang Industri Estate misalnya, masih menitik beratkan pada industri kimia yang terlihat dari perusahaan-perusahaan yang ada dalam kawasan tersebut. Dengan asumsi ingin memberdayakan potensi kekayaan alam Kaltim khususnya di sector Migas, bukan berarti Kaltim tidak mampu untuk membangun industri secara massif diluar Migas, terutama disektor manufaktur.
Efek domain yang dharapkan akan menjalar didaerah-daerah pedesaan, terasa lamban dan tak terarah jika tidak ada usaha yang lebih kongkrit untuk mencetuskan pogram industrialisasi secara massif. Dalam konsep pembangunan industry, ada beberapa tahapan yang harus dilalui, myakni ; (1). Pembangunan industri dasar, antara lain industri logam (baja), industri listrik, energi, kimia dasar, dsb guna menjamin ketersediaan bahan baku dan bahan bakar industri. (2). Pembangunan industrialisasi pertanian guna menjamin ketersediaan pangan bagi rakyat. (3). pembangunan industri barang-barang modal, yakni industri mesin-mesin, industri pengangkutan, dsb. Dan (4). pengembangan industri barang-barang konsumsi.
Tahapan pertama sudah mengarah kepada proses pematangan, dengan menjamurnya industri energi yang dimiliki oleh Kaltim. Namun terlihat stagnan tak bergerak sama sekali dengan mandegnya upaya memabangun industri di luar tambang migas dan abtu bara. Industri dibidang pertanian, barang modal serta konsumsi, masih menjadi sekedar konsep dikepala (Itu juga kalo mereka konsep) tanpa pernah terealisasi dengan baik dilapangan.
[1] Kutipan pernyataan H. Irianto Lambrie, Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Indagkop) Kaltim. Sumber ; http://www.samarinda.go.id/node/7580, yang disadur dari http://www.kaltimpost.web.id/ berita/index. asp?Berita=Ekonomi&id=150163.
[2] Ibid,-
[3] Sumber : harian kaltim post, 4 april 2008. Original link : http://www.kaltimpost.web.id/berita/ index.asp? Berita=prokaltim&id=252538.
Dari data tersebut, jenis industri yang mempunyai ETPIK (Eksportir Terdaftar Industri Kehutanan) sebanyak 100 perusahaan yang tersebar di berbagai daerah di Kaltim. Namun yang paling banyak memiliki ETPIK adalah perusahaan di Samarinda sebanyak 45 perusahaan, disusul Kutai Kartanegara 17 perusahaan, dan Balikpapan 16 perusahaan. Perkembangan industri di kaltim sendiri mengalami pasang surut, yang diakibatkan oleh pola kebijakan ekonomi makro nasional maupun internasional. Salah satu sector industry andalan-diluar migas dan tambang-yang selama ini menjadi komoditas dasar kaltim adalah sector perkayuan. Hal ini memang sangat memungkinkan mengingat 60 persen dari wilayah kaltim adalah hutan. Namun seiring waktu berjalan, luas wilayah hutan kaltim semakin mengecil yang diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah aktivitas tambang yang semakin tinggi yang beroperasi diwilayah kaltim. Menurut Kepala Kantor Pertambangan dan Energi (KPE) Samarinda, Rusdi AR, dari 718,23 km2 luas wilayah Samarinda, sebanyak 31,8 persen telah dikuasai perusahaan tambang batu bara yang izinnya diterbitkan oleh pemerintah pusat. Dari lima perusahaan tambang batu bara yang izinnya diterbitkan pusat, baik berupa izin PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara) maupun KP, areal yang dipakai mencapai 22.839 hektare atau 31,8 persen dari total luas Samarinda. Ini belum termasuk izin KP local[3].
Sektor industri lokal di Kalimantan Timur sampai hari ini belum memberikan kontribusi yang begitu signifikan terhadap pembangunan ekonomi daerah. Hal itu dikarenakan sektor industri kita sangat lemah baik itu dalam hal teknologi, kapasitas produksi dan kemampuannya untuk bersaing dengan industri asing. Disamping itu, sektor industri lokal Kaltim juga tidak memiliki platform kerakyatan, yakni sebagai penopang utama bagi kesejahteraan rakyat, melainkan berplatform kapitalism atau ambil untung saja tanpa pertimbangan pembangunan segala bidang yang berkelanjutan (suistanable Development). Kekayaan alam Kaltim, terutama disektor tambang minyak, batu bara dan gas, tidak mampu dimanfaatkan secara optimal oleh industri lokal.
Malah perusahaan-perusahaan asinglah-lah yang memanfaatkannya melalui TNC-MNC, yang banyak melakukan eksploitasi terhadap kekayaan alam Kaltim yang tentu saja hasil dan keuntungannya tidak sepenuhnya untuk kepentingan rakyat Kaltim sendiri, melainkan Negara-negara maju pemilik peusahaan-perusahaan tersebut. Sejak zaman Orde Baru, strategi pembangunan ekonomi yang digunakan sama sekali tidak menyesuaikan diri dengan formulasi kebutuhan pokok masyarakat. Deretan panjang industri yang dikembangkan, mulai dari otomotif, persenjataan hingga pesawat terbang, memperlihatkan betapa terobsesinya kita mengikuti Negara-negara maju yang jauh lebih berkembang. Rata-rata industry yang dikembangkan dizaman Orde Baru, sama sekali tidak sesuai dengan kebutuhan pokok masyarakat pada umumnya.
Kenapa bukan industry pemecah kemiri, atau peningkatan produksifitas teknologi pertanian yang lebih kita fokuskan, yang notabene memang telah menjadi problem utama masyarakat kita?. Jika ditarik pada konteks ekonomi Kaltim, maka dapat dipastikan bahwa hasil-hasil produksi Migas dan Batu Bara juga tidak secara utuh akan dikonsumsi masyarakat. Batu bara, gas alam, minyak dll, toh pada akhirnya menjadi komoditas ekspor bagi daerah/Negara lain. Secara umum, Kaltim hanya akan mendapatkan sokongan modal dari hasil pemasaran produksi Migas tersebut. Kaltim secara umum, belum mampu mengembangankan industry modern yang berbasis pada kepentingan rakyat, walhasil, dominasi perusahaan-perusahaan asing yang mengekspolitasi sector tambang minyak, gas dan batu bara di Kaltim, terus memimpin dan mengambil alih perkembangan roda industry di Kalimantan Timur.
Ketergantungan terhadap Industri Migas
Kaltim tidak bisa dipungkiri merupakan salah satu daerah pengahasil Migas terbesar di Indonesia. Sumber pendapatan utama sebagai penopang pembangunan ekonomi Kaltim sangat mengandalkan sector Migas ini. Keunggulan komparatif (comparative advantage) tersebut telah menjadi nilai tersendiri terhadap arah pembangunan Kaltim kedepan. Namun keunggulan pada sektor Migas ini, tidak disertai dengan pertumbuhan industri manufaktur sebagai salah satu langkah menuju industri yang modern, dengan tujuan untuk menyediakan kebutuhan dasar masyarakat (basic needs approach), khususnya sandang dan pangan. Hal ini tentu akan menyebabkan ketimpangan lalu lintas komoditas konsumsi masyarakat. Salah satu bentuknya adalah, tingkat harga komoditas kebutuhan pokok di Kaltim yang jauh di atas rata-rata di daerah lain. Hal ini dikarenakan barang-barang konsumsi masyarakat lebih banyak dimpor dari luar daerah, terutama produk makanan luar negeri. Tengok saja produk-produk makanan buatan Malaysia yang banyak beredar di Kaltim! Suatu pemandangan yang menimbulkan buah pertanyaan ; “Megapa Kaltim hingga saat ini tidak mampu mengembangkan industry diluar Migas secara mandiri?”.
Pertanyaan yang sangat mudah dijawab, sebab Kaltim memang masih mengalami ketergantungan yang sangat luar biasa terhadap industri Migas, dibanding upaya membangun industri manufaktur di daerah sendiri. Walhasil, para stakeholder di daerah Kaltim-pun sibuk dengan penataan lalu lintas industri Migas, dibanding mempersiapkan agenda-agenda industirialisasi khususnya dibidang manufaktur. Kal-Tim memang boleh berbangga hati dengan kekayaan alam yang dimiliki, terutama disektor tambang minyak, gas dan batubara, namun tanpa sokongan dari pembangunan industry pokok rakyat, maka efek ketergantungan akan semakin besar. Padahal Kaltim sendiri memiliki asset alam yang cukup potensial disektor pertanian dan tanaman pangan.
Di dalam rencana strategis (Renstra) yang dikeluarkan oleh Dinas Pertanian tanaman pangan Provinsi kaltim, nampak jelas bahwa potensi alam disektor ini cukup menjanjikan. Tinggal bagaimana upaya dalam meningkatkan produktifitas saja. Sebab selama ini, hal tersebut kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Lemahnya modernisasi teknologi pertanian, kurangnya upaya penambahan mutu hasil pertanian dan pangan, serta fasilitas bahan dasar tani yang tidak memadai, menjadi kendala utama saat ini. Walhasil, Alih teknologi menuju agro industry pertanian-pun hanya sekedar wacana saja dikalangan masyarakat.
Jika seandainya kita ingin sedikit merendah dengan belajar dari strategi pembangunan ekonomi cina, maka formulasi pembangunan industry seyogyanya dapat kita lakukan dengan baik di Kaltim. Praktek pemberdayaan industry kecil-menegah (Home Industry) yang dilakukan Cina dengan penuh kesabaran, tak disangka mampu menuai hasil yang sangat fantastis beberapa tahun kemudian dengan angka pertumbuhan eknomi rata-rata 9-11 persen pertahunnya. Inilah yang sering diistilahkan para pengamat ekonomi dengan program “Loncatan Jauh Ke Depan” yang dilakukan oleh Cina sejak zaman Mao Tze Tung berkuasa. Begitu pula dengan Kuba yang pada awalnya adalah sebuah negeri yang subsisten dengan sektor pertanian sebagai andalannya, kini mengalami kemajuan yang pesat karena digenjotnya pembangunan industri Negara tersebut. Tentunya dengan kemampuan teknologi dan IPTEK dari masyarakatnya, industri Kuba telah berhasil menjamin rakyatnya dapat makan tiga kali sehari.
Kekayaan sumberdaya alam dan energi alternatif serta besarnya tenaga produktif (manusia) akan menjadi modal yang cukup untuk mengembangkan sektor industri daerah. Masih banyaknya angkatan kerja yang menganggur akibat terbatasnya kemampuan perekonomian daerah untuk menyerap tenaga kerja akan terjawab jika industri daerah diperkuat. Cetak biru (blue print) , pembangunan kawasan industri memang agak sedikit melegakan dengan realisasi tiga titik daerah kawasan industri, yakni ; Bontang (Bontang Industri Estate), Banjarmasin (KAPET DAS KAKAB), dan Balikpapan (Kawasan Industri Kariangau-KIK). Namun ketiga kawasan tersebut masih didominasi oleh industri non manufaktur. Bontang Industri Estate misalnya, masih menitik beratkan pada industri kimia yang terlihat dari perusahaan-perusahaan yang ada dalam kawasan tersebut. Dengan asumsi ingin memberdayakan potensi kekayaan alam Kaltim khususnya di sector Migas, bukan berarti Kaltim tidak mampu untuk membangun industri secara massif diluar Migas, terutama disektor manufaktur.
Efek domain yang dharapkan akan menjalar didaerah-daerah pedesaan, terasa lamban dan tak terarah jika tidak ada usaha yang lebih kongkrit untuk mencetuskan pogram industrialisasi secara massif. Dalam konsep pembangunan industry, ada beberapa tahapan yang harus dilalui, myakni ; (1). Pembangunan industri dasar, antara lain industri logam (baja), industri listrik, energi, kimia dasar, dsb guna menjamin ketersediaan bahan baku dan bahan bakar industri. (2). Pembangunan industrialisasi pertanian guna menjamin ketersediaan pangan bagi rakyat. (3). pembangunan industri barang-barang modal, yakni industri mesin-mesin, industri pengangkutan, dsb. Dan (4). pengembangan industri barang-barang konsumsi.
Tahapan pertama sudah mengarah kepada proses pematangan, dengan menjamurnya industri energi yang dimiliki oleh Kaltim. Namun terlihat stagnan tak bergerak sama sekali dengan mandegnya upaya memabangun industri di luar tambang migas dan abtu bara. Industri dibidang pertanian, barang modal serta konsumsi, masih menjadi sekedar konsep dikepala (Itu juga kalo mereka konsep) tanpa pernah terealisasi dengan baik dilapangan.
[1] Kutipan pernyataan H. Irianto Lambrie, Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Indagkop) Kaltim. Sumber ; http://www.samarinda.go.id/node/7580, yang disadur dari http://www.kaltimpost.web.id/ berita/index. asp?Berita=Ekonomi&id=150163.
[2] Ibid,-
[3] Sumber : harian kaltim post, 4 april 2008. Original link : http://www.kaltimpost.web.id/berita/ index.asp? Berita=prokaltim&id=252538.
Menjual berbagai macam jenis Chemical untuk cooling tower chiller, waste water treatment, Loundry oli ,dll untuk info lebih lanjut tentang produk ini bisa menghubungi saya di email tommy.transcal@gmail.com
ReplyDeleteTommy (081310849918)
Terima kasih