internasional

nasional

cerita

» » Retrospektif Musik Rock Garasi dan Yeah yeah yeahs (oleh: Rhesa Arisy)

Tersebutlah pada tahun 2003 dimana saya masih mengenakan seragam putih abu-abu manja, saya diperkenalkan pada sebuah horizon baru bernama musik rock garasi. Subgenre musik ini seakan memberi harapan pada setiap insan yang tak bisa bernyanyi sebagus Bono atau menggarap melodi selihai Brian May. Musik Rock Garasi itu mentah dan primal seperti sepotong daging yang tak selesai dimasak, musik rock garasi itu polos namun tidak sopan dan bahkan cenderung binal. Inilah musik yang paling jujur dan para pelakonnya pun bisa dipastikan punya banyak kekurangan dalam sisi skill bermusik atau bahkan buta sama sekali membaca tangga nada. Actually That’s what makes Garage Rock so freakin cool


Di Samarinda dulu itu anak SMA cuma diberi dua pilihan, jadi populer berkat Kendaraan keren pemberian orang tua atau jadi anak outcast yang harus rebutan angkot setiap jam pulang sekolah. Saya dengan bangga menjadi yang kedua. Karena jarak tempuh rumah saya luar biasa jauh saya harus transit di sebuah mall di tengah kota. Ada sebuah record store di mall itu, saya rutin mengunjungi toko itu untuk sekedar melihat-lihat apa yang mereka tawarkan, karena diantara hits-hits massal domestik semacam Peterpan, Radja dan Dewa sering juga ditemukan album-album asing yang menggugah selera. Pada suatu hari beruntung saya melihat ada album dengan Cover sangat absurd, sangat abstrak, berjudul Fever To Tell, rupanya ini adalah album debut dari sebuah band Garage Rock sableng dari New York bernama Yeah Yeah Yeahs.
Fever To Tell adalah album Rock Garasi yang sangat antagonis, Yeah Yeah Yeahs cuma bertiga dan tanpa Bass, namun mereka dapat menciptakan kegaduhan setara monster-monster emosian di game Rampage. Drummer Brian Chase seperti kebanyakan drummer amatiran lainnya tidak memiliki teknik yang baik namun punya insting bermain yang rapat. Nick Zinner gitaris prodigy keturunan Indonesia sebenarnya punya visi dan skill yang jenial dalam bergitar namun lebih memilih memasukan melodi-melodi yang threatening daripada terlalu banyak menunjukan sisi pintarnya. Bintang utama album dan band ini tentu saja Karen O. Frontwoman yang sangat liar, sangat liar, luar biasa liar! Di sepanjang album ini Karen O, dara keturunan Korea Selatan ini tak henti-hentinya berteriak, melolong dan mendesah. Jika anda mendengarkan album ini keras-keras di kamar bisa jadi ibu anda akan segera menggedor-gedor pintu kamar karena menyangka ada seorang perempuan diperkosa di kamar anda. Well, ibu anda harus bangga jika anda bisa memperkosa perempuan seperti Karen O

Yeah Yeah Yeahs dan album Fever to Tell adalah sebuah fenomena sesaat yang bahkan tak sempat ditunggangi warga Samarinda. Musik Rock Garasi tak pernah benar-benar populer di kota ini dan hanya ada segelintir kepala yang nekat memainkannya (ingat event Samarinda Garage Party? That was the only moment!). era etelah Fever to tell adalah era dimana sesuatu yang sophisticated sepeti lebih dijargai. Karen O dan kawan-kawan pun bahkan seperti menghianati akar mereka ketika di dua album setelahnya membuat karya yang jauh berbeda dibanding Fever To Tell. Album Show Your Bones adalah momen dimana Karen O mengurangi kadar liarnya sampai 85% dan lebih banyak menunjukan sisi sensitif dari vokalnya. Sementara album It’s Blitz adalah momen dimana Karen O mengajak berjoget ria dan Zinner menunjukan antusiasme lebih kearah Dance Punk. Kedua album itu sangat-sangat bagus dan dipenuhi tembang-tembang berkualitas yang khas YYY, namun jelas tak dapat memenuhi kerinduan tentang betapa jujurnya Musik Rock Garasi. Long Live Garage Rock. may you live in danger forever.

About Dodoy Kudeter

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply