internasional

nasional

cerita

» » Apa itu Imperialisme dan Bagaimana Melawannya? ( Bagian Kedua )

Kapitalisme tumbuh menjadi monopoli dan kartel

Kekuatan produksi manusia tumbuh pesat di bawah kapitalisme. Dengan kompetisi bebas, kapitalis terus menciptakan teknologi-teknologi baru yang membuat manusia menjadi lebih produktif secara keseluruhan. Namun, semakin tingginya kekuatan produksi manusia, semakin besar pula kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Inilah kekonyolan dari kapitalisme. Semakin kaya masyarakat secara keseluruhan, semakin besar pula jurang pemisah antara rakyat pekerja dan kapitalis.
Persaingan bebas adalah motor penggerak kapitalisme. Tiap-tiap kapitalis terus berkompetisi. Awalnya dalam sebuah industri, ada ribuan pengusaha. Mereka terus berseteru untuk merebut pasar. Yang kalah tersingkirkan dan dilahap oleh yang menang. Ini terus menerus berlangsung hingga akhirnya hanya tersisa beberapa pengusaha besar. Dengan cara ini, akhirnya kompetisi berubah menjadi monopoli. Terjadi konsentrasi pasar dan kapital di tangan segelintir pengusaha. Pengusaha-pengusaha kecil tidak mampu lagi bersaing dengan pengusaha-pengusaha besar, yang punya modal besar dan bisa membangun pabrik-pabrik yang lebih besar. Dengan pabrik yang besar, jelas mereka dapat memproduksi lebih murah dan membanjiri pasar. Mereka juga bisa membanting harga sampai pengusaha kecil saingan mereka bangkrut, atau cukup “melahap” saingan mereka dengan membelinya. Inilah yang disebut “ekonomi skala besar”, dimana semakin besar sebuah perusahaan semakin mudah ia meraih laba besar.


Kapitalisme mencapai puncak kompetisi bebas mereka pada 1860-70 dan saat itu monopoli belum menjadi fitur utama. Pada periode 1800an, kapitalisme didominasi perusahaan-perusahaan kecil milik keluarga atau individu. Hanya pada 1900an akhirnya kapitalisme memasuki fase dimana monopoli menjadi fitur dominan. Pada 1830, perusahaan terbesar di dunia adalah pabrik besi-baja Cyfartha, dengan jumlah pekerja 5000 orang dan aset total $2 juta. Hari ini Walmart memperkerjakan 2,2 juta pekerja, McDonald 1,7 juta, Volkswagen 500 ribu, Siemens 360 ribu. Para pelopor kapitalis tidak akan pernah bermimpi kalau akan ada perusahaan dengan jumlah pekerja 1 juta.
Di dalam kapitalisme monopoli, sebuah pasar dikuasai oleh beberapa perusahaan saja. Kita bisa ambil contoh industri otomobil, yang dikuasai oleh segelintir pemain sejak 1920an. Di Amerika, pusat kapitalisme dunia, industri otomobil dikuasai oleh tiga besar: General Motors, Ford, dan Chrysler. Di Jepang, ini juga dikuasai oleh segelintir saja: Toyoto, Honda, Nissan, Suzuki, Mazda, Daihatsu, Mitsubishi, Subaru. Tetapi lebih penting adalah kenyataan bahwa kepemilikan perusahaan-perusahaan otomobil ini sangatlah kompleks. Misalnya Nissan adalah juga milik Renault dari Prancis. Mazda sahamnya dimiliki oleh Ford. Toyota juga mengontrol saham Daihatsu dan Subaru. Ini hanya beberapa contoh saja yang kita ketahui. Jadi selain ada monopoli, lewat kepemilikan saham semua perusahaan mobil ini saling terkait satu sama lain. Sebuah penelitian tahun 2011 oleh Professor Vitali menunjukkan sebuah jaringan kepemilikan korporasi-korporasi multinasional yang kompleks, dimana “setiap perusahaan punya kepemilikan secara langsung dan/atau tidak langsung perusahaan lainnya”. Dari 43 ribu korporasi multi-nasional, ada 147 korporasi yang mengontrol 40 persen ekonomi dunia dan tiap-tiap perusahaan ini saling terikat kepemilikannya.
Namun jangan kita pikir kalau monopoli ini hanya dilakukan kapitalis asing atau hanya dalam tingkatan korporasi multinasional. Monopoli juga dilakukan oleh kapitalis nasional di bumi Indonesia. Media di Indonesia (koran, majalah, TV, radio, penerbitan buku, dll.) dimonopoli oleh 12 perusahaan: Grup MNC, Kompas Gramedia, Jawa Pos, Mahaka Media, Elang Mahkota Teknologi, CT Corp, Visi Media Asia, MRA Media, Femina, Tempo Inti Media, dan Beritasatu Media Holding. Pasar rokok Indonesia dikuasai tiga pemain: Gudang Garam, Djarum dan Sampoerna; walau belum lama ini Djarum dan Sampoerna sudah dijual ke Imperial Tobacco dan Phillip Morris, yang memonopoli industri rokok dunia.
Tidak hanya itu, perusahaan-perusahaan raksasa ini juga membentuk sebuah kartel, yakni sebuah kerjasama antar monopoli yang mana dengan perjanjian-perjanjian terselubung mereka mengatur harga, membagi pasar, menentukan jumlah produksi, dan lain sebagainya. Pembentukan kartel oleh pemain-pemain besar dilakukan karena mereka sadar bahwa mereka bisa meraup lebih banyak laba kalau mereka melakukan kerjasama ini.  Persaingan bebas -- walau masih terjadi pada tingkatan tertentu -- bukan lagi fitur yang dominan. Kebanyakan persaingan justru terjadi dalam ranah iklan, dimana tiap-tiap perusahaan mencoba meyakinkan kita kalau sambal ABC lebih enak daripada sambal Indofood, kalau motor Honda lebih baik daripada motor Yamaha. Pada kenyataannya mereka sudah membagi pasar dan mengatur harga sedemikian rupa sehingga dapat meraup laba sebanyak mungkin, atau superprofit. Yang dirugikan adalah konsumen.
Selain itu, produksi di bawah kapitalisme juga semakin lama semakin bersifat sosial, yakni tidak ada satu pabrik atau industri yang berdiri sendiri. Tiap industri adalah bagian dari rantai produksi kapitalis yang kompleks dan saling tergantung. Kita ambil contoh saja industri telpon genggam, yang melibatkan puluhan industri dan sub-industri: plastik (untuk komponen-komponennya), tambang (telpon genggam menggunakan banyak mineral langka), informasi teknologi (untuk programnya), enerji (baterai), komunikasi (penggunaan satelit dan antena pemancar), dan lain sebagainya. Tidak ada satupun industri yang berdiri sendiri. Kenyataan ini mendorong kaum kapitalis untuk membentuk konglomerat-konglomerat, yakni sebuah perusahaan raksasa yang bergerak di berbagai macam industri. Kali ini kita tidak perlu melihat ke luar negeri, kita cukup melihat Salim Grup, dengan lebih dari 400 perusahaan yang bergerak di hampir semua industri: Indofood (mie instan), Bogasari (tepung), Indomaret (retail), Indocement (semen), Indosiar (televisi), perkebunan sawit, perhutanan, real estate, perbankan, asuransi, dll. Juga Bakrie Group, sebuah konglomerat multinasional yang bergelut di perkebunan sawit dan karet, tambang batu bara, minyak, dan gas, telekomunikasi, properti, tambang mineral, konstruksi, dll. Djarum Group, yang di atas sudah kita sebut sebagai salah satu monopoli rokok, juga bergerak di perbankan (bank BCA), elektronik, properti, agribisnis, telekomunikasi, dan multimedia. Konglomerasi terus berusaha menguasai berbagai cabang industri dari hulu hingga hilir guna mendapatkan dominasi absolut.
Dengan kartel dan konglomerat, persaingan di dalam kapitalisme hari ini bukan lagi antara perusahaan yang secara teknik lebih maju dengan perusahaan yang secara teknik lebih terbelakang. Pada periode awal kapitalisme, seorang kapitalis yang menemukan metode atau teknik untuk memproduksi sebuah barang dengan lebih murah, lebih cepat, dan lebih berkualitas akan menang. Hari ini yang ada adalah perusahaan raksasa menggilas perusahaan-perusahaan kecil. Ini benar dalam skala nasional, dan juga benar dalam skala internasional. Perusahaan-perusahaan kecil dari negero Dunia Ketiga tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar dari negeri kapitalis besar. Mereka hanya jadi bulan-bulanan, jadi roda-roda gir kecil di dalam mesin konglomerasi besar. Sukses sebuah perusahaan tidak lagi ditentukan oleh kemampuannya untuk melakukan inovasi, tetapi oleh besarnya kapital yang ia miliki. Misalnya, sebuah perusahaan yang punya modal besar bisa menghancurkan saingannya yang lebih kecil dengan membanting harga -- bahkan bila ia merugi -- sampai saingannya bangkrut. Dengan modalnya yang besar, walau menjual rugi ia bisa bertahan lebih lama daripada perusahaan yang lebih kecil. Sebuah perusahaan konglomerat, yang juga punya kendali atas industri-industri suplai lain, juga dapat mensabotase saingannya dengan memotong suplai tertentu.
Inilah tahapan kapitalisme hari ini, sebuah tahapan monopoli dan konglomerasi, dimana konsentrasi kapital dan produksi semakin hari semakin terpusat. Persaingan bebas sudah bukan lagi fitur utama kapitalisme. Dengan fakta ini, maka karakter progresif kapitalisme -- yakni persaingan bebas yang merupakan motor perkembangan tenaga produksi -- telah lama hilang. Bila perkembangan umat manusia ditentukan oleh kemampuan manusia untuk terus mengembangkan tenaga produksi, maka kapitalisme sungguh telah menjadi beban bagi perkembangan umat manusia.
Mungkin akan ada orang-orang yang keberatan dengan pernyataan ini. Mereka mengatakan: “Lihatlah perkembangan teknologi 50 tahun terakhir ini, apa ini bukan bukti dari karakter progresif kapitalisme?” Akan tetapi pernyataan bahwa kapitalisme telah menjadi beban bagi perkembangan umat manusia bukan berarti bahwa tidak ada pertumbuhan atau perkembangan sama sekali. Pernyataan tersebut mengatakan bahwa sistem ekonomi kapitalisme tidak mampu menggunakan secara penuh potensi produksi manusia. Potensi sumber daya manusia dan alam yang begitu besar tidak mampu digunakan untuk menyelesaikan kemiskinan dan kemelaratan mayoritas umat manusia. Setengah dari populasi Indonesia hidup di bawah $2 per hari, atau Rp 18 ribu per hari. Di seluruh dunia, ada 2,6 milyar manusia yang bernasib sama. Setiap 8 detik, seorang anak meninggal karena minum air tidak bersih. 3,6 juta orang mati setiap tahunnya karena tidak mendapatkan akses ke air bersih dan sanitasi. Kita bisa menulis satu buku penuh berisi statistik kemiskinan dan kemelaratan mayoritas manusia. Kapitalisme, kendati katanya telah menemukan berbagai teknologi canggih, tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Justru hari ini ia telah memasuki sebuah krisis besar dimana standar hidup rakyat pekerja bahkan di negara-negara kapitalis maju semakin memburuk, apalagi di negara-negara Dunia Ketiga.

About Dodoy Kudeter

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply