Persatuan Pemerintahan Rakyat miskin bukanlah Utopis.
Rasa salutku tak terhingga tentang 150 petani Blitar yang melakukan long march ( berjalan kaki ) menuju istara negara dengan tuntutan menagih janji Presiden SBY terkait redistribusi 8-9 juta hektar tanah untuk petani.
Petani bukanlah perkakas yang tugasnya hanya menanam dan memproduksi bahan kebutuhan. Petani juga ingin dapat merasakan kehidupan yang baik, bisa mendapat akses pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
Selama ini, apakah negara memberikan itu. Berharap anjing makan sayuran akan membutuhkan kesabaran yang tiada tara. Kesabaran memang tidak terbatas, namun yang memegang kesabaran juga manusia yang memiliki limit, perlu makan, dan kebutuhan lainnya.
Hal ini pula yang dialami oleh keolompok buruh. pasca aksi besar secara nasional yang berpengaruh besar terhadap stabilitas perusahaan. Di pertengahan bulan januari tahun ini, pengusaha dan pemilik perusahaan melakukan serangan baliknya terhadap kelompok buruh. Tuduhan kriminal terhadap aktivisnya yang membela keperntingan buruh, membenturkan buruh dengan rakyat sendiri seperti menyewa atau membayar sekelompok rakyat untuk menteror buruh.
Semua itu tak lain adalah resiko hidup di negara yang tidak pernah berniat sungguh-sungguh mengurusi rakyatnya. Negara sering mengeluarkan himbauan ini dan itu, pesan ini dan itu. seoalh-olah negara mirip seorang motivator kondang yang berkata , Semangat..! U can do it! .
Waaw... bila buku yang ditulis khairul tanjung bisa membuat aku beronani, mungkin buku itu akan ku beli. Buku yang merupakan kisah panjang seseorang dalam meraih sukses ternyata hanya sebatas agar rakyat dengan keterbatasannya dapat mengikuti langkah beliau menjadi sukses. mungkin ketika menulis buku, seorang Khairul tanjung hanya memikirkan dirinya yang telah sukses, namun (mungkin) melupakan tanggungjawab kesejahteraan terletak di pundak negara. Bila demikian, buku itu layak disebut komik bagi anak-anak.
Adalah kemungkinan yang paling masuk akal tentang tidak terjadinya persatuan bagi korban hidup di negara yang mengedepankan sistem kapitalism.
Jawabannya mungkin saja ada.
Jika massa rakyat dapat memahami faktor penting dalam perjuangan menuju masyarakat yang lebih manusiawi, dengan sendirinya pun kesadarannya akan meningkat menjadi kesadaran yang menempatkan dirinya pada perjuangan kelas. Perjuangan penghancuran watak-watak penghisap memang meruapakan subuah perjuangan yang tidak kalah dengan perjuangan melawan rakyat indonesia saat mengusir Belanda, Jepang, inggris, spanyol, portugal, yang hanya mengingginkan keinginannya sendiri sebagai negara yang yang beradap. Namun disini lain datangnya negara-negara itu menumbuhkan ide bagi rakyat indonesia --pada waktu itu-- tentang keterhisapan, kemelaratan, dan tentang kemerdekaan melepaskan diri dari negara-negara yang terpaksa saya anggap beradap itu.
Namun, sekali lagi, dalam perjuangan tidaklah mungkin mendapat kemenangan ketika dengan gampangnya negara menciptakan kondisi yang membimbangkan massa rakyat.Negara tidak akan mau memberikan secara gratis pendidikan yang dibutuhkan. Apakah negara berpikir bahwa pendidikan layaknya rumah bordir dalam arti harga ditetapkan sebagai nilai yang digunakan untuk memperoleh pendidikan yang berkwalitas baik. Oleh karenanya, massa rakyat butuh pengetahuan senidiri, butuh pendidikan sendiri , dan buruh organisasinya sendiri sebagai alat perjuangan. Omong kosong lain juga diperlihatkan negara ketika berbicara ingin menerapkan UUD 1945. Bisa saja negara menganggap UUD 1945 sudah kuno dan tak layak lagi diaplikasikan karena perkembangan jaman. Namun, hal itu tidak dibarengi dengan memberikan sebuah formula baru bagi rakyat. Formula segar yang dapat memberikan nafas kesejahteraan tidaklah penting bagi negara mengabdi modal. karena tujuannya tak lain adalah menjadikan rakyat sebagai perkakas-perkakas saja. Perkakas tidak perlu pandai, perkakas tidak perlu sehat, perkakas tidak perlu sejahtera, karena memang begitulah perkakas. Hanya perlu dirawat, diberi sedikit pelumas agar tidak macet, digunakan hanya ketika diperlukan dan hanya menjadi pajangan ketika tidak diperlukan.
Tidaklah sebagai massa rakyat kita berpkir demikian. Tidakkah kita berpikir negara hanya akan terlihat keren jika rakyatnya sejahtera, ketika rakyatnya dapat berkarya menghasilkan produk sendiri dan mandiri. Dan apakah negara yang kita tinggali ini terlihat keren. Mungkin jawabannya tidak. Dan tentu saja akan memungkinkan orang menjawab sebaliknya, negara ini keren.
Namun kerennya negara hanya dirasa dan dinikmati oleh orang yang punya kuasa dan punya uang. Berapa banyakkah orang seperti itu disini, tidakkah mereka sedikit, tidakkah mereka menikmatinya dengan rasa iba bila melihat buruh yang upahnya hanya cukup membayar kontrakan, atau melihat pemuda putus sekolah nongkrong pagi hari dipinggir jalan melihat anak sebayanya memakai seragam menuju sekolah.
Secara terang-terangan negara telah menciptakan suatu generasi yang bermimpi akan kehidupan yang equlibrium. Suatu generasi yang nantinya akan menjadi musuh bebuyutan bagi negara. Generasi ini terus bergerak, terus berkontradiksi, dan semakin maju. Walaupun dalam setiap prosesnya mengalami berbagai hal, misal, perbedaan pendapat, perbedaan kesadaran, dan perbedaan kepentingan yang tidak mungkin dapat dihidari. Yang pada akhirnya akan mendapatkan pemahaman yang sama atas tujuan yang dicita-citakan. Karena itu, persatuan bukanlah hal yang tidak mungkin, pesatuan tidaklah sebuah utopis. jika pendapat itu benar, maka pemerintahan persatuan rakyat miskin bukanlah hal yang tidak dapat diwujudkan yang karenanya perlu usaha untuk itu.
Intelektual yang tenggelam
Banyak pengamat kiri telah menganalisa perkembangan peran kaum intelektual dalam gerakan kiri. di eropa kelompok intelektualnya sering terlibat dalam perlawanan terhadap negara, itupun tak tanggung-tanggung, dengan massa yang besar mereka bergerak, long march, pendudukan instansi atau boikot jalan merupakan hal yang kiranya dapat dipertimbangkan. Apakah kelompok intelektual itu pun pernah mengalami hal sama layaknya yang terjadi di Indonesia yang hampir rata-rata kelompok Intelektualnya tidak dapat melihat dan memahami perannya yang penting dalam memberikan pemahaman yang lebih yang sosial oriented. Namun yang membuat banyak orang tersipu malu karena melihat kelompok intelektual di Indonesia yang berlagak seperti profesor pemikir kelas atas, yang sekilas hanya sibuk berpikir. Kacamatanya pun tak kalah tebal dengan pantat botol, yang menyimbolkan keaktifannya membaca.
Mungkin saja intelektual seperti itu banyak di Indonesia. Saya pun tak yakin. Selama Saya hidup, saya tak pernah menemukan kelompok inteleltual indonesia punya peran yang tidak dapat dianggap remeh kecuali tahun 1998, itu pun pada waktu saya masih belum mengenal tentang negara, fungsinya, konstruksinya, bahkan konsep dan sejarahnya.
"Kaum
revolusinis professional meyakini apa yang mereka pikirkan. Mereka sudah tidak
dapat lagi mempunyai dorongan lain untuk mengambil jalan menuju Bukit Kalvari.
Solidaritas di bawah penyiksaan bukanlah kata-kata kosong, dan solidaritas itu
diperbesar dengan penghinaan terhadap kepengecutan dan penghianatan.
“berputar-putar pikiranku tentang sejumlah kawan yang akan kutemui saat itu”, seperti
yang ditulis oleh Eugenia Levitskaya sehubungan dengan gerakan bawah tanah
Odessa selama tahun 1901-07, ”Aku tidak dapat mengingat akan sebuah tindakan
yang patut dicela, patut dihina, apakah itu sebuah penipuan ataupun kebohongan.
Di sana terdapat friksi. Di sana banyak terdapat pendapat yang berbeda secara
faksional. Namun tidak lebih dari perbedaan pendapat. Entah bagaimana setiap
orang berusaha melihat dirinya sendiri secara moral dengan menjadi lebih baik
dan lebih lemah lembut dalam keluarga yang bersahabat”. Odessa karenanya
bukanlah sebuah perkecualian. Kaum muda baik laki-laki ataupun perempuan yang
membaktikan diri sepenuhnya demi gerakan revolusioner, tanpa menuntut segala
sesuatu sebagai imbalannya, bukanlah representasi yang paling buruk dari
generasinya. Maka dari itu orde kaum “revolusioner professional” tak dapat
menderita bila dibandingkan dengan kelompoki sosial lainnya." ( Lenin dan partai revolusioner: oleh Paul Le Blanc )
Mungkin saya dapat menyebut Negara Orba paling bertanggungjawab terhadap rendahnya kelompok intelektual dalam memahami perannya yang cukup luar biasa bila disadari. Orba mempersempit peran kelompok intelktual hanya sebatas perkakas. Lagi-lagi bisa saya bilang, begitulah bila hidup dinegara yang selalu menundukan kepala pada pasar dan modal.
Tidakkah kita berpikir bahwa negara merupakan sebuah panitia yang tugasnya hanya sebagai pembuat keputusan, undang-undang, atau menteror demi tujuan akumulasi modal. apakah negara seperti itu layak untuk dipertahankan, namun tidak serta merta negara seperti itu dapat hilang begitu saja. dan karenanya perlu ada usaha dan formula alternatif bagi negara yang sudah tidak layak, tidak mampu mencukupi kebutuhan rakyatnya, serta hanya mengabdikan dirinya pada modal bukan mayoritas rakyat.
Kawanku Faruq punya puisi keren yang berjudul Bendera Merah.
Terlahir dari rahim
untuk membimbing petani yang lapar
Lahir untuk menuntut hak rakyat yang ditindas
Lahir untuk mengajak mereka merebut apa yang
menjadi milik mereka
Hadir untuk merebut
tanah-tanah milik mereka
Namun,
Hadirmu ditentang oleh
anak-anak bangsa
Anak-anak bangsa yang
masih pakai paham tua
Anak-anak bangsa yang
berdiri dibawah bendera agama
Kau tak ber-Tuhan !!!
teriak mereka
Kau atheis !!! ledeknya
Wajib dimusnahkan
Anak-anak bangsa yang
harus saling membunuh, membunuh karena propaganda ORBA
Salahkah, ketika hadir
hanya untuk meminta, meminta apa yang jadi milikmu
Senjata menjawab semua
pertannyaan
Kaum intelektual jadi
bodoh karena kepentingan
Sejarah kelam akan
pertarungan anak-anak bangsa
Yang melahirkan embrio
penindas sejati
32 tahun menindas,
memeras dan memperkosa
Membuat kita tidak bisa
tahu apa-apa
Terima kasih, Tuhan Orde
Baru telah tumbang
Kini,
Sejarah kelam harus
diluruskan
Agar tidak saling
menyalahkan
Salam dari kami yang punya impian besar.
No comments: