Mempelajari sejarah
merupakan syarat yang harus ada.
Tapi dunia ini luas,
dan sejarahnya pun terlalu panjang,
yang karenanya,
rentan waktu pembelajarannya pun akan menjadi panjang pula.
Namun aku tetap
berkeyakinan, jika perdebatan muncul kepermukaan,
ini akan berbanding
lurus dengan perkembangan ilmu pengetahuan
yang social oriented.
Kilas pendek
munculnya kelas
Dalam
sejarah umat manusia terdapat suatu masa dimana belum terdapat pembagian
masyarakat ke dalam kelas-kelas, pengetahuan manusianya masih primitive
(relative sedikit), dan kegiatan produksinya ditujukan hanya untuk dapat
bertahan hidup. Alat-alat produksi menjadi milik sosial. Posisi dan hubungan
mereka atas alat-alat produksi adalah sama. Semua orang bekerja dan hasil
produksinya pun (dimana saat itu tidak ada kelebihan produksi yang dihasilkan)
dibagi secara adil. Sehingga tidak ada basis munculnya watak berkuasa atau
menguasai. Oleh karenanya tidak ada pembagian kelas pada masa ini. Alhasil
untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup komunal, mengharuskan setiap anggota
bekerja sama dalam mengolah alam. Terjadilah pembagian kerja yang
didasarkan pada keterampilan yang dimiliki. Ada yang mempunyai keterampilan
dalam mengolah biji-bijian menjadi tanaman, ada yang memiliki keterampilan
berburu, ada yang membuat perkakas,dsb. Ini merupakan (sebagian kecil) kerangka
kontruksi sosial terbentuknya kelas.
Hipotalamus
dan Hormon Testosteron
Kontes Miss Universe mengundang begitu
banyak pemirsa baik itu pria maupun wanita, tetapi sebuah jajak pendapat
televisi memperlihatkan adanya penonton pria yang lebih banyak dibandingkan
dengan penonton wanita. Sebaliknya, kontes Mr. Universe hampir tidak menarik perhatian siapapun juga dan
jarang disiarkan oleh televisi. Penonton terbanyaknya adalah kaum gay dan
komunitas homo. Ini karena baik pria maupun wanita tidak tertarik pada bentuk
tubuh pria karena daya tarik mereka biasanya pada keterampilan mereka bukan
pada body mereka.
Menurut
ilmu kedokteran, manusia dinilai mempunyai syaraf untuk mengontrol seks di
otaknya, nama ilmiahya adalah Hipotalamus. Selain mengendalikan nafsu birahi,
Hipotalamus juga mengendalikan perasaan, detak jantung dan tekanan darah.
Inilah alasannya mengapa ketika kita sedang jatuh cinta, jantung kita berdetak
kencang, perasaan kita begitu gembira, dan badan kita menjadi lebih sehat.
Namun, Hipotalamus laki-laki lebih besar dari perempuan. Karena itu nafsu sex
laki-laki lebih besar dari perempuan.
Hipotalamus
yang lebih besar adalah fakor sekunder yang menyebabkan laki-laki tidak mampu
menahan hasratnya ketika melihat perempuan berpakaian minim dihadapannya.
Faktor primernya adalah Hormon Testosteron. Hormon laki-laki ini sumber pemicu
Hipotalamus. Ketika pria terangsang, maka dia akan meningkatkan hormon
testosteronnya yang kemudian merangsang Hipotalamus. Reaksi kimia ini
berlangsung begitu cepat sehingga laki-laki tidak menyadarinya.
Tujuan Relasi ( cinta atau sex )
Semua pasangan pasti berharap hubungan relasinya selalu bahagia, penuh dengan cinta dan kepuasan seks. Tetapi, jika suatu hari hubungan seks tidak lagi indah dan tak mampu dilakukan, apakah sebuah bangunan relasi harus bubar?
Jaman sekarang, banyak orang berelasi justru ketika sedang mabuk birahi. Tak heran jika seks menjadi kunci yang mempersatukan. Bagimana dengan pernikahan penuh cinta, tetapi tanpa seks? Bisakah kita melakukan hubungan seks tanpa cinta? Kenyataan ini tentu saja banyak terjadi. Contohnya, seorang PSK (pekerja seks komersial). Dia tidak harus jatuh cinta atau tidak perlu merasakan cinta untuk bisa melakukan hubungan seks dengan pemakai jasanya. Kadang, banyak terjadi dalam pergaulan bebas, hubungan seks dilakukan hanya sebagai aktivitas hubungan sekejap dari seorang yang kita kenal dalam semalam.
Bagaimana
dengan pasangan nikah? Apakah hubungan seks dilakukan atas dasar cinta?
(jawaban jujur ada pada diri kita masing-masing). Suatu pernikahan bisa
dilandasi oleh motivasi saling mencintai. Bisa juga sebuah pernikahan terjadi
karena alasan lain. Misalnya banyak pasangan nikah mengaku hubungan seks
dilakukan hanya sekedar rutinitas dan merasa sebagai suatu kewajiban orang
berumah tangga. Tak jarang, mereka terpaksa “bergaul” karena tidak tahu lagi
apa yang akan dilakukan ketika bersama. Ketertarikan sudah banyak beralih, baik
pada kesibukan pekerjaan dan perhatian pada anak. Rasa “gemes” akan seksual pun
sudah beralih pada kawan sekantor (misalnya), kawan seperjalanan, hingga kawan
dunia maya.
Seks
karena cinta dan cinta karena seks adalah dua hal yang sangat berbeda.
Hubungan seks dapat dilakukan karena adanya cinta. Hal ini melalui proses yang
lama. Kita mencintai terlebih dahulu baru melakukan hubungan seks sebagai
ekspresi dari cinta berdua. Tetapi cinta karena seks lebih mudah dijelaskan
dengan contoh sebuah hubungan yang terjadi antara pelanggan pemakai jasa dengan
pekerja seks komersial. Hubungan mereka berawal dari hubungan seks tanpa cinta.
Bisa saja karena terjadi kecocokan dalam berhubungan seks maka timbul cinta.
Bukan hanya PSK dan pelanggannya yang mendahulukan hubungan seks sebelum tumbuhnya cinta. Di masyarakat saat ini, terutama di kalangan anak muda. Banyak yang berbondong-bondong bermain seks dengan seru. Ketika bosan, eeh, pasangannya pun berganti. Seks itu untuk pergaulan, mungkin itu jawabannya. Dengan seks, pergaulan menjadi lebih luas. Jadi, hubungan seks hanya sekadar gesekan kulit aktivitas badaniah. Sedangkan cinta, hups, simpan saja pada tempatnya. Namun ketika rasa cinta pasangan sudah luntur, apakah kehadiran orang lain diperlukan untuk melakukan keromantisan cinta dalam bentuk hubungan seks?
Apa yang harus dilakukan
Konstruksi sosial menjadi salah satu alat penting untuk melakukan pengkajian terhadap konsep-konsep gender dan seksualitas. Konsep-konsep tersebut dapat muncul melalui wacana, nilai, ide, teks dan praktik yang digunakan untuk melanggengkan konsep tersebut. Konsep dan kategori yang digunakan tentunya memiliki makna dan konotasi yang beragam dari waktu ke waktu dan dari satu budaya ke budaya lainnya. Konsep tersebut tentunya kemudian menjadi tidak bermakna objektif dan universal dalam dirinya, tapi menjadi subyektif karena terkait dengan pengalaman atau fungsinya dalam kehidupan manusia. Sehingga ketepatan dari suatu konsep, kategori, dan metodenya pun lebih tergantung pada keefektifannya dalam kehidupan(realitas) manusia.
Hal ini dapat terlihat dalam sebuah contoh dialog dibawah ini:
“Wah,
keramas nih berdua pagi-pagi”
Kalimat di atas mungkin tidak akan bermakna apa-apa ketika tidak ada realitas sosial yang menyertainya. Kalimat tersebut hanya menggambarkan bahwa ada dua orang yang mencuci rambutnya dipagi hari. Namun ketika kemudian kalimat tersebut ditambahkan realitas sosial, seperti di bawah ini:
“Di suatu pelatihan, Nina melihat Vina yang seorang Lesbian dan Kania yang diketahui mempunyai pasangan perempuan keluar dari kamar hampir bersamaan dengan rambut masing-masing basah karena cuci rambut. Dan kemudian Nina menyapa mereka “Wah, keramas nih berdua pagi-pagi”
Maka
makna yang ditimbulkan dari fakta di atas menjadi berubah dan dapat dilihat
dari beberapa sudut pandang yang akan memunculkan realitas yang berbeda pula.
Pertanyaannya adalah mengapa penafsiran terhadap kalimat atau realitas dapat
berbeda?
Menurut Interaksionisme simbolik, “perbedaan manusia dari hewan adalah manusia menggunakan simbol-simbol yang diberi makna dalam interaksinya dengan sesamanya”. Persepsi dan tindakan seseorang dipengaruhi oleh realita sosial di mana dia berada di dalamnya. Self (diri) merujuk pada bagaimana seseorang melihat dirinya (siapa dirinya sesungguhnya, apa identitasnya, citra dirinya, dan bagaimana perkembangan diri melalui fase-fase tertentu). Misalnya, anak kecil akan meniru peran yang dimainkan atau memakai atribut-atribut yang banyak digunakan oleh orang-orang tua yang ada di lingkungannya. Lambat laun peniruan ini akan berubah menjadi pemahaman melalui internalisasi yang terus-menerus. Selama proses interaksi ini, individu belajar tentang mana tindakan yang dianggap tepat dan mana yang tidak. (Plummer, K. (2002), “Symbolic Interactionism and Sexual conduct,” in C. Williams and A. Stein (eds.), Sexuality and Gender, Oxford: Blackwell Publishers, 25).
Berdasarkan teori-teori sosial yang ada, seperti teori interaksionisme simbolik, konstruksi sosial, dsb. Ketika berbicara mengenai seksualitas, pendapat atau tafsiran individu terhadap realitas yang ada dapat terpapar oleh nilai-nilai dan wacana yang ada di masyarakat yang terkadang berupa wacana konstruksi yang di esensialkan. Tingkat paparan ini berbeda-beda tergantung waktu, ruang, situasi/kondisi sosial, dan intensitas paparan itu bersentuhan dengan individu tersebut.
Jadi
misalnya dalam pernyataan di atas, setiap individu yang melihat atau
mendengar atau membaca pernyataan itu dapat dipastikan akan mempunyai pendapat
atau emik yang berbeda. Contoh emik dariku yang dapat dianggap mewakili
individu-individu menangkap pernyataan diatas, antara lain:
- Nina mengeluarkan pernyataan seperti itu karena dia seorang yang terhegemoni bahwa sehabis melakukan hubungan seksual maka harus cuci rambut atau mandi keramas
- Nina mengeluarkan pernyataan seperti itu karena mempunyai anggapan bahwa lesbian selalu mementingkan hasrat seksual dan hubungan seksual
- Nina mengeluarkan pernyataan seperti itu karena mempunyai anggapan bahwa lesbian akan melakukan hubungan seksual dengan semua perempuan.
- Vina dan Kania, bisa sangat tersinggung karena dianggap sebagai lesbian yang berperilaku seksual dengan siapapun dan dimanapun
- Vina dan Kania bisa saja tidak mempunyai merasa apapun karena sudah paham tentang emik Nina dan hanya menegur Nina saja dengan santai.
Jadi,
begitu banyak emik yang muncul hanya dari satu realitas yang berdasarkan
interaksionis simbol.
Untuk
kenyataan di atas, perlu mengetahui bagaimana emik dari Nina, Vina dan Kania
untuk melihat seperti apa mereka ini memandang gender dan seksualitas. Yang
menurut interaksionisme simbolik tentang gender dan seksualitas, “setiap
individu mempelajari ini semua dan kemudian membentuk jati dirinya (gender dan
seksualitas) sesuai dengan apa yang sudah ditentukan oleh komunitasnya.”
Berbagai kesimpulan di atas mengantarkan kita pada posisi tertentu bahwa gender
dan seksualitas merupakan konskruksi sosial.
Ini
kemudian kenapa diperlukan cara pandang yang holistic( tidak satu persatu) dan
komprehensif terhadap suatu realitas dan selalu dikaitkan dengan konteks
terjadinya realitas, dalam hal ini tempat dan waktu. Perspetif seperti ini
berguna agar apa yang kita upayakan terhadap realitas tersebut dapat mengena
atau paling tidak mendekati dengan apa yang diharapkan. Dari situ kita dapat
mengambil langkah penguatan wacana dan pemahaman terhadap isu gender dan
seksualitas. Antara lain perlunya sosialisasi lebih jauh pada Nina agar
memahami bahwa isu gender dan seksualitas itu termasuk keragaman identitas
gender dan orientasi seksual, tidak hanya binary
laki-laki dan perempuan. Seperti kata Gayle Rubin tentang seksualitas:
“Masyarakat menciptakan hirarki seksual yang dilabeli penilaian baik dan buruk, sah dan tidak sah. Masyarakat mengklasifikasi dorongan, tindakan, dan identitas tertentu sebagai normal, terhormat, baik, sehat, dan bermoral; sedang bentuk yang lain diklasifikasi sebagai tidak sehat, abnormal, berdosa, dan immoral. Masyarakat akan mendukung dan mengistimewakan bentuk seksualitas yang baik dan normal dan akan menghukum bentuk seksualitas yang dianggap jelek abnormal.”
Sehingga dikemudian hari ada penghormatan dan penghargaan terhadap orang yang mempunyai identitas gender maupun orientasi seksual yang berbeda dengan dirinya. Dan mulai menghilangkan stigma atau stereotype negatif terhadap lesbian.
Dalam memberikan pemahaman tersebut termasuk pula bahwa perilaku seksual tidak berkaitan dengan identitas gender dan orientasi seksual. Mengacu pada anggapan Nina bahwa orang yang mempunyai orientasi seksual homoseksual dapat melakukan hubungan seksual dengan siapapun dan dimanapun, maka perilaku seksual dapat pula dilakukan oleh orang yang berorientasi seksual heteroseksual.
Jadi
guna memahami gender dan seksualitas manusia secara utuh dan komprehensif dari
berbagai aspek, diperlukan kesensitivitasan kita sebagai individu terhadap
orang lain. Sensitivitas ini dalam artian agar kita tidak melakukan
diskriminasi secara langsung maupun tidak langsung dan kekerasan verbal maupun
non verbal yang berdampak pada pembatasan hak, stigma, dan stereotype negatif.
Selain itu, diperlukan pula pendekatan yang holistic (menyeluruh) dan pikiran
yang terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial
budaya.
No comments: