Imperialisme
Kita akhirnya tiba pada kesimpulan
mengenai apa itu imperialisme. Imperialisme adalah tahapan tertentu dalam
perkembangan kapitalisme, yakni kapitalisme yang telah “membusuk” dimana
persaingan bebas telah digantikan dengan monopoli. Persaingan bebas, yang
merupakan karakter utama kapitalisme, terus mendorong konsentrasi kapital dan
produksi, menciptakan industri-industri besar yang terus melumat
industri-industri kecil. Proses konsentrasi kapital dan produksi ini akhirnya
mendorong perubahan kuantitas menjadi perubahan kualitas, yakni terciptanya
monopoli-monopoli, kartel, konglomerasi, yang bersatu dengan kapital bank-bank
-- yang sendirinya juga mengalami konsentrasi kapital -- dan menjadikan kapital
finans sebagai tuan raja dari semua kapital.
Monopoli yang lahir dari kompetisi
bebas tidak menghilangkan sepenuhnya kompetisi bebas, tetapi eksis di atasnya
dan bersamanya. Yang kita saksikan hari ini bukan lagi persaingan bebas seperti
periode awal kapitalisme, antar pengusaha-pengusaha yang terus bersaing untuk
bagaimana memproduksi barang dengan lebih efisien lewat perkembangan teknik.
Yang ada hari ini adalah antagonisme yang tajam dan brutal antara
monopoli-monopoli raksasa, yang dilakukan dengan pembenturan kapital-kapital,
dengan saling mencaplok, dengan kebijakan dominasi, penjajahan, dan sampai
ekspresi terakhirnya, peperangan yang menyeret seluruh umat manusia ke
barbarisme yang paling berdarah-darah. Inilah imperialisme.
Kalau ingin diringkas, ada 4
karakter utama imperialisme adalah:
1) Monopoli, dengan kartel dan
konglomerasi
2) Kapital finans, yakni dimana
bank-bank dan institusi-institusi finansial adalah tuan dari semua kapitalis
3) Ekspor kapital menjadi dominan
4) Pembagian dunia di antara
monopoli-monopoli raksasa dan negara-negara kapitalis maju
Sampai sini, kita telah
mendefinisikan kapitalisme dengan cukup dalam dan detil, dengan
mempertimbangkan basis ekonominya. Dengan melakukan ini, kita telah menghindari
penggunaan kata imperialisme secara serampangan oleh banyak sejarahwan untuk
mendefinisikan kebijakan penaklukan secara umum. Kebijakan ekspansionis dan
penaklukan Aleksander Agung dari Makedonia, Julius Cesar dari Roma, Napoleon
Bonaparte dari Prancis, dan George Bush dari Amerika dengan sekali sapu bersih
oleh para sejarahwan cetek ini didefinisikan sebagai imperialisme. Terdengar
sangat sederhana sekali pemahaman ini. Selama ada yang menaklukkan dan ada yang
ditaklukkan maka ini adalah imperialisme. Namun teori “imperialisme” ini keliru
karena ia menjelaskan semuanya dan pada saat yang sama tidak menjelaskan
apapun. Imperialisme adalah kebijakan penaklukan. Tetapi tidak semua kebijakan
penaklukan adalah imperialisme. Secara fundamental, basis ekonomi dari
kebijakan penaklukan di tahapan tertinggi kapitalisme hari ini berbeda dengan
kebijakan penaklukan di masyarakat feodal, perbudakan, atau bahkan kebijakan
penaklukan pada periode awal kapitalisme (misalnya penjajahan Indonesia di
bawah VOC pada abad ke-17 dan 18). Basis ekonominya sudah kita jabarkan di
atas, yakni dominasi monopoli, kapital finans, dan ekspor kapital.
Mungkin akan ada yang mengeluh bahwa
ini hanyalah masalah semantik saja, masalah definisi remeh temeh. Tetapi tidak
demikian. Ini berkaitan dengan bagaimana kita dapat mengobarkan perjuangan
anti-imperialisme yang sejati dan revolusioner.
Dari kapitalisme imperialis menuju
sosiaslisme
Fakta bahwa kapitalisme telah
memasuki tahap imperialisme berarti bahwa situasi objektif untuk sosialisme
sudah menjadi semakin matang. Secara objektif, tugas-tugas menuju sosialisme
menjadi lebih sederhana. Semakin matang kapitalisme, maka semakin dekat gerbang
sosialisme.
Konsentrasi kapital dan produksi telah menciptakan perusahaan-perusahaan monopoli skala raksasa -- yang tergabungkan dalam konglomerasi-konglomerasi global -- dengan produktivitasnya yang sangat tinggi. Di bawah kapitalisme, produktivitas yang begitu tinggi justru melempar ratusan juta rakyat pekerja ke jurang pengangguran, dan melempar lebih banyak lagi ketika terjadi krisis overproduksi. Inilah kekonyolan sistem kapitalisme, bahwa semakin banyak barang-barang yang terproduksi maka semakin banyak orang-orang yang menjadi tidak berguna. Namun bila monopoli-monopoli raksasa ini diambil kepemilikannya dari segelintir kapitalis dan diserahkan kepada rakyat pekerja untuk dijalankan dengan sistem ekonomi terencana, maka produktivitas yang begitu tinggi ini dapat digunakan sepenuhnya untuk membebaskan manusia dari kerja yang memperbudaknya. Kita harus ingat, bahwa yang menjadi kontradiksi utama dalam kapitalisme bukanlah monopoli raksasa itu sendiri, tetapi kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Monopoli di tangan segelintir kapitalis adalah dominasi mereka atas mayoritas rakyat pekerja miskin. Monopoli di tangan mayoritas rakyat pekerja adalah dominasi rakyat pekerja atas nasib mereka sendiri, atas alam, atas dunia untuk kebahagiaan mereka.
Dengan ekonomi yang sudah begitu terkonsentrasilkan -- dan juga dalam bentuk kapital finans dengan jejaring yang luas -- kita cukup menasionalisasi 100 perusahaan dan bank terbesar untuk merebut tuas-tuas ekonomi kapitalisme yang terutama. Kita sama sekali tidak perlu menyentuh ribuan UKM-UKM yang ada, karena dalam kapitalisme mereka ada di bawah dominasi dan merupakan roda-roda gir kecil perusahaan-perusahaan monopoli raksasa. Kapitalis-kapitalis monopoli tidak perlu menguasai 100% kepemilikan alat-alat produksi untuk mendapatkan dominasi absolut atas perekonomian. Bahkan tidak perlu lebih dari 50%, karena mereka cukup menguasai tuas-tuas ekonomi terpenting: suplai, jaringan distribusi utama, komunikasi, dan sektor-sektor krusial lainnya. Bayangkan ada 100 hektar tanah pertanian di lapang yang luas. Seorang tuan tanah yang pintar hanya perlu menguasai 40 hektar tanah yang ada sumber airnya, lebih subur, dan lokasinya strategis dekat dengan jalan raya. 60 hektar lainnya bisa diserahkan kepada tuan-tuan tanah kecil lainnya, yang akan ada di bawah dominasi sang tuan tanah besar karena mereka butuh air, butuh akses ke jalan raya, dan produktivitasnya lebih rendah. Inilah kapitalisme monopoli. Dengan cara yang sama, kaum buruh cukup menguasai “40 hektar” tersebut untuk meraih dominasi absolut. Ini bukan berarti bahwa kapitalis-kapitalis yang lebih kecil adalah sekutu buruh dalam melawan kapitalisme monopoli. Posisi mereka yang terdominasi tidak membuat membuat mereka kapitalis yang lebih baik. Kita akan berbicara lebih banyak mengenai kapitalis-kapitalis yang terdominasi ini dan bagaimana posisi kelas buruh terhadap mereka.
Signifikansi monopoli-monopoli
raksasa dalam perjuangan menuju sosialisme juga sesuai dengan kekuatan
lapisan-lapisan buruh itu sendiri. Secara umum, buruh yang bekerja untuk
monopoli-monopoli raksasa lebih kuat daripada buruh-buruh UKM. Ini karena
jumlah mereka yang besar dan terkonsentrasikan, dan juga karena mereka menopang
industri yang sangat penting bagi ekonomi bangsa. Aksi-aksi mereka akan lebih
mengguncang ekonomi. Bandingkan aksi buruh petrokimia dengan aksi buruh pabrik
mainan UKM, mana yang akan lebih memukul kapitalisme? Mana yang akan berimbas
lebih besar pada kantong-kantong kaum kapitalis? Jawabannya jelas. Ini bukan
berarti kita hanya perlu melakukan pengorganisiran buruh di monopoli-monopoli
raksasa saja. Gambaran di atas memberikan kita pemahaman akan medan perang yang
ada di hadapan kita, bahwa kapitalisme monopoli telah menciptakan batalion
proletar yang besar, kuat, dan terkonsetrasikan, yang posisi ekonominya sangat
penting dan strategis.
Satu fakta lainnya mengenai kapitalisme monopoli adalah ia telah menciptakan sebuah sistem produksi yang terpadu. Tidak ada satupun pabrik yang berdiri sendiri. Monopoli-monopoli bersatu menjadi konglomerasi-konglomerasi, yang bergerak di berbagai industri dari hulu sampai hilir. Kapital finans menyatukan semua industri menjadi sebuah organisme tunggal yang saling terkait. Dalam kata lain, kapitalisme imperialis atau kapitalisme monopoli telah menyiapkan pondasi untuk sistem ekonomi terencana sosialis. Dengan pondasi yang sudah disiapkan ini, tugas buruh untuk membangun sosialisme -- setelah merebut kekuasaan politik dan ekonomi secara revolusioner -- akan menjadi seratus kali lebih mudah dibandingkan jamannya Lenin dan Trotsky.
Ekspor kapital yang menjadi karakter utama dari kapitalisme imperialis ini juga telah menciptakan batalion proletar yang besar di seluruh penjuru dunia. Dengan nafsunya yang besar untuk meraup profit, kapital finans membangun pabrik, tambang, perkebunan, pelabuhan di semua sudut dunia. Mereka menyebar kapital seperti menyebar injil. Tetapi “injil kapital” yang mereka sebarkan tidak akan menyelamatkan mereka. Dengan ekspor kapital ini mereka telah menciptakan penggali kubur mereka sendiri, yakni kelas buruh yang semakin besar, kuat dan tersebar luas. Intelektual-intelektual yang mengatakan sebaliknya, bahwa kelas buruh semakin mengecil dan tidak relevan, lupa kalau laptop, rokok, kopi, dan semua kemewahan yang mereka nikmati untuk bisa duduk berpikir dan berfilsafat ria tanpa harus memeras keringat datang dari kerja buruh dan bukan jatuh dari langit.
Terakhir tetapi sama pentingnya adalah globalisasi, yakni karakter kapitalisme imperialis hari ini yang terus menyeruak dan “bersarang dimana-mana”. Globalisasi kapitalisme membuat perspektif revolusi dunia menjadi semakin relevan hari ini. Seorang revolusioner -- terlebih lagi sebuah partai -- yang serius ingin mengobarkan revolusi di Indonesia harus punya perspektif revolusi dunia. Walaupun untuk alasan-alasan praktis kaum buruh harus mengorganisir diri mereka sebagai sebuah kelas dengan negaranya sendiri sebagai panggung perjuangan yang segera, isi sesungguhnya dari perjuangan kelas adalah internasional. Ini didikte oleh kapital itu sendiri yang telah menjadi internasional, yang telah menembus batas-batas nasional. Globalisasi telah menyiapkan pondasi untuk kemenangan sosialisme sedunia.
Situasi objektif untuk sosialisme
telah matang, dan bahkan sudah mulai membusuk. Pilihan antara sosialisme atau
barbarisme menjadi semakin nyata bagi rakyat pekerja seluruh dunia. Yang
dibutuhkan sekarang adalah faktor obyektif, yakni kepemimpinan revolusioner.
Kaum buruh yang paling maju harus segera mempersenjatai dirinya kembali dengan
Marxisme, satu-satunya ideologi yang dapat menerangi jalan mereka ke sosialisme.
Indonesia dan Perjuangan Anti Imperialisme
Dalam kapitalisme hari ini, yakni kapitalisme yang imperialis, Indonesia adalah negara yang tertindas. Monopoli-monopoli raksasa asing mendominasinya. Mayoritas perekonomiannya ada di tangan kapital finans asing lewat jejaring investasinya. Akan tetapi ini tidak berarti kalau di Indonesia tidak ada monopoli-monopoli besar dan kapital finans lokal. Sebut saja Bakrie Group, Djarum Group, Salim Group, Sinar Mas Group, Lippo Group, dan Humpuss Group. Namun dalam struktur ekonomi dunia, mereka hanyalah roda-roda gir kecil yang pada gilirannya didominasi oleh monopoli-monopoli yang lebih besar. Inilah fakta kapitalisme hari ini, yakni dominasi yang besar atas yang kecil di tiap-tiap industri, dalam skala nasional hingga skala internasional.
Apakah hari ini mungkin ada kapitalisme tanpa dominasi monopoli? Apakah kapitalis-kapitalis yang terdominasi lantas menjadi sekutu bagi kaum buruh dalam perlawanannya melawan kapitalisme monopoli? Bagaimana kita menjawab pertanyaan ini akan menentukan garis politik kita.
Pertama, kita mulai dari fakta bahwa imperialisme adalah tahapan tertinggi kapitalisme, dan oleh karenanya perjuangan melawan imperialisme yang sesungguhnya akan bersandar pada kepemimpinan kelas buruh dalam menumbangkan kelas borjuasi dan sistem kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi yang merupakan dasar dari kapitalisme. Hanya persatuan kelas proletar seluruh dunia dengan rakyat pekerja tertindas lainnya -- dan bukan persatuan dengan kelas-kelas penindas, apapun posisi mereka di dalam hirarki kapitalisme monopoli -- yang dapat menjamin pembebasan nasional yang sesungguhnya.
Karena imperialisme adalah tahapan tertinggi kapitalisme, maka perjuangan melawan imperialisme tidak bisa dipisahkan dari perjuangan melawan kapitalisme. Perjuangan melawan dominasi asing tidak bisa dipisahkan dari perjuangan kelas. Kedua perjuangan ini adalah satu kesatuan. Perjuangan melawan imperialisme membutuhkan sebuah program perjuangan kelas yang lengkap, tegas, dan tidak berkompromi, yang dalam setiap langkahnya selalu menyerang kepemilikan pribadi kaum borjuasi.
Kekeliruan dari mereka-mereka yang meletakkan perjuangan melawan imperialisme di atas perjuangan kelas adalah karena mereka melihat imperialisme sebagai sesuatu yang terpisah dari kapitalisme itu sendiri. Mereka tidak memahami bagaimana fitur utama dari tahapan kapitalisme hari ini adalah imperialisme itu sendiri, yakni monopoli, kapital finans, ekspor kapital, dan pembagian pasar dunia. Mengharapkan kapitalisme tanpa imperialisme adalah mimpi para borjuasi kecil yang ingin kembali ke kapitalisme muda yang “lebih adil”, agar nantinya mereka diberikan kesempatan sekali lagi untuk menjadi monopoli.
Kekeliruan ini sudah terbukti dari kemerdekaan-kemerdekaan parsial yang diraih oleh hampir semua negara-negara eks-koloni, yang mengobarkan perjuangan anti-imperialisme tanpa perspektif perjuangan kelas. Tidak ada satupun dari mereka yang benar-benar merdeka. Pengecualian justru datang dari negara-negara yang mengobarkan perjuangan sosialis, seperti Cina, Vietnam, Kuba, dan Korea Utara, yang mandiri karena justru menumbangkan kapitalisme. Tetapi kemandirian ini pun terbatas, hanya sementara dan hanya pada tingkatan tertentu, karena pada akhirnya mereka adalah pulau-pulau kecil sosialisme di lautan luas kapitalisme global. Kenyataan kalau Vietnam, China, dan Kuba hari ini telah membuka pintu ekonomi mereka dan membiarkan kapital membanjiri tanah mereka adalah bukti bahwa bahkan negara yang sudah menumbangkan kapitalisme pun pada akhirnya tidak akan bisa menghindari dominasi kapitalisme imperialis. Hanya Korea Utara yang masih mandiri, tetapi ini dibayar dengan harga mahal oleh rakyat Korea Utara dengan terbentuknya sebuah kerajaan agung keluarga Kim, yang keagungannya bahkan menandingi raja-raja dalam dongeng Mahabarata.
Kesimpulannya jelas, tidak mungkin kita membentuk sebuah kapitalisme yang mandiri di Indonesia. Ini hanyalah mimpi kapitalis nasional yang sendirinya ingin menjadi monopoli, yang menggonggongi tuan-tuannya karena tidak kebagian kue jarahan yang lebih besar.
Kedua, kita harus melihat karakter borjuasi nasional yang terdominasi ini. Borjuasi Indonesia -- seperti borjuasi negara-negara Ketiga lainnya -- lahir terlambat di panggung sejarah. Mereka lahir bukan dari proses organik seperti borjuasi Eropa, tetapi dicangkokkan lewat ekspor kapital dari negara-negara kapitalis maju. Karena fakta historis ini, mereka tidak mandiri, lemah, tergantung pada modal asing, dan tidak progresif. Mereka tidak bisa menyelesaikan sepenuhnya tugas-tugas demokratik nasional (reforma agraria, pembubaran feodalisme, pembentukan republik yang demokratis, pembentukan negara bangsa yang mandiri dan utuh). Bahkan tugas-tugas demokratik nasional tersebut hari ini setengah tercapai berkat dorongan perjuangan rakyat pekerja. Bukan kaum borjuasi nasional yang menggedor pintu kediktaturan Soeharto dan akhirnya mendobraknya guna membawa reforma demokrasi. Justru mereka berbaris rapi di belakang Soeharto ketika ia membantai jutaan rakyat dan menegakkan kediktaturan brutal.
Hari ini ada selapisan kaum borjuasi yang berbicara mengenai kedaulatan Indonesia, ambillah Prabowo dengan Gerakan Indonesia Raya dan Surya Paloh dengan “Restorasi Indonesia”nya. Seperti seorang anti-imperialis tulen, Surya Paloh berujar: “Indonesia haruslah berdaulat di bidang politik dan mandiri di bidang ekonomi … Kita sebenarnya mampu berdikari di bidang ekonomi. Kenyataannya pada hari ini sejujurnya Indonesia tidak lagi mampu berdiri di atas kaki sendiri. Itu karena Indonesia memberikan kesempatan kepada dunia luar untuk membuat Indonesia sendiri tidak mampu berjaya, berdaya, berdiri, berdaulat di bidang ekonomi, maupun di bidang politik.” Inilah Surya Paloh yang sama, pemilik monopoli media Indonesia, yang memberangus serikat pekerja dan yang editorial koran Media Indonesianya baru-baru saja mengecam aksi buruh: “Kita tidak ingin Indonesia menjadi negeri yang ditinggalkan investor. Kita tidak mau negeri ini gagal memberikan kesejahteraan bagi kaum pekerja, tetapi kita juga tidak mau para pekerja justru membaut bangkrut perusahaan.” (23/11/12). Pejuang anti-imperialis kita tidak ingin bangsa Indonesia ditinggalkan investor asing.
Prabowo dan adiknya, Hashim Djojohadikusumo, anggota dewan pembina Gerindra, adalah pemilik jutaan hektar tanah di Indonesia dari Aceh hingga Papua. Visi kedaultan nasional Gerindra tidak meliputi kedaulatan tanah bagi para petani miskin, tetapi hanya meliputi kedaulatan pemillik tanah besar seperti Prabowo dan Hashim untuk mendominasi jutaan petani miskin. Hashim pun sebelumnya adalah pemilik lahan minyak di negara-negara eks Uni Soviet, di Kazakhstan dan Azerbaijan. Para Gerindrais anti-imperialis ini adalah kekuatan monopoli di negaranya sendiri dan monopoli imperialis terhadap negara-negara yang lebih kecil.
Perjuangan anti-imperialis kaum
borjuasi nasional -- kalaupun bisa disebut perjuangan -- tidak konsisten, penuh
keraguan, dan penuh pengkhianatan. Mereka lebih takut pada buruh daripada
tuan-tuan mereka. Mereka lebih takut kehilangan kepemilikan mereka daripada kehilangan
rantai yang mengikat mereka pada monopoli dunia. Mereka menggeram pada tuan
mereka sembari menjilati tangannya. Borjuasi nasional tidak bisa menjadi sekutu
kaum buruh dalam perjuangannya melawan imperialisme, karena ia justru akan
melemahkan gerakan anti-imperialisme. Tidak semua lawan dari lawan kita adalah
sekutu. Pembentukan front nasional antara buruh dan kaum borjuis yang katanya
“progresif” hanya akan menumpulkan perjuangan kelas dan pada gilirannya
menumpulkan perjuangan anti-imperialisme. Dengan front nasional
“anti-imperialisme”, Kaum Kiri hanya akan menjadi penjaga perdamaian kelas.
Sejumlah Kesimpulan
Kita sampai pada penghujung analisa kita, yang mana sejumlah kesimpulan umum dapat kita rangkum:
1) Setelah menganalisa asal-usul
imperialisme, dengan menggunakan metode Materialisme Dialektis-Historis, kita
mencapai kesimpulan bahwa imperialisme hanya bisa dilawan dengan perjuangan
kelas yang konsisten.
2) Kelas buruh, yang semakin hari
semakin besar dan kuat, adalah satu-satunya kelas yang bisa menumbangkan
kapitalisme imperialis hari ini.
3) Kaum borjuasi nasional
negara-negara eks-koloni, karena fakta perkembangan historis mereka, tidak bisa
dan tidak boleh dijadikan sekutu dalam perjuangan melawan imperialisme. Kaum
buruh tidak boleh mengikat kaki-tangannya dalam front nasional dengan kaum
borjuasi.
4) Sekutu buruh dalam perjuangan
melawan imperialisme adalah lapisan rakyat pekerja tertindas lainnya: tani,
nelayan, dan kaum miskin kota. Dengan mempertahankan kemandirian kelasnya,
kelas buruh harus memimpin perjuangan seluruh rakyat pekerja tertindas dalam
melawan kapitalisme imperialis.
5) Program utama kaum buruh untuk
melawan kapitalisme imperialis adalah:
a) Nasionalisasi 100 Perusahaan
Terbesar yang memegang tuas-tuas ekonomi penting
b) Nasionalisasi seluruh perbankan
dan institusi kapital finans
c) Batalkan semua hutang luar negeri
dan perjanjian-perjanjian ekonomi yang membelenggu Indonesia
d) Jalankan ekonomi di bawah kontrol
rakyat pekerja secara demokratis dan dengan sistem ekonomi terencana
e) Bergerak menuju Federasi Sosialis
Asia Tenggara, sebagai bagian dari Federasi Sosialis Dunia, yang akan
menggantikan sistem ekonomi dominasi imperialisme dengan sistem ekonomi yang
berdasarkan persaudaraan seluruh umat manusia.
Setiap usaha harus dilakukan oleh
kaum revolusioner untuk menghubungkan perjuangan sehari-hari buruh dengan
program ini, untuk menjembatani kesadaran buruh hari ini ke tugas-tugas
historisnya dengan sistem program transisional.
6) Terakhir, tetapi tidak kalah
pentingnya, perjuangan melawan kapitalisme imperialis harus berperspektif
internasional dan mendobrak batas-batas nasional. Nasib revolusi Indonesia
terikat pada perspektif revolusi di Asia dan di dunia. Revolusi harus menyebar
karena tidak akan ada satupun negara yang bisa mandiri di tengah lautan
kapitalisme imperialis.
Berpegang teguh pada poin-poin di
atas, kaum buruh akan menemukan jalan menuju sosialisme tanpa terjebak pada
prasangka-prasangka nasionalisme sempit dan anti-imperialisme vulgar. Kebuntuan
kapitalisme imperialis sedang menciptakan badai-badai konflik yang semakin hari
semakin tajam. Bila kaum buruh revolusioner tidak punya pegangan ideologi yang
mantap, ia akan terseret ke dalam badai ini dan menjadi bingung. Oleh
karenanya, buruh harus terus mempersenjatai dirinya dengan teori Marxisme. Ia
harus dengan seksama memperhatikan semua peristiwa politik yang berlangsung di
sekitarnya. Tidak terpukau pada fenomena-fenomena di permukaan, pada
prasangka-prasangka terbelakang yang ada di dalam masyarakat, tetapi memeriksa
dengan jeli setiap fenomena dan prasangka, mampu membedakan mana yang
revolusioner dan mana yang reaksioner, mana yang baik untuk kemajuan kesadaran
kelas dan mana yang buruk.
Sungguh cocok kalau kita tutup risalah ini dengan seruan Bapak Republik Indonesia kita, Tan Malaka, sosok yang mana kita banyak berhutang budi atas perjuangan revolusionernya dalam melawan imperialisme di Indonesia:
Wahai kaum revolusioner, siapkanlah barisanmu dengan selekas-lekasnya! Gabungkanlah buruh dan tani yang berjuta-juta, serta penduduk kota dan kaum terpelajar di dalam satu partai massa proletar. Tunjukkan kepada tiap-tiap orang Indonesia yang cinta akan kemerdekaan tentang arti kemerdekaan Indonesia dalam hal materi dan ide.
No comments: