Kapitalisme tumbuh menjadi monopoli
dan kartel
Kekuatan produksi manusia tumbuh
pesat di bawah kapitalisme. Dengan kompetisi bebas, kapitalis terus menciptakan
teknologi-teknologi baru yang membuat manusia menjadi lebih produktif secara
keseluruhan. Namun, semakin tingginya kekuatan produksi manusia, semakin besar
pula kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Inilah kekonyolan dari
kapitalisme. Semakin kaya masyarakat secara keseluruhan, semakin besar pula
jurang pemisah antara rakyat pekerja dan kapitalis.
Persaingan bebas adalah motor
penggerak kapitalisme. Tiap-tiap kapitalis terus berkompetisi. Awalnya dalam
sebuah industri, ada ribuan pengusaha. Mereka terus berseteru untuk merebut
pasar. Yang kalah tersingkirkan dan dilahap oleh yang menang. Ini terus menerus
berlangsung hingga akhirnya hanya tersisa beberapa pengusaha besar. Dengan cara
ini, akhirnya kompetisi berubah menjadi monopoli. Terjadi konsentrasi pasar dan
kapital di tangan segelintir pengusaha. Pengusaha-pengusaha kecil tidak mampu
lagi bersaing dengan pengusaha-pengusaha besar, yang punya modal besar dan bisa
membangun pabrik-pabrik yang lebih besar. Dengan pabrik yang besar, jelas
mereka dapat memproduksi lebih murah dan membanjiri pasar. Mereka juga bisa
membanting harga sampai pengusaha kecil saingan mereka bangkrut, atau cukup
“melahap” saingan mereka dengan membelinya. Inilah yang disebut “ekonomi skala
besar”, dimana semakin besar sebuah perusahaan semakin mudah ia meraih laba
besar.
Kapitalisme mencapai puncak
kompetisi bebas mereka pada 1860-70 dan saat itu monopoli belum menjadi fitur
utama. Pada periode 1800an, kapitalisme didominasi perusahaan-perusahaan kecil
milik keluarga atau individu. Hanya pada 1900an akhirnya kapitalisme memasuki
fase dimana monopoli menjadi fitur dominan. Pada 1830, perusahaan terbesar di
dunia adalah pabrik besi-baja Cyfartha, dengan jumlah pekerja 5000 orang dan
aset total $2 juta. Hari ini Walmart memperkerjakan 2,2 juta pekerja, McDonald
1,7 juta, Volkswagen 500 ribu, Siemens 360 ribu. Para pelopor kapitalis tidak
akan pernah bermimpi kalau akan ada perusahaan dengan jumlah pekerja 1 juta.
Di dalam kapitalisme monopoli,
sebuah pasar dikuasai oleh beberapa perusahaan saja. Kita bisa ambil contoh
industri otomobil, yang dikuasai oleh segelintir pemain sejak 1920an. Di
Amerika, pusat kapitalisme dunia, industri otomobil dikuasai oleh tiga besar:
General Motors, Ford, dan Chrysler. Di Jepang, ini juga dikuasai oleh
segelintir saja: Toyoto, Honda, Nissan, Suzuki, Mazda, Daihatsu, Mitsubishi,
Subaru. Tetapi lebih penting adalah kenyataan bahwa kepemilikan perusahaan-perusahaan
otomobil ini sangatlah kompleks. Misalnya Nissan adalah juga milik Renault dari
Prancis. Mazda sahamnya dimiliki oleh Ford. Toyota juga mengontrol saham
Daihatsu dan Subaru. Ini hanya beberapa contoh saja yang kita ketahui. Jadi
selain ada monopoli, lewat kepemilikan saham semua perusahaan mobil ini saling
terkait satu sama lain. Sebuah penelitian tahun 2011 oleh Professor Vitali
menunjukkan sebuah jaringan kepemilikan korporasi-korporasi multinasional yang
kompleks, dimana “setiap perusahaan punya kepemilikan secara langsung dan/atau
tidak langsung perusahaan lainnya”. Dari 43 ribu korporasi multi-nasional, ada
147 korporasi yang mengontrol 40 persen ekonomi dunia dan tiap-tiap perusahaan
ini saling terikat kepemilikannya.
Namun jangan kita pikir kalau
monopoli ini hanya dilakukan kapitalis asing atau hanya dalam tingkatan
korporasi multinasional. Monopoli juga dilakukan oleh kapitalis nasional di
bumi Indonesia. Media di Indonesia (koran, majalah, TV, radio, penerbitan buku,
dll.) dimonopoli oleh 12 perusahaan: Grup MNC, Kompas Gramedia, Jawa Pos,
Mahaka Media, Elang Mahkota Teknologi, CT Corp, Visi Media Asia, MRA Media,
Femina, Tempo Inti Media, dan Beritasatu Media Holding. Pasar rokok Indonesia
dikuasai tiga pemain: Gudang Garam, Djarum dan Sampoerna; walau belum lama ini
Djarum dan Sampoerna sudah dijual ke Imperial Tobacco dan Phillip Morris, yang
memonopoli industri rokok dunia.
Tidak hanya itu,
perusahaan-perusahaan raksasa ini juga membentuk sebuah kartel, yakni sebuah
kerjasama antar monopoli yang mana dengan perjanjian-perjanjian terselubung
mereka mengatur harga, membagi pasar, menentukan jumlah produksi, dan lain
sebagainya. Pembentukan kartel oleh pemain-pemain besar dilakukan karena mereka
sadar bahwa mereka bisa meraup lebih banyak laba kalau mereka melakukan
kerjasama ini. Persaingan bebas -- walau masih terjadi pada tingkatan
tertentu -- bukan lagi fitur yang dominan. Kebanyakan persaingan justru terjadi
dalam ranah iklan, dimana tiap-tiap perusahaan mencoba meyakinkan kita kalau
sambal ABC lebih enak daripada sambal Indofood, kalau motor Honda lebih baik
daripada motor Yamaha. Pada kenyataannya mereka sudah membagi pasar dan
mengatur harga sedemikian rupa sehingga dapat meraup laba sebanyak mungkin,
atau superprofit. Yang dirugikan adalah konsumen.
Selain itu, produksi di bawah
kapitalisme juga semakin lama semakin bersifat sosial, yakni tidak ada satu
pabrik atau industri yang berdiri sendiri. Tiap industri adalah bagian dari
rantai produksi kapitalis yang kompleks dan saling tergantung. Kita ambil
contoh saja industri telpon genggam, yang melibatkan puluhan industri dan
sub-industri: plastik (untuk komponen-komponennya), tambang (telpon genggam
menggunakan banyak mineral langka), informasi teknologi (untuk programnya),
enerji (baterai), komunikasi (penggunaan satelit dan antena pemancar), dan lain
sebagainya. Tidak ada satupun industri yang berdiri sendiri. Kenyataan ini
mendorong kaum kapitalis untuk membentuk konglomerat-konglomerat, yakni sebuah
perusahaan raksasa yang bergerak di berbagai macam industri. Kali ini kita
tidak perlu melihat ke luar negeri, kita cukup melihat Salim Grup, dengan lebih
dari 400 perusahaan yang bergerak di hampir semua industri: Indofood (mie
instan), Bogasari (tepung), Indomaret (retail), Indocement (semen), Indosiar
(televisi), perkebunan sawit, perhutanan, real estate, perbankan, asuransi,
dll. Juga Bakrie Group, sebuah konglomerat multinasional yang bergelut di
perkebunan sawit dan karet, tambang batu bara, minyak, dan gas, telekomunikasi,
properti, tambang mineral, konstruksi, dll. Djarum Group, yang di atas sudah
kita sebut sebagai salah satu monopoli rokok, juga bergerak di perbankan (bank
BCA), elektronik, properti, agribisnis, telekomunikasi, dan multimedia.
Konglomerasi terus berusaha menguasai berbagai cabang industri dari hulu hingga
hilir guna mendapatkan dominasi absolut.
Dengan kartel dan konglomerat,
persaingan di dalam kapitalisme hari ini bukan lagi antara perusahaan yang
secara teknik lebih maju dengan perusahaan yang secara teknik lebih
terbelakang. Pada periode awal kapitalisme, seorang kapitalis yang menemukan
metode atau teknik untuk memproduksi sebuah barang dengan lebih murah, lebih
cepat, dan lebih berkualitas akan menang. Hari ini yang ada adalah perusahaan
raksasa menggilas perusahaan-perusahaan kecil. Ini benar dalam skala nasional,
dan juga benar dalam skala internasional. Perusahaan-perusahaan kecil dari
negero Dunia Ketiga tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan
besar dari negeri kapitalis besar. Mereka hanya jadi bulan-bulanan, jadi
roda-roda gir kecil di dalam mesin konglomerasi besar. Sukses sebuah perusahaan
tidak lagi ditentukan oleh kemampuannya untuk melakukan inovasi, tetapi oleh
besarnya kapital yang ia miliki. Misalnya, sebuah perusahaan yang punya modal
besar bisa menghancurkan saingannya yang lebih kecil dengan membanting harga --
bahkan bila ia merugi -- sampai saingannya bangkrut. Dengan modalnya yang
besar, walau menjual rugi ia bisa bertahan lebih lama daripada perusahaan yang
lebih kecil. Sebuah perusahaan konglomerat, yang juga punya kendali atas
industri-industri suplai lain, juga dapat mensabotase saingannya dengan
memotong suplai tertentu.
Inilah tahapan kapitalisme hari ini,
sebuah tahapan monopoli dan konglomerasi, dimana konsentrasi kapital dan
produksi semakin hari semakin terpusat. Persaingan bebas sudah bukan lagi fitur
utama kapitalisme. Dengan fakta ini, maka karakter progresif kapitalisme --
yakni persaingan bebas yang merupakan motor perkembangan tenaga produksi --
telah lama hilang. Bila perkembangan umat manusia ditentukan oleh kemampuan
manusia untuk terus mengembangkan tenaga produksi, maka kapitalisme sungguh
telah menjadi beban bagi perkembangan umat manusia.
Mungkin akan ada orang-orang yang
keberatan dengan pernyataan ini. Mereka mengatakan: “Lihatlah perkembangan
teknologi 50 tahun terakhir ini, apa ini bukan bukti dari karakter progresif
kapitalisme?” Akan tetapi pernyataan bahwa kapitalisme telah menjadi beban bagi
perkembangan umat manusia bukan berarti bahwa tidak ada pertumbuhan atau
perkembangan sama sekali. Pernyataan tersebut mengatakan bahwa sistem ekonomi
kapitalisme tidak mampu menggunakan secara penuh potensi produksi
manusia. Potensi sumber daya manusia dan alam yang begitu besar tidak mampu
digunakan untuk menyelesaikan kemiskinan dan kemelaratan mayoritas umat
manusia. Setengah dari populasi Indonesia hidup di bawah $2 per hari, atau Rp
18 ribu per hari. Di seluruh dunia, ada 2,6 milyar manusia yang bernasib sama.
Setiap 8 detik, seorang anak meninggal karena minum air tidak bersih. 3,6 juta
orang mati setiap tahunnya karena tidak mendapatkan akses ke air bersih dan
sanitasi. Kita bisa menulis satu buku penuh berisi statistik kemiskinan dan
kemelaratan mayoritas manusia. Kapitalisme, kendati katanya telah menemukan
berbagai teknologi canggih, tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan.
Justru hari ini ia telah memasuki sebuah krisis besar dimana standar hidup
rakyat pekerja bahkan di negara-negara kapitalis maju semakin memburuk, apalagi
di negara-negara Dunia Ketiga.
No comments: