Ekspor kapital
Ketika persaingan bebas masih
merupakan fitur dominan kapitalisme, ekspor komoditas adalah fitur utama
kapitalisme. Marx menulis: “Kebutuhan untuk terus memperluas pasar untuk
produk-produknya mendorong kaum borjuasi menyebar ke seluruh permukaan bumi. Ia
harus bersarang dimana-mana, bertempat di mana-mana, mengadakan
hubungan-hubungan di mana-mana.”
Periode awal kapitalisme adalah
kapitalisme merkantilisme (komersial), yang mengakumulasi kapital lewat
perdagangan. Perdagangan antar negara-negara Eropa menghasilkan profit yang
besar bagi para kapitalis. Tetapi hubungan perdagangan ini tidak hanya antar
negara-negara Eropa, tetapi juga meluas ke koloni-koloni. VOC adalah perusahaan
saham-gabungan kapitalis pertama di dunia yang tujuannya adalah pergi ke Hindia
Timur untuk melakukan perdagangan. Dengan dominasi militer, VOC membeli dengan
harga sangat murah -- atau yang lebih tepatnya disebut sebagai perampokan --
hasil-hasil perkebunan dan pertanian kaun tani Jawa. Perusahaan kapitalis VOC
menggunakan sistem produksi feodal di Jawa, dimana kaum hamba adalah budak para
raja Jawa, untuk meraup nilai-lebih. Tidak hanya VOC dari Belanda, tetapi
hampir semua negara penjajah besar saat itu melakukan hal yang sama: Spanyol,
Inggris, Portugal, Amerika Serikat, Prancis. Kapitalisme awal meraup
nilai-lebih yang besar dengan menggunakan mode produksi feodal dan perbudakan
yang ada di negara-negara koloni. Bahkan AS mengimpor budak negro dan melakukan
perbudakan di tanahnya sendiri sejak abad ke-16, dan hanya dihapus pada 1860an.
Nilai-lebih atau kapital yang
diperoleh lewat kebijakan merkantilisme menjadi dasar bagi perkembangan
kapitalisme selanjutnya, yakni kapitalisme industri yang berdasarkan manufaktur
di pabrik-pabrik besar. Revolusi Industri dari 1750-1850 menempatkan kaum
kapitalis industrialis sebagai pemain utama dalam kapitalisme. Revolusi
industri ini memberikan dorongan besar pada perkembangan tenaga produksi, yang
pada gilirannya berarti semakin cepat dan semakin besar nilai-lebih atau
kapital yang diraup oleh kapitalis. Seperti yang telah kita jabarkan di atas,
terjadilah proses konsentrasi produksi dan kapital dimana tahapan selanjutnya
yang dimasuki kapitalisme adalah tahapan monopoli dan kapital finans.
Kapital yang diakumulasi oleh
monopoli-monopoli raksasa tidak bisa lagi membawa keuntungan besar bila
diinvestasikan di negaranya masing-masing, karena sudah terjadi over-saturasi
kapital atau banjir kapital. Untuk bisa terus meraup profit, maka dilakukanlah
ekspor kapital ke seluruh penjuru dunia, tidak hanya dari negara-negara
kapitalis maju ke negara-negara terbelakang tetapi juga antar negara-negara
kapitalis maju. Ekspor kapital ini dilakukan dengan banyak cara: investasi,
membeli saham, pemberian kredit, surat obligasi, dan berbagai operasi finansial
lainnya.
Ekspor kapital menjadi fitur dominan
di tahapan tertinggi kapitalisme. Kapital diekspor ke negara-negara yang miskin
kapital -- atau sektor industri di sebuah negara yang miskin kapital -- untuk
membangun infrastruktur (rel, jalan raya, pelabuhan, sekolah), pabrik, tambang,
perkebunan, dll. dengan tujuan meningkatkan nilai-lebih yang dapat diraup.
Ekspor kapital ke negara-negara terbelakang biasanya memberikan profit yang
lebih tinggi karena mereka miskin kapital, harga tanah murah, upah buruh murah,
sumber daya alam murah. Inilah bagaimana kapitalisme dicangkokkan pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20 di negara-negara koloni. Tidak seperti kaum
borjuasi Eropa yang bangkit sendiri dan menumbangkan sistem sosial dan ekonomi
feodal, kaum borjuasi negara-negara koloni lahir dari kapital asing. Mereka
lahir terlambat dan secara artifisial, dan menjadi tergantung pada modal asing.
Ini menentukan karakter mereka dan dengan itu karakter revolusi di
negara-negara koloni, bahkan sampai hari ini.
Dengan menyebarkan kapital,
kapitalis menyebar kontradiksi kapitalisme ke setiap sudut dunia dan mengikat
seluruh dunia ke dalam sistem kapitalisme, dimana hari ini krisis di satu
negara dengan mudah menyebar ke seluruh dunia. Inilah watak krisis finansial
2008 baru-baru ini, yang masih terus berlanjut dengan “contagion” yang terus
menyebar. Bayangkan, krisis di Yunani, sebuah negara kecil yang jumlah
penduduknya hanya 11 juta, kurang lebih sebesar Jakarta, dapat menyeret seluruh
perekonomian dunia. Selama 2 tahun belakangan ini, perhatian semua negara
terpaku pada Yunani. Mengapa? Karena kapital negara-negara besar seperti
Jerman, Inggris, Prancis, dan Amerika ada di Yunani. Jatuhnya Yunani akan
berimbas pada negara-negara pengekspor kapital ini dan lalu tentunya menyebar ke
seluruh dunia. Yunani sekarang sudah ada di ruang gawat darurat, dan di ruang
tunggu kita temui Italia dan Spanyol, dua negara yang jauh lebih besar daripada
Yunani.
Ekspor kapital juga harus dilihat
dalam koneksinya dengan kapitalisme monopoli yang sudah berkembang, yang tujuan
utamanya adalah dominasi absolut. Dengan ekspor kapital yang berupa pinjaman
kredit, negara penerima kredit biasanya harus menyetujui sejumlah syarat yang
menguntungkan pemberi kredit, seperti akses ke sumber daya alam, konsesi-konsesi
pembangunan jalur transportasi dan komunikasi, penghapusan tarif bea masuk, dan
berbagai kebijakan lainnya yang tujuannya adalah memperkuat dominasi monopoli.
Ekspor kapital juga menciptakan pasar bagi negara pengekspor kapital, karena
negara penerima kapital akan menggunakan kapital ini untuk membeli jasa dan
barang dari negara pengekspor kapital.
Pembagi-bagian dunia oleh monopoli
dan negara-negara kapitalis maju
Monopoli, kartel, konglomerasi, dan
kapital finans pertama-tama membagi-bagi pasar nasional di antara mereka.
Tetapi seperti yang telah kita jelaskan, kapitalisme harus terus menyeruak,
“bersarang dimana-mana”. Setelah selesai membagi-bagi pasar nasional,
kapitalis-kapitalis raksasa dari berbagai negara besar lalu membagi-bagi pasar
dunia di antara mereka. Pembagian ini, pada analisa terakhir, tergantung dari
kekuatan kapital dari perusahaan-perusahaan monopoli tersebut.
Tiap-tiap negara, demi kepentingan
kapitalis finans nasional mereka sendiri, bersaing memperebutkan koloni-koloni,
yang merupakan pasar untuk produk mereka, daerah tujuan ekspor kapital mereka,
dan sumber bahan mentah. Ekspansi koloni dan perseteruan ini mencapai puncaknya
pada Perang Dunia I (1914-18) yang berlanjut ke Perang Dunia II (1938-1945).
Perang-perang ini bukanlah perang untuk demokrasi seperti yang tertulis di
buku-buku sejarah, tetapi perang imperialis untuk membagi-bagi dunia di antara
kekuatan-kekuatan kapitalis besar.
Prajurit Perang Dunia II berdoa memohon keselamatan Pada masa-masa damai, negara-negara kapitalis besar dengan
monopoli-monopoli mereka mencapai persetujuan di antara mereka bagaimana
membagi-bagi pasar dunia. Tetapi persetujuan ini hanyalah genjatan senjata
sementara. Dengan perubahan relasi kekuatan, terjadi pembagian ulang pasar
dunia di antara negara-negara besar ini. Pembagian ulang ini bisa terjadi
dengan lambat atau bisa terjadi dengan cepat, secara tertutup atau secara
terbuka, dengan proses yang relatif “damai” atau dengan proses yang penuh
kekerasan dan darah. Dari lembar-lembar sejarah kita bisa saksikan
pembagian-pembagian ulang ini. Sampai akhir abad ke-19, kapitalis Inggris dan
Prancis mendominasi pasar dunia. Namun, pada permulaan abad ke-20, muncullah
pemain-pemain baru, yakni AS, Jerman, dan Jepang, yang mulai menggeser
kedudukan Inggris. Pemain-pemain baru ini menginginkan bagian pasar mereka, dan
berkobarlah dua Perang Dunia. Perang Dunia ini mengubah tatanan ekonomi dan
politik dunia, atau lebih tepatnya mengubah pembagian pasar dunia, dimana AS
akhirnya keluar sebagai pemenang utama. Di pihak lain Uni Soviet juga keluar
sebagai pemenang Perang Dunia Kedua. Akan tetapi karena Uni Soviet serta
negara-negara satelitnya bukan bagian dari kapitalisme dunia, kita tidak akan
berbicara mengenainya. Namun harus dicatat, ini bukan berarti perkembangan di
Uni Soviet dan negara-negara “komunis” lainnya terpisah atau terisolasi dari
perkembangan kapitalisme dunia. Justru pada analisa terakhir, nasib mereka
tergantung pada perkembangan kapitalisme dunia dan ini sudah dibuktikan oleh
sejarah. Karya ini bukan tempatnya untuk berbicara mengenai Uni Soviet. Ini
akan dibicarakan di kesempatan yang lain.
Setelah lebih dari setengah abad
dominasi absolut AS, hari ini kita lihat China mulai muncul sebagai kekuatan
kapitalis baru. Ia baru saja menggeser Jepang sebagai ekonomi terbesar kedua
dunia, dan dalam 10 tahun diramalkan akan menjadi ekonomi terbesar nomor satu.
China bukan lagi hanya daerah tujuan investasi dan sumber buruh murah, tetapi
telah melakukan ekspor kapital besar-besaran ke Afrika, Timur Tengah, Asia
Tenggara, Australia, dan bahkan Eropa dan AS. Melihat ini, kapitalis Barat dan
politisi-politisi mereka mengeluh mengenai China yang katanya bermain kotor
dalam permainan perdagangan, dengan subsidi besar untuk perusahaan-perusahaan
China, kebijakan dumping (banting harga untuk menghancurkan saingannya),
kebijakan-kebijakan yang lebih menguntungkan perusahaan nasional ketimbang
asing, secara artifisial mengontrol nilai mata uang Yuan, dan lain sebagainya.
Kapitalis-kapitalis Barat ini lupa kalau mereka menjadi monopoli-monopoli dunia
raksasa hari ini karena dulu pemerintahan mereka juga mengimplementasikan
kebijakan-kebijakan yang sama. Kemunafikan mereka hanya menutupi ketidakmampuan
mereka untuk mempertahankan posisi superior mereka di dunia. Pembagian ulang
pasar dunia sedang terjadi di depan mata kita.
Selain pasar dunia untuk ekspor
kapital dan produk, yang terus diincar oleh para monopoli adalah kontrol
terhadap bahan-bahan mentah: minyak, gas, tambang, dll. Untuk menjaga dominasi
absolut terhadap seluruh industri, dari hulu hingga hilir, maka monopoli harus
menguasai suplai-suplai bahan mentah. Dengan menguasai suplai bahan mentah,
sebuah monopoli dapat mengontrol distribusi dan harga bahan mentah tersebut dan
mendominasi industri-industri hilir yang membutuhkannya. China, misalnya,
menguasai mayoritas tambang mineral-mineral langka yang dibutuhkan untuk
industri panel surya. 95% suplai mineral-mineral langka datang dari China.
Untuk mengalahkan kompetitor-kompetitor industri panel surya dari AS dan Eropa,
China membatasi ekspor mineral-mineral langka tersebut. Pada saat yang sama,
China juga melakukan dumping panel-panel surya di bawah harga pasar
untuk menghancurkan kompetitornya. Dalam waktu 10 tahun, China yang sebelumnya
sama sekali tidak memproduksi panel surya hari ini memproduksi 50% panel surya
di dunia. Jadi, kebijakan untuk mendominasi, secara ekonomi dan politik,
daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya datang dari kenyataan bahwa
kapitalisme hari ini telah memasuki epos monopoli.
Monopoli tidak hanya tertarik pada
wilayah-wilayah yang sudah diketahui ada sumber daya alamnya, tetapi juga pada
wilayah-wilayah yang berpotensi punya sumber daya alam. Karena perkembangan
teknologi yang begitu pesat, sepetak tanah yang hari ini mungkin tampak tidak
punya nilai esok hari dapat memberi profit milyaran rupiah. Inilah mengapa
setiap sudut dunia diperebutkan dengan begitu gigih.
Konsentrasi kapital dan produksi
yang akhirnya menyebabkan banjir kapital di negara asal juga mengharuskan
monopoli-monopoli untuk melakukan ekspor kapital ke negara-negara miskin
kapital, dan dengannya mendominasi negara-negara tersebut. Dunia dibagi-bagi
untuk tujuan ekspor kapital. Seperti yang dijelaskan Lenin:
“Kaum kapitalis membagi-bagi dunia,
bukan karena nafsu jahat mereka, tetapi karena konsentrasi [kapital dan
produksi] telah mencapai tingkatan yang sedemikian rupa sehingga memaksa mereka
untuk mengadopsi metode ini guna mendapatkan laba. Dan mereka membagi-baginya
‘sesuai dengan besarnya kapital’, ‘sesuai dengan besarnya kekuatan’, karena di
bawah produksi komoditas dan kapitalisme tidak ada cara lain untuk membagi-bagi
dunia.” (Lenin, Imperialisme: Tahapan Tertinggi Kapitalisme)
Dan lagi:
“Kepentingan-kepentingan untuk
mengekspor kapital juga memberikan sebuah dorongan untuk menaklukkan
koloni-koloni, karena di pasar negeri koloni metode-metode monopoli lebih mudah
digunakan (dan kadang-kadang inilah satu-satunya metode yang bisa digunakan)
untuk mengeliminasi kompetisi, menjaga suplai, mengamankan ‘koneksi-koneksi’
yang dibutuhkan, dsbnya. Superstruktur non-ekonomik yang tumbuh di atas basis
kapital finans, politiknya dan ideologinya, mendorong keinginan untuk
penaklukan koloni. ‘Finans kapital tidak menginginkan kebebasan, ia
menginginkan dominasi,” seperti yang dikatakan dengan sangat tepat oleh
Hilferding.” (Lenin, Imperialisme: Tahapan Tertinggi Kapitalisme)
No comments: